16. Saudara tiri

183 15 3
                                    

Mozza menaiki tangga dengan langkah pelan. Entah mengapa suasana rumah kali ini terlihat sepi tak berpenghuni, sepertinya Amy tidak ada dirumah.

Mozza membuka pintu kamarnya. Matanya melotot melihat seseorang dengan posisi tengkurap serta earphone dikedua telinga, satu hal yang membuat Mozza dengan cepat melempar tasnya tepat mengenai kepala gadis itu karena dia berani-beraninya memakan cemilan diatas kasur.

Hal itu jelas nanti membuat tempat tidurnya kotor serta mengundang para semut untuk datang.

"Aduh! Apa-apaan lo— eh Mozza," cengir gadis itu langsung merubah posisinya. Melihat Mozza yang menatap tajam gadis itu lantas langsung membereskan kantong-kantong makanan yang berserakan diatas kasur.

"Lo—ck beresin sampe bersih!" decak Mozza memandang Methala sadis.

Methala meringis, melepas earphone dari kedua telinga. Mengumpulkan kantong yang sudah tak berisi didepannya. Gadis itu mendongak dengan tatapan memelas. "Bentar lagi, Za. Tanggung ini," Methala menunjuk sebuah tontonan drakor yang ada dilayar laptopnya.

Methala menyengir semakin ditatap ganas oleh Mozza. Mozza melotot melihat layar laptop dengan paksa Mozza menarik lengan kurus gadis itu. "Pergi tontonan lo merusak pemandangan gue!"

Methala berdecak menarik tangannya, "Emang—buset kiss ya?" cengir kaku gadis itu menutup layar laptop.

Mozza semakin menautkan alisnya, ia ikut naik pitam menghadapi sikap Methala. "Pergi! Atau mau gue tonjok m—,"

"Gak baik lo nonjok muka saudara lo yang cantik ini," sela Methala mengibas rambutnya.

Mozza bergidik geli mendengar perkataan Methala. Gadis itu bersidekap dada. "Saudara?" ulangnya menatap Methala sinis. "Lebih tepatnya saudara tiri kalo lo lupa!"

Methala termagu. Menatap Mozza dalam diam, Methala tahu fakta itu, dan Methala tak mungkin lupa akan hal itu, tapi apa harus terus seperti ini?

Setalah beberapa saat terjadi keheningan. Methala tiba-tiba menarik sudut bibirnya menyungkring senyum manjs. "Hmm emang kita saudara tiri, tapi lo 'kan gak bisa ngelak memang pada kenyataannya gue 'kan saudara lo, Mozza."

"Walaupun tiri..." lanjut Methala.

Mozza terdiam menatap lurus sosok Methala. Memang benar sampai kapan pun Mozza tak bisa mengelak kenyataan bahwa pada dasarnya Methala sudah menjadi saudara—tirinya.

Methala terkekeh pelan melihat Mozza yang sepertinya sama sekali tidak bisa menjawab ucapannya. "Mamah gue udah nikah sama Papah lo, itu artinya—Mamah gue jadi Mamah lo dan Papah lo—," Methala semakin melebar senyumnya, justru itu membuat Mozza mengepal tangan berusaha menekan rasa emosi yang dilanda sekarang. "—Jadi Papah gue."

Mozza merasa semakin gemas, dengan kasar gadis itu menarik tangan Methala membuat gadis itu tersentak kaget hampir saja terjatuh kebawah ranjang.

Methala meringis mengelus tangannya. "Gila lo!"

Melihat Methala yang sudah berdiri, Mozza tersenyum paksa. "Gue emang gila," tangan Mozza memberikan laptop serta sampah-sampah kedalam dekapan Methala.

Methala mendelik tak terima. Hampir saja laptop mahalnya jatuh. Untung hanya sampah-sampah kosong itu yang berjatuhan kebawah. Huh! Methala bernafas lega. "Gak waras lo Mozza!"

Mozza menendang sampah-sampah yang berjatuhan dibawah kaki Methala. "Buang tuh! Kalo lo emang punya etika harusnya minta izin dulu, jangan asal main selonong masuk kamar orang! Pake acara nyampah segala, lagi. Otak doang lebih, attitude kurang!"

Tak ingin meladeni lagi ucapan Mozza. Methala lebih memilih memungut sampah-sampah itu mengumpulkannya menjadi satu dengan satu tangan karena sebelah tangannya menenteng laptop.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MozzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang