DJV : Bagian 13

329 123 14
                                    

Malam pertunjukan drama telah tiba. Martha semakin sibuk dengan segala persiapan pementasan malam ini. Pementasan drama adalah puncak dari acara festival sekolah, untuk itu persiapannya sangatlah meriah. Lampu hias menerangi taman sekolah, pilar utama sekolah juga dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu hias, sementara gedung aula utama sudah disulap menjadi sangat dekoratif dengan mengusung tema disney.

"Ta, Pak Direktur belum dateng. Ini acaranya sudah mau dimulai. Perwakilan dari sekolah lain juga udah dateng semuanya." Gege menghampiri Martha dengan panik.

"Gue udah cek di ruangannya juga nggak ada." Dito menimpali. Dua orang sahabat Martha ini memang menjadi panitia persiapan pementasan, maka tak heran keduanya terlihat sangat panik.

"Kalian coba pastikan dulu ke guru-guru lainnya, siapa tahu Pak Direktur sudah ngasih kabar dulu?"

Gege menggeleng frustasi. "Gue jelas-jelas lihat mobil Direktur, Ta. Guru-guru lain juga nggak tahu."

"Ah, kita lupa nanyain satu orang lagi," kata Dito baru mengingat satu nama. "Reno. Dia tadi juga dateng 'kan?"

"Oh, iya!" seru Gege. Gadis itu seperti mendapat harapan baru. "Ayo, Dit. Kita pastikan ke Reno. Kita harus cari dia sekarang. Pementasan sudah mau dimulai."

Gege dan Dito berlari keluar dari aula utama. Sementara Martha juga hanya bisa berharap dua sahabatnya itu bisa segera mengatasi masalah ini karena ia juga harus segera merampungkan masalah yang berada di panggung pementasan. Martha ingin memastikan semuanya berjalan lancar, tanpa cacat. Martha mengumpulkan seluruh pemeran drama, memastikan mereka siap tampil, memastikan mereka tidak gugup, memastikan mereka benar-benar menghafal naskahnya. Tak lupa, Martha juga mengontrol para kru di belakang panggung.

Tanpa gadis itu sadari, Elka memandanginya dari jauh. Bersama Annisa, Elka duduk di bangku penonton, memperhatikan gerak-gerik Martha.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin menyelidiki Martha?" tanya Annisa.

Elka menyeruput kopinya. "Hanya ingin?" Annisa menatap Elka bingung, jawaban yang menggantung itu seperti bukan gaya Elka saja. "Tapi, bukannya memang kita patut mencurigai semua orang yang terlibat dengan korban? Salah satunya Martha. Kita nggak boleh lengah."

"Iya juga, sih. Tapi, kenapa kamu membocorkan rahasia kita kepada Martha?" Elka melirik Annisa dengan malas.

"Gue hanya mau lihat gimana respon dia. Memang nggak ada yang mencurigakan, tapi justru itu. Respon dia terlalu normal. Ehm, maksudnya dia memang terkejut dan terkesan sangat antusias membantu kita. Tapi, entahlah. Sikap gue sekarang anggap saja adalah langkah waspada doang."

Annisa mengangguk. "Baiklah. Aku sudah menyelidiki beberapa profil dia secara umum. Martha Anastasia, dia tinggal sendirian diri rumah mewah. Anak tunggal dari pasutri yang tewas dalam kecelakaan mobil. Orang tuanya kaya raya, untuk itulah Martha hidup sendirian dengan keadaan yang bisa dibilang beruntung. Harta orang tuanya otomatis diwarisinya dan warisan itu diurus langsung oleh pengacara keluarganya."

"Kecelakaan mobil?"

"Ya. Itu kecelakaan tunggal." Annisa terdiam, kemudian melanjutkan. "Sepanjang penyelidikanku, Martha anak yang baik, El. Dia menjalani hidupnya dengan tenang dan seperti anak remaja pada umumnya."

Elka menatap Annisa sebentar, kemudian tersenyum kecil. "Kita juga pernah berhadapan dengan monster yang berpenampilan seperti remaja biasa, Nis. Gue yakin lo belum lupa soal itu."

Annisa terdiam.

***

Pementasan drama terpaksa harus dilangsungkan tanpa kehadiran Pak Reksa—direktur Sekolah. Lelaki itu tak ditemukan, bahkan Reno juga ikut menghilang. Martha mengambil keputusan untuk memulai saja pementasannya dikarenakan para tamu yang sengaja diundang sudah terlalu lama menunggu.

Pementasan dimulai. Bangku yang telah disusun rapi memenuhi gedung aula sudah terisi penuh oleh penonton. Martha bersama Gege dan Dito menonton dari samping panggung, sembari memastikan jalannya pementasan ini lancar jaya. Menggunakan alat komunikasi di genggaman, Martha dapat mengontrol kinerja para kru yang berada di belakang panggung. Termasuk juga mengatur waktu kapan tirai akan ditutup dan dibuka kembali dengan latar scene yang berbeda.

Gemuruh tepukan tangan penonton memeriahkan pementasan saat drama akan mencapai klimaks.

Suara tepukan tangan itu terdengar hingga ke rooftoop sekolah. Menembus pendengaran seorang lelaki yang terikat dengan mulut menggigit selembar kain yang diikat erat. Ikatan itu seakan sungguh merobek mulutnya. Kacamata yang lelaki itu gunakan, penuh dengan tetesan keringat, kacanya tak mampu lagi fokus pada siulet yang ia pandang. Kedua tangannya yang terikat di sandaran kursi menjadi mati rasa, setelan jas mewah yang mengkilap itu basah dengan keringat. Angin malam mampu menerbangkan rambutnya yang basah, namun sama sekali tak dapat menghentikan cucuran keringatnya.

Suara langkah mendekat, pintu rooftoop terbuka.

Seseorang melangkah semakin dekat. Orang itu berhenti tepat di hadapan Reksa yang menunduk. Orang itu berjongkok, wajahnya yang tertutup hoodie menyimpan senyum iblis. Reksa tak tahu siapa orang ini, yang Reksa tahu ia dipukul dengan keras hingga tak sadarkan diri kemudian tiba-tiba saja terbangun dengan tubuh terikat di sebuah kursi, parahnya lagi ia berada di rooftop dan seluruh tubuhnya terasa keram. Reksa yakin, beberapa bagian wajahnya juga dipenuhi lebam.

Reksa menggerang, mencoba memberontak dengan sisa tenaganya.

"Percuma. Nggak akan ada yang mendengarkanmu."

Reksa terkejut. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat orang itu membuka topi hoodie yang menutupi sebagian wajahnya.

"Kita sedang di lantai enam, nggak akan ada yang mendengar karena semuanya sedang bersenang-senang di lantai dasar." Tatapan orang itu sangat dingin. Ia melangkah lebih dekat. "Aku akan memberikanmu waktu, bertobatlah."

Melihat Reksa yang hanya bisa mengeluarkan suara erangan tertahan. Orang itu akhirnya membuka ikatan di mulut Reksa.

"KAMU GILA?" teriak Reksa, setelahnya ia meringis merasakan sakit pada kedua sudut bibirnya. "Kamu ingin membunuh ayahmu sendiri? Anak bodoh! Apa ini semua gara-gara perempuan jalang yang kamu cintai itu? Dasar bodoh!"

Reno menendang kursi yang diduduki oleh Reksa. Tanpa bisa bertahan, Reksa terjatuh bersamaan dengan kursi tersebut.

"Kurang ajar kamu! Kamu membela perempuan  gila itu, hah?"

"Aku sudah sangat baik memberimu waktu. Tunggulah hingga pagi, agar Nana bisa melihat kehancuranmu secara langsung. Bersyukurlah karena Nana tidak bisa datang ke festival malam ini, padahal aku sudah ingin melihat tubuh menjijikanmu itu hancur."

"Dasar anak sialan!"

Reno tak mendengarkan, pemuda itu kembali mengikat mulut Reksa, membiarkan pria yang tak lain adalah ayahnya itu tergeletak dengan tubuh terikat. Reno berbalik, melangkah jauh, meninggalkan Reksa sendirian.

***

A.n

Tandai jika kalian menemukan typo, ya. Semoga kalian ikut terhibur. Thanks karena sudah selalu support. Jangan lupa jaga kesehatan kalian.

Sulteng, 30 Juni 2021
Emeliiy

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang