Sudah sehari semalam Yuda dirawat di rumah sakit pusat kota. setelah melewati masa kritis Yuda dipindahkan ke ruangan biasa yang berisi empat pasien dalam satu kamar. Masing-masing terhalang tirai besar yang di sekat menjadi empat. Ruangan itu cukup ramai oleh keluarga pasien lain yang sedang menunggui atau sekadar menjenguk. Di sana juga terdapat televisi yang menyala sepanjang hari.
Yuda masih terbaring lemas di atas kasur rumah sakit, bagian atas pelipis sebelah kirinya diperban, wajahnya memar biru di sana sini, bekas perkelahian belum hilang sepenuhnya. Ia sudah siuman sejak tadi pagi, kata dokter, keadaannya sudah cukup membaik. Ia sempat pingsan lama akibat luka di pelipisnya terus mengucurkan darah yang mengakibatkan Yuda hampir kekurangan darah. Beruntung ia segera mendapat pertolongan sehingga hal buruk bisa terhindarkan.
Tidak pernah terbayangkan oleh Aisyah jika anak sematawayangnya sampai berakhir di rumah sakit seperti ini. Aisyah paham betul anaknya suka berkelahi, tetapi, tidak pernah sampai separah ini. Biasanya hanya luka bonyok atau memar di sekitar wajah dan akan sembuh jika dikompres dengan air hangat. Aisyah menunggui Yuda dengan sangat sabar, ia menyediakan semua kebutuhan Yuda dan mengurus semua keperluan BPJS pengobatan Yuda.
Angin berembus dari pintu kamar yang terbuka setengah, semilir segar bercampur aroma infus mulai terbiasa di hidung orang di sana. Siang itu cukup terik membuat kipas angin yang ada atas ruangan bekerja ekstra keras. Para perawat juga mulai melaksanakan tugasnya membagi makan siang untuk para pasien, seraya mengambil piring bekas makanan sarapan.
Aisyah menyambut kedatangan perawat yang mengantar makanan dengan senyum. Mengucapkan terima kasih sebelum perawat itu pergi.
“Ibu tidak ke pasar?” tanya Yuda saat Aisyah sedang menyuapinya makan siang.
“Yang penting kamu sehat dulu, Le. Sudah Ibu bilang, kamu sudah besar jangan sering kelahi lagi. Mau jadi preman kamu?”
“Iya, Bu. Maaf,” kata Yuda, “aku janji tidak bakal bonyok seperti ini lagi kalau kelahi.”
“Ya tidak usah kelahi biar tidak bonyok.” Aisyah mengaduk nasi dengan sayur asem dan menyuapkannya kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Kamu itu mirip banget sama almarhum bapakmu. Sukannya bikin onar sana-sini.”
Obrolan itu menjadi panjang karena Aisyah kembali menceramahi Yuda atas perbuatannya. Yuda hanya memperhatikan ibunya yang sangat cakap dalam memarahinya. Syukurlah ibu masih bisa marah. Itu tandannya ibu sehat, batin Yuda.
Tak lama kemudian seorang dokter memeriksa keadaan Yuda dan memberikan obat lagi. Kata dokter itu Yuda sudah bisa pulang besok siang, tetapi, harus rutin memeriksa luka di pelipisnya paling tidak seminggu sekali. Aisyah sangat senang mendengar kalau anaknya sudah membaik, ia mengucapkan terima kasih kepada dokter itu sebelum pergi.
Di saat yang sama Bagas sudah diperbolehkan pulang dari puskesmas meski salah satu tangannya harus digips akibat tulang siku yang sedikit bergeser dari tempatnya. Dokter bilang cidera yang dialami Bagas akan kembali pulih sekitar satu bulan dengan rutin kontrol dan minum obat. Bagas sendiri menkhawatirkan keadaan Yuda, karena terakhir ia melihatnya, keadaannya sangat menyedihkan. Suatu saat—waktu Bagas sudah pulih—ia pasti membalas apa yang sudah diterimanya.
Bagas tinggal bersama adik dan ibunya di rumah yang tidak terlalu besar. Bapak Bagas pergi merantau di luar pulau dan hanya pulang sekali setahun saat hari raya. Seperti kebanyakan rumah di desa, rumah Bagas memiliki pelataran yang ditumbuhi pohon rambutan dan juga beberapa pohon pisang di sampingnya.
Cuaca hari itu sangat terik, bunyi tonggeret yang menempel di pohon seakan menjadi latar suara yang khas. Debu berterbangan ketika motor Ranti masuk ke pelataran rumahnya dan berhenti persis di samping rumah. Bagas langsung turun dan masuk ke dalam, menuju kamar, kemudian merebahkan tubuhnya dengan hati-hati. Cuaca terik membuat ia sangat malas untuk melakukan apapun.
Memang sangat nikmat ketika cuaca panas dibuat untuk berleha-leha di kasur tampa diganggu siapapun. Namun, kenikmatan yang dirasa Bagas tidak berangsur lama, ia mendengar suara pintu diketuk yang membuat telinganya risih.
“Akbar! Tolong bukakan pintu, ada tamu.” Ranti yang berada di dapur berteriak memerintahkan anaknya yang sedang menonton televisi. Sedang Bagas berusaha terlelap.
Tanpa menjawab Akbar berlari dan membukakan pintu depan. Ketika pintu dibuka Bujel, Genyok, dan Anwar sudah menunggu di muka pintu.
“Masmu ada, Bar?” tanya Genyok. Sebelum mereka berkunjung ke rumah Bagas baju seragam sudah mereka amankan di bagasi jok motor.
“Ada, Mas,” kata Akbar kemudian berteriak, “Mas Bagas! Ada temen-temennya datang.”
Bagas bangun dari pulau kapuknya lalu berjalan gontai keluar kamar dengan wajah yang dibuat-buat semalas mungkin, ketika melihat ternyata sahabatnya yang datang Bagas sedikit tersenyum, ia memiliki firasat bahwa akan ada rencana pembalasan yang mereka lakukan.
“Kini kau terlihat keren dengan perban itu,” ucap Genyok bergurau.
“Sialan! Ini bukan peragaan busana.”
“Gimana keadaanmu?” tanya Anwar.
“Sedikit baik dari pada kemarin. Kadang ngilu dibagian sini.” Bagas menunjuk sikunya yang diperban. “Ngobrol di luar saja, yuk,” kata Bagas lalu keluar di teras.
Teras rumah itu cukup luas. Ada dua kursi kecil dan satu meja ditambah kursi bambu lebar yang berada di pinggir rumah. Bagas meminta tolong kepada teman-tamannya untuk mengangkat kursi lebar itu untuk duduk mereka.
“Kalian bolos sekolah?” tanya Bagas saat mereka sudah duduk santai.
“Seperti biasa,” jawab Genyok.
“Jelaskan kronologinya gimana?” Bujel yang dari tadi diam kini bicara langsung ke intinya.
Bagas menjelaskan semua kronologi awal mulai dari mereka yang memergoki Anggi di gubuk hingga mereka menghajar Yanto yang mabuk saat di konser dangdut. Ketiga temannya mengdengarkan dengan serius, seraya menyayangkan kenapa mereka tidak diberi tahu kalau ada masalah.
“Yuda sudah aku peringati kalau Anggi itu lonte. Masih saja dia naksir Anggi,” ujar Bujel sedikit sebal mendengar cerita Bagas.
“Dari dulu dia memang keras kepala. Kalau sudah begini, pasti bakal menjauh juga,” kata Anwar menanggapi.
“Ngomong-ngomong, haraga sewanya berapa, ya?” tanya Genyok tiba-tiba yang membuat ketiganya langsung menoleh.
Genyok yang duduk membelakangi pintu rumah Bagas tidak menyadari kalau Ranti ada di belakangnya saat ia berbicara. Sontak membuat ketiga temannya langsung menoleh dan memberikan tatapan kode kepada Ganyok. Lihat ke belakang, Bodoh! begitu maksud tatapannya.
Saat Genyok menyadarinya, ia langsung gugup dan berkata dengan gagap. “Iya. Berapa harga perjam warnet baru di sana, ya?”
“Katanya sih lebih hemat lima tarus perak,” kata Anwar kemudian semua tetawa aneh.
“Lagi bahas harga apa?” tanya Ranti seraya menaruh nampan berisi tiga gelas kopi di meja. “Jangan ada rencana balas dendam lagi, lo. Mau jadi apa kalian kalau sukanya buat rusuh terus. Inget kalian itu sudah kelas tiga, jadi harus banyak belajar buat persiapa UN nanti.”
“Tadi bahas warnet kok, Bu. Pak Sholikin sekarang buka warnet baru di sebelah tokonya.”
“Oalah. Ya udah, Ibu tinggal ke dalem dulu, ya.”
“Iya, Bulek. Terima kasih kopinya.”
“Iya, sama-sama.”
Setelah Ranti masuk Genyok mendapat tatapan tajam dari semua temannya.
“Oke, kembali ke topik. Siapa sebenernya si Yanto dan orang dengan luka di wajah itu?” kata Bujel.
---
Yanto adalah anak Yanti.
Terima kasih sudah berkenan baca cerita ini.
Saya akan berterima kasih jika kalian meninggalkan jejak ⭐.Sampai jumpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
RandomYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...