“Jam tiga kita pulang, yuk. Aku lapar,” kata Genyok.
Kawanan anak nakal itu sudah bermain PS mulai dari jam setengah sembilan dan saat ini sudah jam dua siang. Banyak game sudah mereka mainkan dan kini mereka merasa bosan.
“Pulang sekarang saja, aku juga lapar. Merokok terus enggak bikin kenyang ternyata,” ujar Bagas.
“Ya sudah, kita pulang saja sekarang.”
Sisa sewa tinggal setengah jam lagi mereka diberikan untuk bocah yang ada di sana. Dengan girang bocah itu berterima kasih kepada mereka.
Saat pulang sekolah pukul dua siang, jalanan yang awalnya sepi kini menjadi ramai oleh anak-anak SMK di daerah situ. Banyak dari mereka yang masih menggunakan sepeda atau berjalan kaki jika rumah mereka dekat. Hanya beberapa orang yang menggunakan motor sendiri, yang dimaksud adalah motor klimis tahun itu, bukan motor sawah yang sering di kendarai Yuda dan Bagas. Mereka membawa dua motor, Bujel boncengan dengan Genyok sedang Bagas dan Yuda.
Rumah Bujel dan Genyok sedikit lebih jauh dari rumah Bagas dan Yuda. Saat melewati perempatan mereka berpisah di sana.
Bagas memilih jalan pintas yang biasa ia lewati sepulang dari rental PS, tak sengaja mereka bertemu dengan Anwar yang pulang berjalan kaki.
“Ayo bonti! Ku antar kau pulang.” Bonti adalah sebutan untuk bonceng tiga anak muda di sana.
“Kalian bolos di mana?” tanya Anwar.
“Di rental Pak Gono,” jawab Bagas.
Mereka berhenti di pinggir jalan kecil yang kiri-kanannya pohon, jalan pintas yang biasa dilewati mereka saat sekolah atau ketika mereka pulang bolos, jalan yang paling aman menuju rumah.
Siang itu cukup cerah berangin, gemerisik daun menjadi latar suara pembicaraan mereka.
“Ada informasi apa di sekolah?” tanya Yuda sebelum Anwar naik ke motor Bagas. Meski butut motor Bagas masih kuat untuk dinaiki tiga sampai empat orang.
“Minggu depan akan dilaksanakan les untuk persiapan ujian nasional. Les dilaksanakan setiap pagi jam enam.”
“Buset! Jam enam ke sekolahan, les apa?” tanya Bagas.
“Tidak tahu, hanya itu pengumumannya. Sama satu lagi, Yud. Kamu dicari Anggi.”
“Apa katanya?”
Bagas yang sedang menyetir tiba-tiba berceletuk, “Kau habis nyoblos nggak bayar.” Kemudian ia terbahak.
“Sialan!” Yuda memukul kepala Bagas membuatnya oleng dan hampir tergelincir di parit.
Untung saja Bagas sudah ahli dalam trek jalanan mana pun dengan motornya, sebab ia biasa membawa muatan berkarung-karung rumput untuk pakan sapi milik keluarganya tampa jatuh di jalanan berlumpur.
“Anggi bicara apa, War.”
“Katanya kau bolos terlalu sering dan kau dicari wali kelas,” kata Anwar, “tapi jujur, Anggi semakin cantik saja.”
Bagas kembali berbicara sembarangan. “Tarifnya naik pasti,” ujarnya, “kapan-kapan kita patungan, yuk. Lumayankan SCTV.”
“Maksudnya SCTV?” tanya Anwar tidak mengerti.
Kemudian Yuda dan Bagas serentak berkata, “Satu untuk semua.” Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak.
Mungkin hidup para bocah itu terlalu santai, tidak ada rasa khawatir sama sekali kala mereka hendak ujian nasional. Bagi mereka tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selama mereka bisa makan dan memiliki teman.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
De TodoYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...