DJV : Bagian 12

300 126 8
                                    

SMA Garuda tengah disibukkan dengan persiapan gelaran festival sekolah. Acara ini diadakan tiap tahun sebelum atau sesudah ujian semester. Ingatan tentang tewasnya Gina, semakin dilupakan. Sekolah seakan ikut mengusahakan hal itu. Memang ini adalah kejadian traumatis yang harus segera kita lupakan, tetapi sangat aneh rasanya jika harus melupakan dengan cara mengubur kasusnya dalam-dalam tanpa kepastian.

Sudah beberapa hari, Martha belum mendapat panggilan dari Elka ataupun Annisa. Dia juga sibuk mempersiapkan naskah untuk pentas drama yang akan ditampilkan besok malam. Martha juga merasa sangat terbebani akhir-akhir ini, bagaimana tidak, ia sering berhubungan dengan ibunda Aliska untuk menanyakan kabar gadis itu. Namun, nihil. Tidak ada jejak gadis itu. Hingga saat ini gadis itu masih dinyatakan menghilang.

Bu Saras menghampiri Martha dan menepuk pundak gadis itu. Martha tersentak kemudian menatap guru kesenian yang cantik itu.

"Kamu melamun, Ta?"

"Ah, m-maaf Bu." Martha mengusap wajahnya hingga kacamatanya sedikit terangkat. "Saya hanya agak capek aja."

"Kamu butuh istirahat juga, Ta." Bu Saras menyarankan. "Sebaiknya kamu pergi ke UKS. Setidaknya mintalah pil vitamin ke Bu Elka. Namun, sebelum itu kamu bisa ke ruangan direktur dulu."

Martha merasa tak enak. Ia sedang di ruang latihan pentas seni, ia juga bisa melihat semua yang sedang berlatih menjadi tokoh-tokoh dalam drama Cinderella ini menatapnya. Itu berarti sudah cukup lama Martha terdiam seperti orang bodoh.

"Tolong sampaikan kepada Pak Direktur untuk segera menandatangani surat yang akan kita sebarkan ke beberapa sekolah. Hari ini juga kita harus mengantar surat-surat itu," kata Bu Saras. "Setelah itu kamu boleh ke UKS."

Martha menurutinya tanpa bantahan. Ia takut jika bertahan di sini, akan semakin lama dia terdiam dan tak bisa fokus sama sekali. "Baik, Bu. Terima kasih, saya permisi dulu."

Banyak hal yang membuat Martha kebingungan akhir-akhir ini, bahkan kepada dirinya sendiri. Ingatannya yang buruk, banyak membuat dirinya lupa akan hal-hal penting. Martha tak tahu apakah hal ini dikarenakan pikirannya yang terus terbeban? Memikirkannya saja, Martha sudah merasa kepalanya berat.

Langkah Martha berhenti saat mendengar suara perempuan dari dalam ruangan direktur. Martha mengusap wajahnya dengan kasar, mengapa harus dirinya yang selalu berada di posisi seperti ini?

Martha sudah akan berbalik untuk pergi, namun suara dari dalam ruangan itu membuatnya terhenti. "Aku hamil!" Itu suara Nana. Martha seketika teringat perkataan Gege soal isu yang beredar tentang Nana dan direktur sekolah.

"Hamil? Kamu bercanda?"

Jawaban itu sungguh di luar dugaan. Direktur SMA Garuda adalah pria 43 tahun yang sudah beristri, memiliki satu orang anak tunggal yang tidak lain adalah Reno. Martha menelan ludahnya dengan kasar, dengan gemetar ia menempelkan tubuhnya ke tembok, memilih berdiam dan mendengar kelanjutan percakapan dua orang itu.

"A-aku nggak bercanda." Nada suara Nana terdengar ketakutan dan penuh keragu-raguan. "A-aku ... aku hamil."

"Bagaimana bisa?" Suara itu makin meninggi. Ruangan direktur memang berada di lantai tersendiri di sekolah ini. Hanya ada ruangan rapat para petinggi sekolah, ruangan administrasi khusus yang di depannya ada seorang resepsionis. Namun saat itu, entah kemana resepsionis cantik yang biasanya berdiri di balik meja panjang itu.

Ruangan direktur berada di gedung C yang hanya terdapat dua lantai. Lantai pertama adalah ruangan kepala sekolah, wakil-wakil kepala sekolah dan para guru lainnya. Sementara lantai dua adalah ruangan direktur dan beberapa ruangan penting yang lumayan sering digunakan karena sekolah ini banyak mengundang tokoh-tokoh penting untuk menjadi sponsor dalam berbagai kegiatan atau acara.

"Kamu tidak meminum pil yang saya beri?" Suara direktur kembali terdengar.

"A-aku ...."

"Atau jangan-jangan kamu sedang mengelabuhi saya, hm?"

"Nggak! A-aku serius, aku hamil."

"Kamu hamil. Tapi apa benar itu anakku?"

"A-apa?" Nana terkejut. Dia terdiam lama, seperti kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. "Kenapa harus bertanya lagi?"

Direktur tertawa sinis. "Kamu dengan suka rela memberikan tubuhmu untukku, bagaimana mungkin kamu tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain?"

Tangis Nana pecah. "Aku melakukan ini demi adik-adikku!" teriaknya.

"Baiklah. Anggaplah itu benar, kalau begitu gugurkan kandungan itu. Kali ini lakukanlah demi adik-adikmu lagi."

Ruangan itu menjadi hening, bahkan tangis Nana berhenti. Di luar ruangan, Martha masih menyimak dengan jantung yang nyaris melompat keluar saking tegangnya. Apakah dia benar sudah memutuskan untuk mendengar percakapan ini? Martha bisa mendengar suara langkah yang diseret, sepertinya itu langkah Nana.

"Berengsek!" Nana memaki tepat di hadapan direktur. "Dasar manusia bajingan!"

"Nana, jangan mengatakan dua kata itu di hadapan saya. Berpikirlah, apa kamu orang yang tepat untuk mengatakannya?"

Tangis Nana terdengar lagi. Kali ini lebih pelan dan menyedihkan. Sepertinya Nana mulai kehilangan asa. "Gugurkan kandungan itu, lalu pergilah bersama adik-adikmu. Aku akan membiayai seluruh kebutuhanmu."

Tak ada jawaban dari Nana. Hanya suara isak pelan yang memenuhi ruangan itu. Martha yakin, itu adalah keputusan akhir yang mau tak mau harus Nana setujui. Kalaupun Nana menolak, itu artinya dia harus siap menghilang dari kehidupan ini.

Martha memutuskan untuk kembali, dia akan beralasan kepada Bu Sarah, entah apa sajalah yang akan ia katakan. Martha berbalik dan membeku seketika. Tubuhnya yang sudah memutar secara sempurna itu berubah menjadi sangat kaku, perasaannya campur aduk, ia bahkan bisa merasakan dadanya sakit. Martha bahkan bisa mendengar detakan jantungnya sendiri.

Di depannya, Reno dan Tristan berdiri dengan pandangan yang tak bisa digambarkan. Yang jelas dua orang itu tidak sedang berfokus pada Martha, melainkan pada pintu ruangan direktur yang masih tertutup rapat.

"Ren, kita harus pergi." Tristan menginterupsi dengan tarikan kecil di lengan sahabatnya itu.

Reno dengan tatapan kosongnya menurut saja diseret oleh Tristan. Cowok itu seperti kehilangan fokus, seperti orang bodoh ia mengikuti Tristan, berjalan lunglai. Martha yakin, dua cowok itu sudah mendengar percakapan antara Nana dan direktur tadi. Ini sangat menyeramkan.

Bahkan, bagi Reno ini adalah mimpi paling buruk. Perempuan yang ia cintai, berhubungan dengan ayahnya sendiri.

Ini gila.

****

A.n
Pagi-pagi update!!!
Sebenarnya ceritaku nggak cocok banget jadi santapan pagi. Iya nggak sih? Wkwk. Pagi tuh lebih cocok sama yang uwi atau yang bikin ketawa-ketawa manja gitu. Ini mah jauh, tapi nggak apa-apa. Semoga kalian suka.

Makasih karena selalu support :*

Sulteng, 29 Juni 2021
Emeliiy

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang