PROLOG

513 43 1
                                    

Hay. Ini cerita pertama saya, alurnya agak maju mundur. Maaf jika buat kalian merasa keder/bingung.

Vote dan coment.

Sekalian bantu perbaiki kata yang salah, jika berkenan.

Cerita ini agak membingung'kan juga si, karena alurnya pun agak ribet, dari mulai rahasia, cinta serta keluarga.

Ini si bagi yang mau baca sekalian bagi yang suka, ya Alhamdulillah ya.

****

"BUNDAAAA."

Gadis itu menangis hebat dipelukan sang Ayah akibat melihat kepergian Bundanya. Gadis itu memberontak, meraung memanggil nama sang Bunda yang sama sekali tak menoleh.

"Bunda hiks jangan pergi..." suara gadis itu melemah, tenaganya sudah terkuras habis lantaran terus berteriak memanggil nama Bunda yang hanya bisa dilihat punggungnya dari kejauhan.

Gadis itu terduduk lemas, memukul lantai namun Ayahnya mencegah itu dan mempererat pelukan mereka. Gadis yang baru beranjak usia dewasa itu beberapa kali memukul dada sang Ayah.

"Kenapa Papah gak nahan Bunda hiks...?" pandangan gadis itu memburam karena air mata yang terus meluncur dari pelupuk matanya. Gadis itu berkedip pelan menunggu jawaban sang Ayah yang hanya menatapnya sendu.

Tak mendapat respon, hanya elusan lembut dikepalanya yang dapat ia rasakan. Gadis itu mendorong kuat dada Ayahnya membuat pelukan mereka terlepas. Gadis itu berlari dengan cepat memasuki kamarnya, meninggalkan keheningan dengan suara pintu yang tertutup dengan keras.

Gadis itu kembali terisak dibalik pintu, tubuhnya merosot kebawah. Menekuk lutut memeluk erat dirinya sendiri, menunduk menenggelamkan wajahnya. "Bunda ke-napp-a hiks p-erg-i hiks..."

"Arghhhh."

Crak

Gadis itu menjerit membanting sebuah bingkai yang sedari hanya ditatapnya, dia melemparnya kearah tembok menyebabkan suara pecahan terdengar.

Gadis itu meraung menjambak rambutnya sendiri. Gadis itu terduduk dibawah ranjang menekuk lututnya. Tatapan mata itu kosong memandang dinding polos berwarna putih.

Setetes cairan bening keluar dari pelupuknya, bibirnya bergetar. Dadanya ikut menyesak, seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga.

"Kenapa Pah?"

Hiks

"Kenapa keputusan Papah buat aku menderita?"

Isakan demi isakan mulai terdengar. Gadis itu menampar pipinya beberapa kali dengan kuat meninggalkan bekas merah karenanya.

"Bahkan ini gak sesakit apa yang hati aku rasain,"

Bibirnya tersenyum getir, menatap kaca bingkai yang sudah pecah. Dibingkai itu terdapat foto keluarga dirinya yang memamerkan senyum bahagia. Dua sepasang suami istri dengan dua anak perempuan serta lelaki didepannya.

Plak

Untuk yang kesekian kali, gadis itu menampar pipi nya sendiri.

"Arghhh." Gadis itu kembali meraung menjambak kuat rambutnya sendiri, wajahnya sudah memerah karena isakan yang tak kunjung reda.

Brak

"Mozza!"

"Jangan. Jangan kayak gini, gue mohon..." Lelaki itu mendobrak pintu kamar Mozza. Berlari menghampiri gadis itu dan mendekapnya erat.

Lelaki itu tahu, Mozza pasti merasakan kecewa lantaran keputusan Ayahnya yang diambil sepihak saja sama sekali tak membicarakan lebih dulu dengan mereka.

Karena khawatir dengan keadaan Mozza, lelaki itu tak segan mendobrak pintu kamar Mozza. Dirinya meninggalkan acara yang diadakan Papahnya, meninggalkan seluruh tamu yang ada. Lelaki itu tak bisa merasakan tenang jika belum bertemu dengan Mozza. Dirinya tau bahwa keadaan Mozza kini kacau karena hal itu.

Keputusan yang diambil Ayahnya berhasil membuat luka Mozza kembali terbuka. Luka yang selama ini perlahan mulai mengering, kembali terbuka.

Dia tahu bahwa Mozza tak akan baik-baik saja setelah ini-

"Kenapa, Kak?" Mozza merasakan pelukan hangat dari sang Kakak mengerat. "Kenapa Papah mau ambil keputusan itu?"

-karena keputusan gila yang diambil Ayahnya berhasil melukai batin Mozza.

Kak? Baru saja Mozza menyebut dirinya, Kak? Itu artinya memang gadis ini sangat terpukul dengan kenyataan.

Lelaki itu tak menjawab.

Kepalanya menggeleng pelan, matanya terpejam satu tetes air mata jatuh mengenai rambut Mozza. Lelaki yang diketahui Kakak kandung Mozza semakin mengeratkan pelukan untuk Adiknya. "Kakak gak mau liat kamu gini..."

Mozza membalas peukan Kakaknya tak kalah erat, meremas ujung jaket yang dikenakan Kakaknya. "Kenapa Papah mau nikah lagi, Kak?" suara Mozza hampir tak terdengar karena isakannya.

****

MozzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang