07. Perihal Masalah itu

122 11 0
                                    


"Woy, didalam kelas unggulan Mozza sama Nesha ribut lagi!" seru lelaki menggema diseluruh kantin.

Dan itu berhasil menolehkan semua muris yang tadi sibuk memakan, tak terkecuali Olivia yang duduk sendiri dipojok yang sedari tadi menunggu Mozza agar cepat datang.

Namun, saat mendengar nama Mozza disebut hal itu berhasil membuat Olivia dilanda rasa khawatir yang ia takutkan tadi benar saja terjadi, Olivia berdiri dan langsung berlari menuju kelasnya.

Disana Olivia sudah melihat beberapa murid yang mengerubungi dari sudut kelasnya sekalipun, seperti bulan lalu, mereka oun hanya menonton asik tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Olivia berlari menerobos kumpulan itu hingga ia bisa melihat Mozza yang berdiri dengan pipi serta sudut bibir yang sudah robek dengan darah yang keluar. Dari ambang pintu Olivia berhenti melangkah saat mendengar apa yang Mozza ucapkan.

Jangan Za, gue mohon.

Disebelah Olivia sudah ada guru BK yang baru memasuki ruangan ini.

Mata guru itu menajam, alisnya tertekuk tanda bahwa ia emosi karena perbuatan mereka.

Atau, Mozza?

Mozza memandang Nesha yang kini menatapnya dengan raut yang memerah, mata gadis itu menajam.

"Kuat juga pukulan lo, Nesha."

Olivia yang mendengar itu tak bergeming, menatap kosong Mozza yang berdiri dengan darah yang mulai menetes dari lubang hidung, tubuh Mozza pun ikut merosot kebawah.

Entah apa yang dibicarakan Mozza yang terduduk dibawah bersama Nesha, tetapi hal itu jelas membuat Olivia enggan untuk menghampiri tempat mereka.

Olivia kecewa. Ya dirinya kecewa untuk yang kedua kali pada kelakuan Mozza.

"Mozza, cukup gue bilang!" teriakan Methala mengalihkan pandangan Olivia.

Olivia semakin merasa bahwa semua tak akan baik-baik saja setelah ini.

Mozza berdiri, matanya menangkap sosok Olivia. Mozza tertegun sebentar.  Mozza mendekat dan berjongkok dihadapan Nesha merampas kertas apa yang tak diketahui Olivia.

Dan kembali berdiri, karena sudah menyadari bahwa bukan hanya Olivia saja yang melihat itu tetapi—sudah menjadi tontonan semua. Mozza berjalan meninggalkan mereka.

Berjalan kearah Olivia, namun kaki itu tak mampu mendekat lebih dekat kearah gadis itu.

Mozza hanya berdiri dengan tampang tenang.

Pandangan Mozza hanya menatap lurus Olivia yang berdiri kaku menatapnya dengan satu tetes air mata yang menetes.

Mozza tahu itu, Olivia. Mozza sudah mengecewakan gadis itu. Untuk yang kesekian kalinya.

"Mozza ikut saya! Dan kalian bawa Nesha ke UKS." tegas guru BK disebelah Olivia.

Olivia masih memandang lurus kedepan, hatinya mengumpat nama Mozza saat melihat senyum santai gadis itu.

Olivia menatap lekat Mozza, pandangannya jatuh pada luka memar dipipi serta bekas darah dibawah hidung.

Mozza tersenyum santai. "Oke,"

Objek Mozza tak luput dari Olivia. Gadis itu berjalan menunduk karena menghindari tatapan Olivia,  mungkin Olivia sudah kecewa terhadapnya. Mozza meredupkan pandangan, menatap sepatu yang dipakainya itu dengan kosong. didepan Mozza ada Pak Amar guru BK yang berjalan mendahului.

Mozza mengikuti langkah Pak Amar hingga memasuki kantor BK.

Mozza pun tahu bahwa Pak Amar masih bersikap baik padanya, hanya saja lelaki berumur itu tak bisa berbuat apa-apa, karena mereka memiliki kekuasaan.

"Duduk, Mozza."

Mozza mengangguk, gadis itu duduk menurut.

Memandang lurus kedepan, samar-samar ia hanya mendengarkan apa yang dikatakan Pak Amar. Nafas Mozza seakan berhenti pada tulang hidung yang kini terasa ngilu akibat pukulan Nesha yang tak main-main.

"Kamu tahu, Mozza. Apa yang kamu perbuat ini?"

Mozza menatap Pak Amar sekilas. "Ya, saya tau."

"Lantas mengapa kamu selalu mengulangi perbuatan seperti ini?, Ingat Mozza catatan kamu disini sudah cukup banyak. Kami pihak guru mengakui kemampuan kamu dalam hal karate namun itu tak bisa digunakan kesembarang lawan. Kamu ingat kejadian bulan lalu? Apa yang kamu dapet dari itu?"

"Tidak ada,"

Yang Mozza dapat hanya kekecewaan dari orang tersayangnya.

Termasuk, Olivia.

Pak Amar menghela nafas, ia turut perihatin dengan keadaan Mozza gadis itu selalu terlihat tenang dalam menghadapi situasi semacam ini, "Akibat dari kamu melawan Nesha akan membuat posisi kamu disekolah ini semakin sempit, Mozza. Nesha bisa saja melaporkan mejadian ini kepada Ayahnya. Ralat. Tanpa melapor hal ini pun kaspek akan tahu dengan sendirinya. Dan—Ayah Nesha tak akan membiarkan itu."

"Ya, saya tahu,"

"Saya tidak bisa berbuat lebih dari ini, Mozza. Saya harap kamu bisa membela diri kamu didepan kaspek u—,"

"Untuk apa?" Mozza menyela. "Untuk apa lagian Pak? Untuk kaspek agar meringkankan hukuman saya? Bukankah selama ini memang selalu saya yang salah bila diposisi seperti ini? Liat Pak," Mozza menunjuk luka memar dipipi akibat tamparan Nesha. "Ini luka 'kan? Haha ini memang serius luka Pak lagian saya tidak akan mendrama dan saya tak akan mengemis juga untuk meminta kaspek mendengarkan suara saya, saya sudah cukup muak dengan semua ini Pak, karena apa? Karena memang yang selalu mencari masalah bukan saya, bukan 'kah disini saya yang menjadi korban? Ya, saya gak mempermasalahkan itu, lagian saya tak memperdulikan sekali dengan penilaian kalian yang entah itu buruk. Lagian saya memang murid brandal, kok. Tidak tahu aturan dan memiliki tingkat kebodohan yang tinggi—jadi wajar saja."

Mozza terdiam menatap Pak Amar, gadis itu sekali menghirup udara dari hidung.

"Dan, saya tidak meminta Bapak untuk membantu saya, saya bisa tuntasin masalah saya sendiri—tanpa campur tangan orang lain."

Pak Amar tertegun sebentar. Ya, memang benar Mozza sama sekali tak pernah meminta bantuan padanya, hanya saja Pak Amar selalu merasa iba karena gadis ini yang selalu dipandang sebelah mata oleh setiap guru, bahkan saat rapat pun salah satu guru ada yang membicarakan sikap Mozza selama ini yang dicap buruk. Guru berumur itu lantas kembali berucap. "Saya mengerti, dan kami tak pernah menilai seperti itu, Mozza. Kami sebagai guru menilai kamu dan semua murid itu sama."

Tetap saja, Pak Amar guru dan guru disekolah ini tak ada yang berbeda.

Mozza terkekeh sinis. "Iya juga. Yang membedakan saya dengan mereka 'kan hanya nilai dan kecerdasan."

****

Mozza tak mengobati memar dipipinya, gadis itu hanya menyeka darah yang meluncur kembali dari hidungnya.

Mozza memandang pantulan bayangan diri sendiri dari cermin dihadapannya. Berdecak sebal, Mozza kembali membasuh wajah dengan air yang terasa dingin berasal keran wastafel. "Ngilu juga si," Mozza meringis karena tidak sengaja menekan memarnya sendiri.

Bekas tamparan itu masih tercetak jelas, tapi bukan itu saja yang membuat Mozza meringis. Juga karena pukulan yang mengenai tulang hidung Mozza hingga membiru karenanya.

"Ck, bodoh banget," Mozza kembali membasuh wajahnya.

Terasa sekali sensasi dingin air yang menyentuh seluruh permukaan wajahnya. Mozza tersenyum, membasuh tangan, selepas itu semua Mozza berjalan keluar dari toilet.

Mozza meringis kala membuka pintu toilet, tangannya langsung dicengkeram kuat oleh seseorang. Mozza reflek menoleh dan memberontak. Namun, saat melihat bahwa Mirza sang pelaku yang menatapnya datar, Mozza memamerkan cengiran kaku. "Eh—Mirza,"

Tanpa menunggu lagi, Mirza menarik paksa tangan gadis itu.

****

MozzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang