14. Copet

102 10 0
                                    


"Gak. Sampai kapan pun Mirza gak akan mau." itu kata-kata terakhir yang Mozza dengar dari belakang motor Mirza. Cowok itu sepertinya menutup sambungan telepon sepihak, terbukti bahwa Mirza menyimpan ponsel disaku belakang jaket yang terbalut ditubuhnya.

Saat Mirza hendak memasang helm pada kepalanya, Mozza tak pikir panjang langsung menaiki jok motor Mirza dan hal itu hampir saja membuat keduanya terjatuh dari atas motor. Jika saja Mirza tak langsung menyeimbangi dengan memasang kaki yang kokoh, serta jika saja Mozza yang tak bergerak memeluk leher Mirza maka gadis itu pasti akan terjatuh.

Mirza melotot kaget, menepuk kasar punggung tangan Mozza yang tetap bertahan memeluk lehernya. "Lepas!"

Mozza menyengir sebelum akhirnya melepaskan kedua tangan yang terlilit dileher Mirza.

Mirza berdecak keras. "Bego lo!" desis Mirza memasang kembali standar motornya.

Melihat Mirza yang menuruni motor, Mozza hanya memasang tampang dongo dengan cara cengengesan tak jelas. "Maaf, kita hampir jatoh, ya?" decit Mozza.

Mirza menatap tajam. "Turun!"

Mozza mendongak, kepala gadis itu menggeleng keras. "Gak mau. Hari ini gue ikut, ya sama lo. Uang saku gue abis tadi buat bayar tunggakan kas yang belum sempet gue bayar. Gue aja tadi jajan cuma pas istirahat pertama, itu juga gue beli bakso gak abis karena Nesha yang tiba-tiba numpahin teh kedalam mangkok bakso yang baru aja gue makan satu butir doang. Kali ini gue serius, kok. Uang gue emang abis buat bayar kalo gak percaya tanya Nela, deh. Dia 'kan yang terus maksa gue!"

Mozza mengangkat tangan didepan dada. "Serius, gue gak pake alesan, Mirza. Tolong gue nebeng sampe gang rumah gue, deh. Satu kali ini aja," Mozza meringis kecil mengatakannya.

Mozza memang tak berbohong, uang gadis itu memang habis lantaran bayar uang kas yang sudah satu bulan menunggak. Jelas saja sang bendahara, Nela. Sangat menagih itu dengan suara bisingnya yang terus mengganggu Mozza. Karena Nela yang mengatakan bahwa dirinya yang terus terkena omelan wali kelas jika Mozza terus-menerus menunggak seperti ini. Maka dari itu Mozza memberikan uang saku yang awal niat akan digunakan untuk perjalanan pulang, ia berikan kepada Nela, kasihan juga gadis itu yang selalu kena omelan guru akibat ulahnya.

Sebetulnya pun, Mozza dapat nebeng sama Defan, sang ketua kelas yang memang selalu bersikap baik padanya. Tadi saja saat Mozza mengatakan bahwa uang saku yang akan diberikan pada Nela bahwa itu uang untuk dirinya pulang, Defan cowok itu malah mengajak agar menebeng saja bersamanya. Hanya saja Mozza menolak itu, Mozza lebih memilih bersama Mirza. Walaupun Mozza sudah menebak bahwa Mirza tak akan mau itu.

Mirza menatap datar tak berminat sama sekali mendengarkan ocehan Mozza.

"Turun!"

"Gak, gue ikut!"

"Turun!"

"Please," mohon Mozza dengan memasang wajah memelas.

Namun, Mirza tetaplah Mirza.

Cowok dingin berhati batu.

Yang sialnya hanya dia yang Mozza cinta.

"Turun sekarang dari motor gue!" bentak Mirza, wajah lelaki itu sudah tampak memerah karena menahan amarah menghadapi sikap Mozza.

Mozza memejam mata karena kaget, gadis itu jelas sekali tersentak. Entahlah ada setitik rasa sakit yang berhasil menusuk-nusuk hatinya. Dengan terpaksa Mozza turun dari kendaraan milik Mirza.

Dengan wajah cemberut. Mozza terdiam hanya menatap pergerakan Mirza dari memasang helm hingga lelaki itu membelokan motornya dan melesat meninggalkan Mozza yang berdiri meratapi nasib bagaimana caranya ia pulang sekarang.

MozzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang