Motor Astrea melaju membelah dinginnya malam. Jalanan di desa itu cukup gelap dan lampu penerangan hanya beberapa yang menyala. Motor itu dipacu dengan cepat, serupa di sirkuit balap, jalanan sangat sepi.
Mereka harus berkendara melewati satu desa untuk sampai ke tempat tujuan. Jika jalanan sepi, hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit perjalanan untuk sampai di toko penjual anggur langganannya. Toko itu selalu buka dari sore sampai pagi. Jika dilihat dari luar, orang awam tidak akan menyangka kalau di sana menjual berbagai macam minuman keras. Toko itu seperti toko kebanyakan, memiliki talase yang berisi jajanan sampai sabun cuci baju. Botol-botol yang berisi minuman keras disimpan dalam rumah.
Dofir dan Dandi sudah langganan beli anggur di sana, saat mereka datang penjaga toko sudah hafal mereka. Dandi menutup kepalanya dengan tudung jaket yang dikenakannya untuk menghindari kalau ada orang yang mengenalnya. Sebab di desa itu ada beberapa sanak keluarga yang tinggal di sana.
Saat melihat Dandi dan Dofir Si Penjaga Toko sudah mengerti tujuan meraka datang. Tanpa basa-basi ia langsung bertanya, “Beli berapa?” Bapak itu memiliki kumis tabal dengan perawakan sedikit buncit. Wajahnya sangat berseri saat menyambut pelanggan.
“Dua botol, tambah kacang ini,” ujar Dofir.
“Tunggu sebentar.”
Bapak berkumis tabal itu masuk ke dalam, ketika keluar ia menenteng satu kresek hitam berisi dua botol anggur merah.
“Berapa semua, Pak?”
“Seratus dua puluh ribu.”
Dofir membayar dua botol anggur itu dengan kacang yang ia ambil di etalase toko. Setelah membayar mereka langsung beranjak pergi.
---
Dofir dan Dandi heran karena mereka melihat dari kejauhan ada keributan sedang terjadi. Terlihat Codet berkelahi dengan tiga orang yang tidak mereka kenal. Dofir dan Dandi mengerutkan dahi, memfokuskan pandangan untuk memastikan tidak salah lihat.
Motor berhenti di pinggir jalan, pandangan mereka tertuju pada Yanto dan Nopal yang meringkuk di lantai tidak berdaya. Sedang di atas kursi ada dua orang yang tengah mengisap sebatang rokok.
“Siapa kalian?” tanya Dofir, “sedang apa kalian di sini?”
“Bukan siapa-siapa,” jawab Beni, “kau mau berkelahi?”
“Bangsat!”
Dofir berdiri dan menghampiri Beni yang sudah siap untuk bertarung lagi. Tatapan Dofir yang tajam, layaknya pedang yang baru terhunus dari tempatnya. Sedang Beni sangat santai menghadapi Dofir, pengalamannya berkelahi sudah sangat banyak, itu yang membuatnya percaya diri akan menang melawan Dofir yang terlihat kerempeng. Dengan sikap tenang Beni maju perlahan.
Sedang Tohari mendapat tatapan ancaman dari orang yang tadi bersama Dofir. Dandi memandang Tohari dengan tatapan yang sama dengan Dofir. Tanpa basa-basi ia berdiri dan berlari hendak menyerang Tohari yang sedang duduk.
---
Codet masih berdiri meski tubuhnya babak belur dan bibir sebelah kirinya berdarah. Orang ini sangat kuat. Namun Genyok dan teman-tamannya tidak kehabisan akal untuk menghadapi monster satu itu. Mereka mengepung Codet dari tiga arah, lalu menyerangnya secara bergantian.
Codet mengambil jarak dengan berlari ke jalan raya di depan warung, napasnya terengah-engah serupa ayam sehabis diadu. Lalu ia mengambil sebuah bambu yang tergeletak di rerumputan pinggir jalan. Bambu bekas penjual di pasar malam yang hendak bubar.
“Hati-hati, dia sepertinya tidak segan membunuh kita dengan bambu itu,” ujar Bujel kepada temannya.
Anwar dan Genyok mengangguk seraya mengatur napas.
Benar saja, Codet menyerang musuhnya dengan membabi buta. Ia layangkan bambu di tangannya dengan keras hingga mengeluarkan bunyi, saking kerasnya. Bujel, Anwar, dan Genyok mundur dan menghindar. Orang ini sudah tidak waras, kata Bujel dalam hati.
Codet mengayunkan bambu yang dipegangnya kesembarang arah, membuat ketiga lawannya memberi jarak agar tidak terkena bambu yang panjangnya satu setengah meter itu. Saat ia mengayunkan bambu itu ke samping, tak sengaja terbentur pohon kapuk yang ada di seberang jalan. Akibatnya Codet sedikit kehilangan keseimbangan. Melihat kesempatan ini Genyok dengan cepat melayangkan tendangan tepat mengenai dadanya. Codet terpental lalu jatuh ke tanah. Tidak sampai di situ Genyok dengan cepat menambahkan tinju ke wajah Codet. Crot! Darah menetes dari hidungnya.
---
Suara sirine mengalihkan perhatian mereka. Dari arah remang lampu jalan, terlihat ada sebuah mobil sedang mendekat dengan cepat. Bujel, Genyok, dan Anwar sejenak saling beradu pandang. Memandang dengan tatapan heran, kenapa polisi bisa datang ke sini? Seakan sudah paham kalau yang dilakukannya salah, mereka semua lari menghampiri Tohari dan Beni yang masih berkelahi di warung pinggir jalan itu.
“Berhenti bermain-main!” teriak Bujel, “ada polisi! Cepat selesaikan.”
Beni dan Tohari sekilas melirik ke arah jalan yang memunculkan sorot lampu mobil dengan sirine nyaring.Ketika perhatian mereka teralihkan, satu serangan telak yang dilanyangkan oleh Dandi dan Dofir menghantam bagian muka mereka.
“Cepat kalahkan mereka sebelum polisi itu sampai ke sini!” Genyok dan kedua temannya hanya menonton dari seberang jalan perkelahian itu. Mereka tidak membantu karena dirasa musuh yang dihadapinya bisa dengan mudah dikalahkan mereka.
Suara sirine kian nyaring terdengar. Tohari dan Beni putuskan untuk mengakhiri pertarungan itu. Mereka berlari menghampiri motor yang terparkir di sebelah gapura.
“Malam ini kalian selamat!” ujar Beni seraya berlari.
“Pengecut, anjing!” bentak Dofir melihat mereka lari seperti maling.
---
“Bangsat! Kunci motorku hilang,” pekik Bujel, ia masih menjelajahi seluruh bagian kantong di celanannya. “Sepertinya jatuh saat bertarung tadi.”
Mobil polisi itu kini sudah berjarak sekitar lima ratus meter dari tempat mereka berdiri. “Kalian pergi dulu saja! Aku biar di sini.”
“Tolol!” bentak Genyok, “ayo cepat cari kuncimu! Meski kita tertangkap setidaknya kuncimu ketemu.”
“Kalian semua goblok,” ujar Anwar yang sedari tadi diam memikirkan cara untuk kabur. “Sudah terlambat, polisi itu sudah sangat dekat.”
“Tahu begini aku masih menghajar Si Kampret itu tadi.” Beni mengeluh seraya mengelus pipinya yang terkena pukulan.
“Tenang,” kata Tohari yang serdari tadi terlihat sangat tenang. “Kita tidak akan dipenjara. Masih ada bapakku.”
---
Sepasang suami istri sedang membereskan lapak dagangnya. Semua gorengan yang dijualnya laku sebelum jam satu dini hari. Saat mereka membongkar tenda dan peralatan masak, tak sengaja melihat ada subuah keributan yang terjadi dekat warung kopi pinggir jalan. Dari kejauhan ada beberapa orang yang terlibat berkelahi, hal itu yang membuat sang istri menghentika aktifitasnya sejenak.
“Ada apa, Bu?” tanya lelaki berumur sekitar lima puluh tahun dengan kupluk bundar di kepalanya.
“Ada ribut-ribut apa itu ya, Pak?” Sang istri tetap mengamati seraya menyipitkan matanya.
“Tidak tahu, ya, Bu.” Sang Suami yang tadinya acuh kini juga ikut mengamati. Mungkin karena faktor umur pandangan mereka tidak begitu jelas, apalagi dengan jarak dan lampu jalan yang tidak begitu terang.
“Telepon polisi, Pak. Takutnya terjadi apa-apa,” kata Sang Istri, “tadi pagi ada berita anak meninggal karena pengeroyokan di TV. Berita yang ada Bang Napi-nya itu lo, Pak.”
Sang Suami lalu menghubungi nomor Babinsa dan melaporkan jika ada keributan yang terjadi di dekat pasar malam. Lima belas menit kemudian mereka datang dengan suara bising sirine patroli.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
AcakYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...