DJV : Bagian 28

291 123 21
                                    

Haru yang terlalu buru-buru keluar apartemen itu lupa membawa kunci motornya. Pemuda itu masuk kembali dan melihat Tomi yang juga terjaga dari tidurnya, mungkin saja terbangun karena ulah Haru.

"Kamu mau ke mana, Haru?"

"Ada hal penting yang harus Elka tahu." Pemuda itu dengan cepat menjawab pertanyaan Tomi. Matanya dengan liar mencari keberadaan kunci motornya yang mendadak sangat ajaib menghilang. "Ada email dari Annisa, isinya aneh banget dan gue yakin ada yang nggak beres."

"Coba kamu tenang dulu!" perintah Tomi, menahan Haru yang mondar-mandir di depannya. "Tenang dulu dan coba untuk menjelaskannya secara singkat saja."

Haru menarik napas panjang kemudian membuangnya dengan sedikit kasar. "Singkatnya Annisa lagi nggak baik-baik aja!"

"Sudah coba menghubungi Elka?"

"Nomornya nggak aktif." Lalu sebelum Tomi kembali bertanya, Haru lebih dulu menjawab pertanyaan Tomi. "Annisa juga nggak bisa dihubungi."

"Duduk dulu," kata Tomi dengan pelan. Haru melotot padanya, namun lelaki itu balik menatapnya dengan tenang. "Duduk dulu, kita tunggu beberapa saat. Elka pasti akan mengaktifkan nomornya lagi, dia pasti lupa mengcharge ponselnya. Tapi, setahuku dia selalu membawa power bank."

"Okey. Gue akan nunggu lima belas menit, kalau belum bisa dihubungi juga, gue tetap harus susulin dia."

"Oke. Menunggu lima belas menit, kamu jelaskan secara detail soal email Annisa. Untuk situasi saat ini, bukannya lebih baik kita punya rencana?" Mendengar itu, Haru terdiam sejenak, lalu menjelaskan perkara email Annisa itu kepada Tomi.

Setelah mendengar penjelasan Haru, sebuah ide terlintas begitu saja di kepala Tomi. Rasanya seperti kepingan kasus ini mulai terlihat dan terkumpul dalam satu waktu. "Saya punya rencana yang bagus dan itu mengharuskan kita untuk berbicara dengan Elka terlebih dahulu."

"Nomornya masih belum bisa dihubungi." Haru menjawab dengan putus asa.

Tomi membalas, "Kirimkan pesan singkat."

***

Elka memacu mobilnya dengan penuh hati-hati, jalanan yang licin membuatnya agak ngeri jika harus mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Trauma masa kecilnya, masih belum bisa ia lupakan. Sebenarnya, bisa mengendarai mobil sendiri pun adalah hal luas biasa yang Elka lakukan setelah kecelakaan orang tuanya. Elka berharap Tristan bisa melakukan tugasnya dengan baik, dia mungkin sudah cukup nekat pergi sendirian. Namun, ia yakin Haru akan dengan mudah menemukan tempatnya.

Jam menunjukkan angka sembilan lewat lima belas menit, hujan mulai mereda. Elka meraih ponsel dan mengeceknya, tak dapat hidup. Ponsel itu kehabisan baterai. Elka ingat selalu membawa power bank di mobilnya, Elka akhirnya memutuskan untuk mengisi daya ponselnya dulu. Tak lama kemudian, gadis itu menghidupkan ponselnya. Ada sebuah pesan singkat dari Haru. Mengetahui itu, Elka kembali menghubungi pemuda itu.

Elka mengaktifkan loudspeaker, panggilan dijawab lalu suara Haru terdengar lega di seberang sana.

"Lo di mana?"

"Gue menuju ke—"

"Maksud gue posisi lo masih di jalan atau udah nyampe?" Haru memotong kalimat Elka dengan buru-buru. "Kalau lo masih di jalan, tolong berhenti sekarang juga."

"Bentar lagi gue nyampe."

"Berhenti sekarang juga!" Mendengar bentakan Haru itu, Elka langsung menginjak rem dan balas berteriak.

"Sialan! Lo tahu gue mau ke mana, hah?"

"Gue tahu!" balas Haru tegas. "Gue juga tahu di mana Annisa sekarang. Untuk itu lo tetap di sana, ada yang gue omongin. Lo denger dulu baik-baik, setelah itu lo boleh teruskan perjalanan lo."

Elka perlahan tenang dengan beberapa kali mengembuskan napas kasarnya.

"Gue dapat kiriman email dari Annisa. Isinya kode hack yang dia buat, setelah gue buka ternyata isinya adalah link dan itu asli buatan Annisa. Saat gue buka link, sama sekali nggak ada password buat keamanan dan di sana ada titik lokasi Annisa. Tapi, ada satu masalah. Lampiran file software yang bersamaan dengan titik lokasi itu nggak bisa dibuka."

"Why?" tanya Elka. Jujur saja perasaannya menjadi sangat tegang mendengar penjelasan ini.

"Kemungkinan Annisa lupa mengubah setelan akses yang satu ini."

Elka menundukkan kepalanya di stir mobil. "Apa kira-kira isi file itu?"

"Rekaman video secara online."

"Sial!" Elka memukul stir mobil. Kalung yang selalu Annisa pakai, pasti diaktifkan untuk merekam seluruh kejadian yang dapat terjangkau lensa kamera tersembunyi dari kalung yang telah dirancang khusus oleh Sam untuknya itu. "Kita harus bisa membuka file itu, tapi sebelumnya kita juga harus buru-buru menemukan Annisa. Annisa nggak bego, seluruh rekaman itu pasti akan otomatis tersimpan di software yang dia buat."

"Untuk itulah, aku punya rencana yang mengharuskan kita bisa membuka file software itu sekarang." Kali ini, suara Tomi yang terdengar. "Elka, kamu sudah bekerjasama dengan Annisa selama beberapa tahun, kalian juga bersahabat. Apa kamu tidak bisa membaca password keamanannya? Atau apa bisa kamu menghubungi Sam?"

"Kelamaan!"

"Gue inget banget, tiap kali lagi ngobrol bareng Annisa dan kebetulan dia lagi membuat sesuatu, dia pasti bilang kalau semua hal yang dia buat pasti lo tahu kuncinya."

Perkataan Haru itu membuat perasaan Elka makin gelisah. "Tapi apa?" sahutnya putus asa. Pikirannya kacau, memorinya bersama Annisa terus membayangi.

"Coba kamu ingat kembali kebiasaan Annisa jika membuat password. Atau hal yang—"

"Berapa jumlah digit passwornya?" potong Elka.

"Enam digit."

Elka menutup matanya sebentar, menarik napas kemudian kembali berbicara dengan Haru, sembari menghidupkan kembali mesin mobilnya yang sempat dimatikan. "Sepertinya gue tahu apa kode password itu. Gue akan sambil jalan dan kalian ceritakan apa rencana kalian."

***

Sementara itu di tempat lain, Tristan yang baru saja mengendarai mobilnya keluar dari gerbang rumahnya itu terpaksa harus menghentikan lajunya karena seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari tembok yang menjadi pembatas tiap rumah di kompleks itu. Tepat di depan tiang listrik, orang itu berdiri sambil memandangi mobil Tristan yang bergerak sangat pelan. Lampu mobilnya menyorot jelas wajah yang tak berhasil disembunyikan oleh topi jas hujan berwarna hitam itu.

Tristan menghentikan mobilnya dan seseorang itu pun menghampiri mobil Tristan, mengetuk kaca jendela mobil itu dengan pelan. Tristan membuka kaca mobilnya lalu berkata, "Masuk aja."

Gadis itu mengangguk, memutari mobil Tristan dan duduk di bangku depan, tepat di samping kemudi. Tristan menatap pakaiannya yang setengah basah. Jas hujannya seperti percuma, tak bisa melindungi tubuhnya secara maksimal, jas hujannya kebesaran.

"Maaf, aku basah banget. Mobil kamu jadi ikutan basah," katanya sembari menatap Tristan dengan wajah tak enak.

"Nggak masalah," balas Tristan tenang. "Tapi, malam-malam begini sebenarnya—"

"Ehm, Tristan." Gadis itu memotong laju perkataannya. Tristan terpaku melihat senyum lebar yang tercetak di wajah gadis itu. "Mau dengar cerita? Hanya dongeng kok."

Tristan mematung. Gadis ini memang tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu justru terlihat lebih menyeramkan daripada gambaran seseorang yang menodongkan pisau secara langsung.

"Aku baru saja terpikir dongeng baru. Kamu mau dengar?"

Tristan masih diam saja. Bingung menanggapinya.

"Baiklah, aku akan mulai." Gadis itu tersenyum lagi.

"Gue nggak mau dengar, Martha!" Tristan menjawab dengan cepat.

***

A.n
Plisss, katakan kalau gue bisa menyelesaikan cerita ini tepat pada saat deadline. Plissss!!!!

Btw, kalian bisa banget dong ikut menebak password keamanan software Annisa.

Sulteng, 16 Agustus 2021
Emeliiy

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang