DJV : Bagian 17

314 124 7
                                    

Martha menghela napasnya, terasa sangat berat sekali. Gadis itu baru saja berkunjung ke kontrakan Nana, datang untuk menghibur adik-adik gadis itu. Nana mempunyai dua orang adik, Nina dan Nathan. Nina duduk di kelas dua SMP sementara Nathan baru saja berusia delapan tahun. Martha kasihan melihatnya, sebagai orang yang gampang sekali tersentuh, Martha akhirnya membantu Nina dan Nathan walau memang kedua anak itu mengaku menyimpan sejumlah uang di rekening yang Nana siapkan untuk mereka.

Belum lama Martha merebahkan dirinya, telefon genggamnya berbunyi.

"Halo," sapa Martha.

"Gue di depan rumah lo. Mana buku dongengnya?"

Martha langsung menegakkan tubuhnya. Ia tersadar belum mengembalikan buku itu sama sekali. Jadi, yang menelefonnya adalah Tristan? Martha menjauhkan ponsel dan melihat sederet angkat tanpa nama di ponselnya. Tristan mendapatkan nomornya dari mana? Ah, seharnya Martha tahu tak ada alasan rumit untuk menyembunyikan nomornya, di grup angkatan saja ada dan mengingat aktfnya dia di eskul jurnalistik, bukan hal sulit lagi untuk mendapatkan nomornya. Apalagi bagi Tristan yang notabenenya digemari banyak kaum hawa.

Tapi alamat rumah Martha? Ah, sama saja!

"Martha?"

Gadis itu langsung tersadar. "I-iya, bentar." Martha langsng berlari ke meja riasnya. Iya, semenjak Martha sadar akan ingatannya yang buruk, Martha selalu meninggalkan note yang menuliskan letak-letak barang-barangnya. Martha mengambil buku dongeng itu dari dalam laci meja. "Aku ke bawah sekarang."

Martha masih dengan seragam sekolahnya, setengah berlari melewati anak tangga. Kemudian, entah untuk alasan apa ia merapikan rambutnya sebentar, sebelum membukakan pintu. Tristan terlihat sangat santai dengan kaus hitam polos yang hanya bertuliskan savage itu. Martha menarik napas panjang, menahannya sebentar sebelum akhirnya menatap Tristan. Tatapan datar pemuda itu selalu membuatnya merasa terintimidasi, terasa menusuk dan mengurung.

Martha berdeham. "Ehm, i-ini bukunya."

Pemuda itu mengambil buku yang disodorkan Martha, kemudian dengan sangat santai masuk ke rumah Martha, melewatinya dengan sedikit menyenggol bahu gadis itu. "Lo tinggal sendirian 'kan?" tanya Tristan sambil lalu.

"I-iya." Seperti orang bodoh Martha menjawab, kemudian mengikuti Tristan yang menuju ke sofa.

"Duduk," ujar Tristan memerintah seakan ia tuan rumahnya. Momen ini terasa jauh lebih membingungkan karena Martha menurut saja tanpa komentar. Tristan sampai harus melipat bibirnya agar tak kelihatan menahan senyum. "Ada yang perlu gue omongin."

"Oke. Soal apa?" Suara Martha pelan, melambat, dan penuh hati-hati.

Tristan berdeham sebentar. "Gue denger soal percakapan lo di perpustakaan, bersama Kak Elka dan Kak Annisa. Sejujurnya gue nggak sengaja karena gue lebih dulu sampai di sana."

"Hah?" Martha panik.

"Nggak usah sampai kaget gitu, lo cuman nambahin rasa penasaran gue." Tristan bersandar dengan santai. "Gue sedikitnya udah tahu, sih. Jelasnya, lo semua mau menyelidiki kembali kasus Gina. Bertambah dengan kasus Pak Reksa ini, berarti kalian sedang menyelidikinya sekaligus. Tapi, fakta soal Kak Elka dan Kak Annisa tetap mengejutkan sih."

"Kamu juga dengar soal itu?"

"Lo pikir gue tipe yang tiba-tiba budeg. Gue denger dari awal ya berarti gue juga denger soal itu. Gue juga nggak lemot. Kak Elka dan Annisa itu sebenarnya bekerja di Badan Intelijen Negara 'kan?"

Martha diam. Gadis itu menjadi bingung, apa yang dikatakan Tristan tidak salah, tetapi juga tidak benar. Annisa memang bekerja di BIN begitupun Elka. Namun, ada hal sedikit berbeda dari keduanya. "Ehm, i-iya."

"Lo mempercayai mereka?" Tristan menatap Martha yang kebingungan. "Kasus Gina ini memang patut dipertanyakan, gue juga penasaran dengan pembunuhnya. Tapi, mempercayai BIN juga nggak sepenuhnya tepat. Kasus ini bisa jadi hanya mereka manfaatkan untuk kepentingan karir. Kalau lo benar-benar peduli, lo bisa menyelidikinya sendiri."

Martha mengerutkan kening. "Maksud kamu?"

"Gue bakal bantuin lo. Kita selidiki kasus ini bareng."

"Tapi kenapa?"

"Karena gue peduli dan gue juga penasaran dengan pembunuhnya. Gue tahu lo juga sama."

Martha terlihat berpikir. Perkataan Tristan ada benarnya juga, lagian posisi Martha memang sebagai informan saja untuk Elka dan Annisa. Namun, hal yang Martha tidak tahu adalah motif Tristan mengajaknya menyelidiki kasus ini. Bukan karena rasa penasarannya, tetapi karena keinginannya melindungi seseorang.

***

Untuk ke sekian kalinya, Elka menepuk lengannya untuk mengusir nyamuk. Gadis itu tak henti-hentinya mencibir pelan. Jam sudah menunjuk angka sebelas, malam kian larut namun dirinya masih dalam posisi menunggu seseorang keluar dari kediamannya.

Di bangku belakang, Annisa sudah tertidur lelap. Gadis itu memang tak pernah tahan diajak begadang, apalagi sejak tadi gadis itu mengeluhkan perutnya yang lapar. Benar-benar salah mengajak Annisa ke tempat seperti ini.

Sejujurnya, Elka juga mulai bosan. Namun, dia harus tetap bertahan. Elka menyeruput kopinya, ini adalah cup ke tiga kopi yang diminumnya malam ini. Saat Elka bersandar di sandaran kursi mobil dan mulai bersantai, seseorang tiba-tiba keluar dari rumah kecil yang terlihat kumuh.

Elka langsung menegak. Pemuda dengan tubuh jangkung dan rambut ikal kecokelatan itu berdiri di depan pagar rumahnya, kemudian menaikkan kacamatanya lalu menengok ke sekitar. Elka tersenyum miring, kemudian menyalakan lampu mobilnya dia kali sebagai pertanda. Tak butuh waktu lama, pemuda dengan penampilan acak-acakan itu menuju mobil Elka dan masuk ke dalamnya.

"Sorry, lama," ujar pemuda itu begitu masuk dan duduk di kursi depan, bersebelahan dengan Elka.

Mendengar pintu mobil yang ditutup cukup keras, Annisa terbangun. "Sudah datang?" Suaranya serak.

"Loh, ada orang toh. Maaf," kata pemuda itu lagi. Annisa hanya menatapnya sebentar kemudian mengangguk dan melanjutkan tidurnya. Tampaknya dia sangat mengantuk. "Gue pikir hanya lo doang."

Elka mengibaskan sebelah tangannya. "Abaikan dia. By the way, senang bisa ketemu lo lagi, Haru."

Haru tertawa kecil. "Jadi, kasus seperti apa yang membuat lo harus ketemu langsung dengan gue?"

***

A.n

Akhirnya bisa update. Sorry banget, soalnya aku rada kurang vit. Btw, pembaca AOS series ada yang kenal Haru? Sekilas aja sih dia, cameo. Tapi, cukup berkesan aku menggambarkan dia sebagai ... kurang lebih sama kayak Annisa, tapi dia versi lebih bar-bar karena Haru pekerja yang ilegal. Bandar kejahatan banget wkwk.

Semoga menghibur. Sampai jumpa di part berikutnya.

Sulteng, 6 Juli 2021
Emeliiy

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang