Kebahagiaan

3 0 0
                                    


"Jadi, seperti itu ya?" aku menatapnya lemas dan menunduk, kak Axel menepuk pundakku.

"Jadi ... kau akan pergi? Kau ... akan meninggalkan kami?? Meninggalkan semua mimpimu?? Meninggalkanku!!?" Taryn hanya mengangguk kecil.

"Kau tahu Malkia? Aku bahagia sekali ketika kau datang kerumah ku dan bertamu, kau telah berhasil mengalihkan pandanganku dari buku novel yang kubaca sendiri di teras rumah, dan untuk yang pertama kalinya aku memandang kehadiran seorang teman." Taryn tak menatap mataku, ia hanya tersenyum tipis dan menatap kedua kakinya yang di selimuti kain tipis, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak, segeralah aku membuka kain selimut yang menutupi kaki Taryn, dan mataku terbelalak kaget.

"Kakimu ...." tenggorokanku tersekat dan tanganku mulai menyentuh kakinya yang pucat.

Dingin ....

Seolah kakinya telah membeku, tidak ada kehidupan, kaku dan dingin seperti mayat, Taryn hanya menghela nafas kecil, sepertinya ia telah siap menghadapi semua ujian ini.

"Aku lumpuh Malkia, Maaf,..." Taryn mengepalkan tangannya lalu meringis kesakitan, tak lama setelah itu tetesan air membasahi punggung tangannya.

"Unngghh ... Hikss ... hikss ... Ma-maaf ..." Tak kuasa menahan air matanya, ia pun menangis dengan lirih.

Hatinya sangat terluka dengan rasa kekecewaan yang selama ini ia alami, tak pernah luput dari padanya, ia ingin mendapatkan kebahagiaan dan sebuah kebanggaan, ia mencari cinta dari kedua orang tuanya, namun dirinya sendiri tak kuasa untuk menggapainya, sorot matanya yang basah dan merah, menandakkan bahwa ia sangat membenci hidupnya.

"Taryn,..." spontan aku memeluknya dengan erat.

"Berikanlah semua bebanmu padaku, kalau kau membutuhkan cinta, aku akan memberikan semua cintaku padamu, kau jauh lebih layak mendapatkan kehormatan dan kebanggan, teruslah bertahan Taryn, jangan membuat dirimu menyerah, kau ... lahir bukan untuk dibenci dan tidak dicintai, kau ada untuk mengubah hati orang lain, dan satu lagi ... mengapa kau menyembunyikan semua ini dari kami? Mengapa kau telah berbohong pada kami Taryn?" Taryn langsung membalas pelukanku dan membasahi bajuku dengan air matanya.

"Hiks ... aku minta maaf, Malkia ... hiks ... aku terlalu takut menghadapi kenyataan ini, hiks ... aku takut membuat teman-teman kecewa dan tidak mempercayaiku lagi, hiks ... aku sangat ketakutan, Malkia, ..." aku mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

"Kau tidak lihat kah? Sorot mata teman-teman ketika mereka bersemangat untuk latihan? Mereka ada karena mu, Taryn! mereka ada, karena mereka mempercayaimu, tak peduli siapapun kau dan apa yang terjadi padamu, mereka akan selalu mempercayaimu, bahkan jika saat ini mereka melihat keadaanmu yang seperti ini, mereka akan tetap menggendongmu kemanapun kau ingin pergi melihat dunia, bahkan mereka akan tetap menghormatimu menjadi ketua osis dan pendiri paskib SMP Rajawali, mereka takkan pernah melupakannya, mereka akan memakaikanmu jas almamater dan tetap memaksamu untuk mengikuti upacara bendera di sekolah." Taryn melemaskan pelukannya lalu menatapku dan mengusap pipiku.

"Sudah kuduga, kau memang harapan terakhirku Malkia, terimakasih,..." ia tersenyum kecil.

Perlahan ...ia menutup matanya dan menjatuhkan diri ke kasur

Sekejap aku dan kak Axel, panik bukan main ...

"TARYN!!!"

"Taryn!! bangun Taryn!! ini belum berakhir Taryn!!! bangun Taryn!!!" aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, berharap agar ia sadar kembali, kak Axel segera berlari keluar untuk mencari bantuan dokter dan perawat.

"Suster!! Adik saya sus, ..!!!" Teriaknya dari koridor yang tak jauh dari ruangan Taryn, selang beberapa detik kemudian datanglah seorang dokter disertai beberapa perawat yang berlari ke arah kami, salah seorang perawat wanita memperingatkanku untuk segera keluar, aku hanya menurut kepadanya dan menunggu bersama kak Axel diluar ruangannya, terlihat pada raut wajahnya yang begitu panik dan tidak tenang, keringat membasahi keningnya, ia tak henti-hentinya menatap pintu perawatan, aku pun mendekatinya.

"Kak Axel, apakah kita perlu mengatakannya pada teman-teman yang lain?" tanyaku lirih tanpa menatap wajahnya.

"Tidak perlu, besok kalian harus berlomba kan? Kakak ingin kalian fokus pada perlombaan besok, dan kau ... Malkia, pulanglah ... kau harus banyak beristirahat untuk perlombaan besok." kak Axel menatapku penuh ketulusan, ia pun mengusap-usap kepalaku, aku hanya mengangguk kecil. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku melangkah pergi meninggalkannya dan terus berharap, bahwa ... Taryn akan baik-baik saja.

***

Pada hari ini, kembali kami berada di balai kota Yogyakarta, teringat pada kejadian 3 bulan yang lalu, ketika kami berlomba bersama, dan waktu itu Taryn masih ada di pleton kami.
Saat ini yang masih mengetahui keadaan Taryn hanyalah aku dan kak Axel, kak Axel berkata padaku bahwa Taryn baik-baik saja, ia berpesan agar aku jangan terlalu memikirkan keadaannya, dan harus lebih berfokus pada perlombaan ini, baiklah ... untuk kesembuhan Taryn, aku akan berusaha menjadi komandan yang betanggung jawab.

"Malkia!" Sigra datang dari sebelah kananku dan langsung menggandengku, diikuti Deandra yang berada di samping kiriku tengah sibuk mengelap kacamatanya yang ber-embun

"Semangat ya! untuk lomba kita hari ini!" kata Sigra aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil.

"Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana keadaan Taryn?" Deandra bertanya padaku.

"Dia baik-baik saja kok, masih menyebalkan seperti biasanya." jawabku dengan nada yang sedikit bercanda—namun dipaksakan—dan berbasa-basi.

"Benarkah? Ah, ... aku rindu sekali dengannya, wajahnya itu loh, kalau lagi marah atau tegas, lucu juga, hihihi,...." Sigra sedikit meledeknya, namun dengan spontan aku langsung berkata.

"Jangan seenaknya berbicara tentangnya, kamu tidak tahu apa-apa ...!" lalu dengan cepat aku membungkam mulutku dengan kedua tanganku.

"Eh? Maksudmu apa Malkia? Kau tersinggung kah?" Sigra menatapku bingung, namun tiba-tiba ...

"Pangillan untuk peserta nomor urut 06 harap segera menyiapkan diri di garis start, ..." terdengar suara dari panitia yang datang ke basecamp kami, kak Axel segera menepuk pundakku dan berkata.

"Setelah selesai berlomba ajak semua teman-temanmu untuk ke rumah sakit dan menjenguk Taryn," aku hanya mengangguk.

"Baiklah, dimengerti!" kemudian aku membimbing teman-temanku untuk segera pergi ke garis start dan memulai perlombaan, aku pun menghela nafasku panjang dan berdoa dari dalam hatiku, perlombaan ini tidak se-meriah yang diadakan pemerintah rupanya, tapi tetap saja, kami harus menampilkan yang terbaik untuk sekolah kami.

"Elona, SEBAGAI PENJURU!!" aku mulai memberikan aba-aba awal untuk membentuk barisan pletonku.

"Siap! Elona sebagai penjuru!!" ia pun berdiri di hadapanku.

"Perhatian, untuk semuanya ... BER-BANJAR ... kumpul, MULAI!!"

BROOKK!!

Semuanya pun berbaris dan mulai menyiapkan diri.

Tarik nafas ... Hembuskan ... kali ini, untuk Taryn! aku akan membawa pletonku menuju kemenangan!

***

Sementara itu... di rumah sakit

"Dok, apakah kakak dari gadis ini, sudah di hubungi?" seorang suster bertanya sembari mencatat data dari gadis manis yang tertidur lelap, bahkan ... gadis itu bisa dibilang ... tertidur selamanya, wajahnya pucat pasi, tubuhnya kaku dan mulai mendingin.

Taryn ...

Ia sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir ...

"Sudah, suster ... kakaknya akan segera datang 30 menit lagi, karena ia mau mengajak teman-teman dari gadis ini." jawab dokter itu.

"Begitu kah? Sayang sekali, padahal selama saya merawatnya, ia selalu berangan-angan menjadi anggota paskibraka, cita-cita yang tinggi dan mulia untuk gadis seumurannya." suster menatap gadis yang sudah tak bernyawa itu dengan raut muka yang sedih.

"Ngomong-ngomong, saya menemukan surat ini di bawah bantalnya/" dokter itu menunjukkan sepucuk surat yang bertuliskan,

Untuk : Komandan Malkia dan Pleton SMP Rajawali
Dari : Taryn Sang Ketua Osis


Sayap RajawaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang