DJV : Bagian 18

305 122 10
                                    

"Lo ngapain sih harus mengendap-endap kek gitu?" tanya Tristan heran, melihat Martha yang hari ini mengenakan topi bisbol lengkap dengan kacamata hitam. "Lo yakin bisa ngelihat pake kacamata itu? Nggak kayak kacamata lo yang biasa."

"Ssstttt." Martha mendesis dan menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Dia kemudian mendekat ke arah Tristan. "Kita kan nggak boleh ketahuan."

Tristan memutar kedua bola matanya. "Nggak bakalan ada yang tau!"

Malam ini, Tristan dan Martha memutuskan untuk datang ke sekolah dan mencari petunjuk tentang kasus pembunuhan Gina dan Pak Reksa. Rencananya, mereka akan memeriksa ruangan CCTV.

"Kamu ngerti soal komputer gitu?" tanya Martha ke Tristan yang sebelumnya mengusulkan ide ini.

"Gampanglah. Emang lo nggak bisa? Katanya murid cerdas."

"Kata siapa aku cerdas?"

"Kata banyak orang."

"Emang iya?" Tristan menatap datar, kemudian meninggalkan Martha. "Eh, tunggu!" Martha menyusul Tristan, melewati tangga yang akan membawa mereka menuju ruangan keamanan.

"Sial!" Tristan mengumpat dan buru-buru menyembunyikan dirinya di tembok. Martha yang terkejut, lantas ikut menempelkan tubuhnya di dekat Tristan. "Ada Kak Elka di sana."

"Bareng Kak Annisa?"

"Sama satu orang cowok lagi. Kita telat."

"Bukan telat. Justru bagus kita yang pergokin mereka. Kita tunggu mereka pergi, terus kita lihat apa yang mereka ambil dari data komputer itu."

Tristan mendengus, berusaha agar tidak mengumpat. "Seenak undel lo ngomong. Gue emang ngerti komputer, tapi nggak sejago itu buat nyari tau file yang diambil Kak Annisa. Levelnya itu BIN, gue bisa apa?"

Martha menggaruk kepalanya, menyengir konyol. "I-iya juga ya."

Tristan mengabaikannya. Lelaki itu kembali mengamati pergerakan tiga orang di sana yang sedang serius. Mereka tak mungkin mengamati relakan CCTV di sana. Tristan jadi bingung, mengapa Annisa butuh ke ruangan CCTV lagi? Padahal akan dengan mudah baginya mengecek sistem keamanan Sekolah dengan keahliannya.

Sementara itu, di ruang keamanan Haru sedang mengamati sistem keamanan yang digunakan SMA Garuda.

"Oke, gue hanya perlu membuat tiruannya doang kan?"

"Yap. Aku hanya bisa membuat bentuk dalamnya, aku nggak bisa buat bentuk fisiknya. Hal kayak begini, biasanya Sam yang ngerjain."

Haru tersenyum miring. "Dia udah lupain lo kali."

Elka mengeplak kepalanya. "Nggak usah manas-manasin anak orang lo, lihat baik-baik bisa kan?" katanya sambil mendorong kepala Haru agar fokus ke monitor.

"Alah, bisa! Niru ilusi optik kayak begini tuh gampang. Jadi lo mau gue buat kapan?"

"Secepatnya. Sebisa mungkin lo buat kamera pengawasnya sama seperti yang ada di sekolah. Emang agak merepotkan karena kata Annisa semua sistem keamanannya dirancang khusus. Jadi nggak bisa beli sembarangan, gila juga sih."

"By the way, kasus ini kan terjadi di sekolah. Harusnya semua yang ada di sekolah ini patut kalian cari tahu. Termasuk kehidupan di sekolah ini 'kan?" tanya Haru.

"Ya, memang." Annisa menimpali sembari mematikam monitor komputer. "Justru itu yang sulit. Aku sama Elka harus tahu bahkan isu kecil yang berkembang di antara para siswa. Sulit banget, Ru."

"Isu?"

"Tewasnya Pak Reksa baru-baru ini, kemungkinan berhubungan kuat dengan isu perselingkuhannya dengan seorang siswi, tersebar beberapa hari sebelum dia tewas dibunuh."

"Berarti terduga kuat ya selingkuhannya."

Elka mengangguk setuju. "Sama satu orang lagi." Haru menatap Elka, mengunggu. "Anaknya."

"Loh, kenapa bisa?"

"Karena selingkuhan Pak Reksa adalah perempuan yang dicintai anaknya," jawab Annisa tersenyum miris.

"Oh, shit."

"Sialannya lagi, selingkuhannya menghilang. Sementara anaknya sama sekali nggak bisa dideteksi, dia punya alibi." Elka melanjutkan. "Gue udah berasumsi selingkuhannya juga ikutan tewas."

"Tapi kenapa?"

"Bunuh diri, mungkin?"

Haru menggeleng. "Kalau kata gue, ini perbuatan seseorang. Selingkuhan Pak Reksa ada di pihak yang menurutnya bakalan aman."

"Lo juga berpikir kasus ini seperti ada dalang yang nggak ikut campur langsung?" tanya Elka sembari menatap Haru dengan tatapan 'gue juga mikir gitu soalnya'.

"Kemungkinan besar. Kasusnya terlalu rapi."

Elka mendesah. "Gue ngerasa kasus ini nggak seribet kasus yang sebelumnya gue tangani. Kayak apa yah, mudah gitu kelihatannya. Gue ngerasa bisa buat plan kerja ini dan itu, tapi kasusnya terlalu sederhana sampai-sampai gue bingung memulainya dari mana. Gila nggak sih tuh?" Elka mendesah lagi, kali ini lebih seperti ungkapan kekesalan. "Lo jangan lupa selidiki nomor yang gue kasih ke lo!" semprotnya pada Haru.

"Udah-udah, mending kita pulang. Kita omongin semuanya di rumah. Jangan di sini," ujar Annisa yang sudah berdiri. "Seram juga kita lama-lama di sini."

Kembali ke posisi Tristan dan Martha yang melihat mereka beranjak pergi dari sana. Tristan memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat, ketika melihat Elka dan teman-temannya itu sudah hampir menghilang di ujung koridor. Tak lupa, Martha mengikutinya.

"Sialan!" Tristan langsung mengumpat begitu sampai di depan pintu ruangan keamanan. "Kenapa gue baru tahu pintu keamanan ini hanya bisa diakses pake kartu?"

Martha menepok jidat. "Aku lupa!"

Tristan menjatuhkan rahang. Bisa-bisanya dia mengajak perempuan lemot ini bekerjasama? Dia pasti sudah gila. Kalau begini caranya, mereka sama saja seperti orang tolol yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong. Tristan memang amatir dalam hal begini, tapi dia tidak berharap akan sebego ini, sebenarnya.

***

Di sebuah ruangan berukuran empat kali enam, seorang perempuan duduk dengan anggun. Dress selutut berwarna putih yang dikenakannya terlihat cantik, mahkota di kepalanya pun sangat berkilauan. Namun, kedua tangannya terikat di belakang, kepalanya menunduk, sisa-sisa air mata tertinggal di pipi tirusnya. Kedua kakinya terdapat bekas-bekas sayatan yang masih mengeluarkan darah. Sebuah lampu di atas kepalanya adalah satu-satunya penerang di ruangan itu, sekitarnya gelap dan kosong.

Pintu ruangan terbuka, masuk seorang gadis dengan hoodie kebesaran yang membawa buku dan sebuah sepatu yang cantik. Diletakannya sepatu itu di depan kaki berlumuran darah, sehingga si empunya kaki terbangun.

"Sudah bangun Cinderella? Ini, aku membawakan sepatu kacamu. Maaf ya, pangeranmu sedang tidak bisa membawakannya."

Gadis itu tak menjawab apa pun lagi, sehingga sebuah suara kembali terdengar. Kali ini dengan lantang dan penuh rasa bahagia yang kentara.

"Dongengmu akan segera berakhir. Punya keinginan?"

Saat itu juga, Nana merasa hidupnya akan segera berakhir. Ini sungguh biadab, terlebih lagi dia akan berakhir di tangan temannya sendiri.

***

A.n

Akhirnyaaaaaaaaaaa!
Lega. Syukurlah. Meski deadline challenge ini masih lama, tetap aja aku mau menyelesaikannya dengan baik. Aku beneran nggak mau berhenti di tengah jalan, duhh. Semoga bisa ya. Makasih dukungan kalian. Semoga aku dan kalian semua tetap sehat ya, supaya bisa menjalani aktivitas seperti biasanya.

Sulteng, 11 Juli 2021
Emeliiy

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang