Matahari megintip dari ufuk timur, biasnya yang samar-samar menyuar menyinari awan bergelombang di langit. Udara masih dingin, embun belum sepenuhnya hilang pagi itu, membuat daun-daun basah, menetes perlahan ke tanah yang lembab. Pagi itu beberapa anak sudah berangkat sekolah.
Jam pelajaran berlangsung pukul enam lebih lima menit, saat itu membahas kisi-kisi soal bahasa indonesia yang diterangkan oleh guru perempuan berumur empat puluh tahun dengan perawakan gemuk. Mulanya ia menyuruh para siswanya untuk membaca buku paket, jika ada yang bingung, diperkenankan untuk bertanya. Beberapa dari siswa perempuan bertanya dan hampir semua siswa laki-laki membingungkan semua materi yang ada.
---
Kelas berakhir pukul tujuh pagi, untuk siswa yang mengikuti les diberi waktu untuk sarapan hingga pukul tujuh lewat lima belas, para guru paham banyak dari mereka berangkat dengan perut kosong. Hal itu yang membuat warung Si Mbah mendadak disesaki para siswa yang hendak sarapan, beberapa ada yang dibungkus untuk dimakan di sekolah—biasannya para murid yang takut terlambat—meski juga tidak sedikit siswa yang makan di warung tersebut.
---
Perempuan itu juga ada di sana ketika Yuda dan kelompoknya sedang makan. Ia juga menjadi pelanggan setia Si Mbah, ia selalu beli makan di sana ketika Yuda ada di sana. Ia selalu datang dengan satu orang temannya, tampat favoritnya adalah di pinggir jendela besar dengan terali besi berkarat. Di sana satu-satunya tempat yang tepat untuk mengindari kepul asap dari siswa yang merokok.
Dari kejauhan, ia selalu mengawasi Yuda. Ia tersenyum saat Yuda tersenyum.---
“Ke mana Beni beberapa hari ini nggak muncul?” tanya Yuda pada Tohari sewaktu mereka sarapan di warung Si Mbah.“Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan perempuan,” jawab Tohari kemudian ia menyuapkan nasi yang ada di mulutnya.
“Lupa sama teman. Hal klasik.”
“Kau tahu siapa perempuan itu?” Bujel yang berada satu meja ikut bertanya. Makanan di piringnya sudah tandas kini ia meminum teh hangat yang ada di meja kemudian mengeluarkan bungkus rokok yang baru dibuka.
“Katanya, dia anak SMA 1.”
“Tidak heran kalau Beni kecantol sama anak SMA 1. Di sana cantik-cantik, enggak kayak di sekolah kita,” ujar Genyok, “di sini yang cantik hanya Anggi dan para gengnya.”
“Jangan sebut nama Anggi. Nanti orang di sebelahku meledak,” kata Bagas sedang Yuda yang ada di sebelahnya pura-pura tidak dengar.
Warung Si Mbah masih disesaki pengunjung yang kebanyakan murid SMK sana, banyak dari mereka terlihat santai meski waktu tinggal sepuluh menit lagi.
“Ini dia orang yang dibicarakan datang juga.” Beni berjalan mendekat dengan seporsi nasi pecel di tangannya.
Beni datang dan lansung duduk di kursi kosong yang ada di depan Bujel. “Kalian gosip apa ke aku?”
“Katanya kau jadian dengan anak SMA 1? Ayo buruan traktiran!” kata Genyok dengan antusias.
“Iya, nih, Ben. Traktiran minuman juga boleh, kok.” Anwar tertarik karena telingannya mendengar makanan.
“Coba mana aku lihat fotonya, biar aku seleksi dia pantas nggak dengan kau.” Kalau masalah perempuan Bagas adalah yang paling semangat.
“Aku nggak punya fotonya.”
“Kalau begitu nanti kita ke warnet dia pasti punya Facebook.”
“Aku belum tanya kalau dipunya Facebook atau tidak.”
“Dengar, ya, Bro. Sebagai pria sejati kau harus bisa mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari wanita yang kau incar. Jangan kaya Yuda, bahkan dia nggak tahu kalau Anggi itu perek.”
Orang yang ada di meja itu menahan tawa dan Yuda hanya mengumpat pada Bagas. Hanya Anwar yang terlihat tidak tersenyum ia tetap serius dengan gelas yang ada di tanganya.
“Kalian nggak boleh bicara seperti itu. Wanita bejat sekalipun pasti akan tersinggung jika disebut perek,” ujar Anwar.
“Tuh! Dengerin Pak Kyai ngomong,” tegas Yuda.
“Aku masuk duluan.” Es teh yang diminum Anwar sudah tandas, kini ia berdiri hendak membayar makanannya pada Si Mbah.
“Hati-hati, War!”
“Kalian nggak mau masuk?”
Bujel yang tengah menikmati rokok di tangannya menjawab, “Kita nungguin Beni selesai makan. Kasian kalau anak ini sendirian, nanti diculik tante-tante kita yang susah.”
“Bener juga kata, Bujel. Nanti kita nyusul kok, War. Santai,” tambah Yuda. Ia terlihat begitu santai bersandar di kursi.
“Kebiasaan!” ujar Anwar wajahnya berubah jengkel. Saat ia hendak berbalik, ia dapati Pak Gatot datang dengan wajah khasnya yang datar. “Woi! Ada Pak Gatot!”
Anwar yang mengetahui terlebih dahulu kedatangan Pak Gatot langsung berlari masuk kembali dan keluar lewat pintu belakang rumah Si Mbah. Sedang yang lain kalang kabut berusaha melarikan diri mengikuti ke mana Anwar bersembunyi. Saking paniknya makanan Beni belum sempat dihabiskan dan semua makanan mereka belum dibayar mungkin karena panik untuk berusaha melarikan diri. Sebab berurusan dengan orang itu sangat menjengkelkan.
---
Pak Gatot berangkat menuju sekolah pukul tujuh tepat. Rumahnya sekitar delapan kilo meter dari sekolah tempatnya mengajar dan butuh sekitar lima belas menit untuk sampai, sebab sepanjang jalan tidak ada yang mulus, ia harus pelan-pelan mengendarai motor tuanya.
Saat ketika melewati warung Si Mbah, ia melihat warung itu masih ramai oleh siswa SMK padahal waktu sudah menunjukan tujuh lebih lima belas menit, ketika sampai dan memarkirkan motornya, ia langsung menuju warung Si Mbah untuk menciduk murid-murid nakal di sana. Namun, ketika Pak Gatot masuk ke dalam warung itu tidak ada satu pun murid yang tampak. Hanya menyisakan meja kotor bekas orang, bahkan di sana terdapat rokok yang masih menyala akibat ditinggal pemiliknya.
“Mbah, nasi pecelnya satu, ya.” Karena Pak Gatot tidak menemukan siapapun, ia putuskan untuk sarapan di sana. Perutnya lapar, ia belum sempat sarapan karena masakan istrinya belum matang saat ia akan berangkat ke sekolah.
---
Mereka lari melewati pintu belakang ketika Pak Gatot akan masuk dan ketika Pak Gotot berada di dalam mereka mengendap-endap lewat samping rumah.
“Bangsat! Rokokku ketinggalan. Mana masih banyak lagi, sialan!” umpat Bujel ketika ia sadar rokok di sakunya tidak ada.
“Ikhlaskan saja, yang penting kita tidak ketahuan si muka datar itu,” ujar Yuda yang masih memegang rokok di tangannya.
“Nanti aku join rokokmu.”
“Beli sendiri, Nyet!”
Mereka menunduk saat melewati jendela besar yang ada di rumah itu. Samar-samar mereka mendengarkan suara Pak Gatot. “Mbah ini rokok siapa?” tanya Pak Gatot dengan suara beratnya.
“Tadi punya pelanggan, mungkin tertinggal,” jawab Si Mbah, suaranya serak akibat terlalu sering mengunyah tembakau.
“Anak SMK, Mbah?”
“Iya mungkin, Pak.”
“Saya ambil, Mbah. Nanti kalau ada yang cari bilang diambil Pak Gatot.”
Si Mbah hanya mengagguk sebagai jawaban, sedang Bujel mengumpat dalam hati.
Mereka berhasil lari dan masuk ke sekolah dengan aman.
---
Siapa yang pernah ketahuan kayak gini.
Sebenernya di chapter ini pengalaman pribadi, sih. Jadi curhat dong 😭😭
Maafkun, pak guru. Kami hanya lapar 😭.
Jangan ditiru ya gais.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
RandomYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...