15. Daren, sialan!

111 11 0
                                    


"Kurang ajar lo bocah!" Mozza menarik tangan preman itu yang malah menepuk pundaknya hendak membalas pukulan di wajah Mozza, Mozza memutar tangan pria itu membuatnya meringis. "Lagak lo jadi preman sama bocah aja kalah! Cuih!" decih Mozza melintir kuat tangan besar pria itu membuat suara ringisan semakin terdengar.

Mozza menghempaskan kasar tangan itu membuatnya lagi-lagi tersungkur. "Pergi lo!"

Melihat preman itu berlari kabur, Mozza terkekeh geli apa-apa an ini? Belum juga pemanasan, huh.

Mozza menatap tas milik Ibu itu. Mozza berbalik melangkah dengan satu sepatu, namun sepertinya gadis itu memang tak menyadarinya.

Mozza mendekat pada Ibu yang sudah ditolongnya. "Nih, Bu. Lain kali hati-hati lagi ya. Disini memang gak aman kawasan sini banyak preman berkeliaran dimana-mana." ucap Mozza tersenyum membalikan tas itu.

Ibu itu tersenyum menerima tasnya. Dengan raut yang tak percaya menatap Mozza. "Terimakasih, Nak. Kamu memang hebat, buktinya kamu bisa lawan pria yang lebih besar dari badan kamu,"

Mozza menggaruk belakang tengkuknya. "Aish bukan lawan, Bu. Tapi pembelaan." jawabnya tertawa kecil.

"Kakak hebat deh, Boni juga pengin kayak Kakak yang bisa nonjok gitu," bocah kecil yang melepaskan genggaman tangan pada ibunya berganti mengacungkan kedua jempol mengarah kearah Mozza. Dengan tampang cengirannya bocah yang bernama Boni menatap Mozza dengan berbinar.

Mozza berjongkok mengacak rambut Boni. "Nanti besar kamu juga bisa lebih hebat lho dari Kakak,"

Boni menyengir semangat. "Boni mau jadi kayak Kakak!"

"Iya-iya," gemas Mozza berdiri.

Sang Ibu itu tersenyum menatap anaknya.

Supir didalam angkot itu keluar menghampiri tempat Mozza. Supir itu terlihat jelas raut cemas yang dipancarkannya. "Neng, aduh Neng itu bahaya tau lawan preman sendiri, apalagi nanti preman itu dendam terus panggil teman-temannya terus nyerang rame-rame ke Eneng gimana?"

Mozza terkekeh. "Tenang aja, Kang. Yasudah saya permisi dulu deh,"

Sang supir menatap kaki Mozza. "Neng, sepatu sebelah Neng teh kemana?" tanyanya membuat Ibu itu menatap kaki Mozza.

Mozza menepuk dahi. "Saya lupa, Kang. Tadi 'kan saya lempar kearah preman tadi."

"Aduh Neng, saya minta maaf ya, saya gak bisa bantu cari sebelah sepatu Neng. Ibu harus pulang karena suami Ibu pasti nunggu Ibu dirumah." ujar Ibu itu merasa tak enak hati.

Mozza tergagap. "Eh—gak papa lagian, Bu. Saya cari sepatu saya dulu, deh. Ibu pulang aja kasian suami ibu." balas Mozza kali ini berganti menatap sang supir. "Akang anterin Ibu ini, ya."

Supir mengangguk pelan. "Beneran Eneng udah mau dijemput? Kalo emang gak ada yang jemput biar ikut sekalian aja Neng." tawar supir berbaju biru muda itu.

Mozza sedikit membungkukkan badan. "Saya 'kan mau cari sepatu saya dulu, Kang. Saya udah mau dijemput kok, Akang lanjut narik angkot aja. Kalo nungguin saya kasihan Ibunya."

Sang supir mengangguk pasrah membenarkan perkataan Mozza. "Yasudah kami permisi, Neng."

"Sekali lagi terima kasih, Neng." ujar Ibu.

Mozza mengangguk membalas tersenyum menatap punggung supir serta Ibu yang menggandeng tangan anaknya berjalan kearah angkot.

Mozza berganti mencibiri dirinya sendiri. "Duh, makin o'on aja gue! Sepatu kok gue lempar enteng banget hih!" Mozza berbalik badan melangkah memungut sepatu yang tergeletak dijalan. Untung dipinggir jalan bukan ditengah.

Daren memang sudah sedari menonton diparkiran duduk diatas motor. Saat ingin menjalankan Daren tak sengaja melihat Mozza yang berbincang bersama satu Ibu-ibu dan anak kecil serta sang supir angkot.

Setelah Ibu dan supir itu pergi, Daren tetap bertahan menatap Mozza dari sini. Saat akan memasang helm mata Daren lagi-lagi tak sengaja menangkap sosok Mirza yang terdiam diatas motor dari sini Daren sudah dapat menebak bahwa Mirza memang sedari tadi menatap gadis itu. Daren tersenyum miring dibalik helm full face saat Mirza menoleh kearahnya. Daren, lelaki itu menjalankan motornya pelan melaju kearah Mozza.

Mozza memasang sepatu dengan berdiri karena memang sepatu itu sedikit longgar.

Mozza menoleh kanan kiri. "Serius ini gimana? Gue balik sama siapa coba?"

"Balik sama gue aja,"

Mozza dengan cepat membalikan badan kebelakang.

Daren tersenyum diatas motornya. "Gimana?" tanya dengan satu alis yang dinaikan.

Mozza merengut. Mengapa hanya ada Daren saja disini? Mirza benar-benar tidak balik lagi? Ngarep Mozza memang berharap Mirza yang akan mengantarnya.

Namun ini?

Tapi...gak ada pilihan lain juga.

Tapi gengsi, pula.

Mozza masih menoleh kiri-kanan berusaha mencari tumpangan lain, Daren yang mengerti itu terkekeh. "Lo cari apa? Siapa? Mirza? Si batu itu gak bakal balik juga. Lagian lo kok ngarep banget dia anterin balik, kasihan juga lo," Mozza memasang tampang sinis. "Buruan mau ikut gak? Gue gak mau ngulang tawaran gue dua kali!" ucap Daren memakai helm serta men-stater motornya.

Mozza berdecak mau tak mau ia menaiki jok motor Daren dibantu bahu lelaki itu. "Buset lo badan kecil tapi berat juga," celetuk Daren.

Mozza memukul belakang helm yang digunakan Daren membuat lelaki itu mengaduh. "Diem lo! Gue kayak gini juga terpaksa! Terpaksa!" sinis Mozza menekan kata terpaksa.

Daren menggeleng pelan, sudah mengetahui jelas sifat Mozza yang terlalu gengsi bila bersamanya. "Gue gak maksa, kalo lo gak mau ikut sama gue ya turun aja,"

Mozza mendelik tajam. "Jangan banyak bacot lo, jalan buruan!" Mozza menepuk bahu Daren keras menyuruh lelaki itu agar menjalankan motornya.

"Ck, gengsi kok gede," cibir Darwn yang hanya samar-samar ditangkap telinga Mozza.

Mozza lagi-lagi memukul helm itu. "Jalan! Jangan buat gue nonjok muka lo yang udah pas-pasan itu, ya!"

Lama-lama Mozza gemas juga ingin menonjok wajah menyebalkan Daren.

Padahal jika boleh jujur juga, tampang Daren malah sebelah dua belas sama-sama ganteng seperti Mirza.

Hanya saja bagi Mozza tak ada yang bisa melebihi Mirza.

Daren mengaduh kesakitan. Lelaki itu segera menancap gas membuat Mozza yang belum siap reflek langsung memeluk pinggang lelaki itu.

"SIALAN LO DAREN!"

****

"Lo—," Mozza menunjuk Daren menggunakan telunjuk jari. "Kalo mau ngajak mati jangan sama gue!" Mozza menonjok lengan Daren kuat.

"Sakit Za!" Daren mengelus lengannya yang menjadi korban lelaki itu menuruni motor.

Mozza mencibir sibuk membenarkan tatanan rambutnya yang rusak akibat dibawa kebut-kebutan macam setan oleh Daren sialan!

Daren ikut membenarkan tatanan rambut Mozza namun, gadis itu menepis kasar. "Halah modus lo! Bilang aja sengaja ngebut karena mau dipeluk gue!" sinis Mozza melangkah meninggalkan Daren yang tertawa karenanya.

"Tapi nyatanya lo tetep peluk gue, Mozza!" teriak Daren dengan tawa yang mengeras.

Bruk

"Mampus!" Mozza meledek Daren meringis mengelus kepalanya yang ia timpuk menggunakan mangga tetangga yang masih berwarna hijau.

Untung bukan mangga bosok.

Beruntung kau Daren!

"MAMAM TUH MANGGA!!"

Sebelum akhirnya Mozza memasuki gerbang rumahnya.

Daren masih meringis menatap Mozza yang sudah menghilang dari penglihatannya, beralih menatap mangga hijau yang terjatuh dibawah.

"Benar-benar lo Mozza!"

****

MozzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang