DJV : Bagian 30

345 125 33
                                    

Eve melebarkan senyumnya saat melihat orang-orang di dalam ruangan itu terkejut, seakan puas dengan pertunjukkannya. Elka menatap Martha di sampingnya, gadis itu tampak santai-santai saja.

"Apa aku harus memberikan selamat karena sudah salah menduga?" ujar Martha, melirik Elka lalu tersenyum miring. "Selamat." Martha menatap Elka sepenuhnya.

Elka menyadari kekacauan di sekitarnya makin menjadi. Orang-orang tak bisa keluar, sementara tak ada satu pun yang berhasil menggunakan ponselnya dikarenakan sistem jaringan ke ruangan itu seperti terblokir.

"Mohon perhatiannya!" teriak Eve. "Jika kalian bingung kenapa nggak bisa menggunakan jaringan ponsel. Tenanglah, itu semua karena kita punya hacker andalan di negeri ini."

Kamera diarahkan kepada Annisa yang juga duduk di sebuah kursi, tubuhnya terikat namun mulut dan matanya dibiarkan tak terikat. Gadis berhijab itu tampak menengok ke kamera, wajahnya ada beberapa lebam dan hal itu sukses memancing amarah Elka.

"Yah, guru kita tercinta! Siapa sangka ternyata adalah hacker andalan BIN? Wow, bukankah ini menakjubkan?" Gadis itu tertawa. Wajah mungilnya tak lagi memancarkan kelembutan, tersisa hanyalah senyum licik dan beringas. "Sudahlah, mari kita mulai."

Kamera diletakkan pada sebuah meja yang berhadapan dengan Cessa. Gadis yang sudah mempersiapkan penampilannya dengan sangat cantik itu, menangis pilu dan makin resah saat merasakan benda kecil yang perlahan menempel di lehernya, terasa dingin sehingga mampu membuat sekujur tubuhnya merinding. Semua orang berteriak saat melihat pisau tajam itu diarahkan ke leher Cessa.

"Sena!" panggil Eve. Elka yang mendengarnya, seperti bisa menebak apa isi pikiran Eve. "Sena! Aku tahu kamu bisa mendengarku, sekarang ayo katakan apakah aku harus mengampuni Kakakmu ini atau tidak?"

Di tempat duduknya, Sena telah menangis histeris. Wajahnya memerah, penuh rasa takut.

"Kakak yang selama ini selalu menyingkirkanmu. Kakak yang selalu mengambil apa pun darimu. Kakak yang selalu ingin menjadi nomor satu, Kakak yang menambah penderitaanmu. Apakah kamu mengampuninya?"

Seisi ruangan itu menjadi hening, seakan ikut berfokus pada pertunjukan menyeramkan ini. Suara sesegukan Sena menjadi lebih jelas, gadis itu mengeraskan tangisnya sembari mengangguk kuat.

"Aku ... a-aku mengampuninya!" katanya dengan suara serak.

Eve terkekeh lalu menekan lebih kuat pisau itu. Ujung pisau itu menekan kulit tipis Cessa, sehingga darah bercucuran membuat siempunya berteriak sia-sia. Eve melepas ikatan pada mulut Cessa, membiarkan gadis itu berteriak sekuat tenaga, hal itu pun menambah keresahan Sena. Gadis itu sampai maju ke atas panggung, seakan ingin menggapai layar yang menampilkan penderitaan kakaknya itu.

"Dasar munafik!" Eve memaki. "Jalang bodoh! Seharusnya kamu saja yang berada di sini, aku membuat keputusan yang salah. Orang-orang sepertimu memang lebih baik musnah dari bumi. Aku membantumu, menghukum manusia egois seperti kakakmu ini, tapi kamu justru mengampuninya?" Suara Eve meninggi, seiring dengan emosinya yang naik. "Katakan bahwa kamu tidak akan mengampuninya!" katanya sembari semakin menekan pisau dan menambah rasa sakit pada Cessa.

"Aku tetap mengampuninya! T-tolong lepaskan dia! Tolong!" Sena berlutut dan memohon dengan kedua tangan di depan dadanya, kepalanya menengadah dan menatap penuh harap. "Lepaskan dia, tolong lepaskan!"

Pisau di leher Cessa dijauhkan. "Sebenarnya aku sudah menduga ini terjadi. Tapi, tetap saja aku merasa sangat tidak menyangka. Untung saja, aku sudah berjaga-jaga untuk situasi ini agar aku tak kesal berlarut-larut mendengar rengekan bodohmu itu."

Perkataan Eve itu membuat perasaan Elka tak keruan. Ada yang tidak beres di sini. Elka berdiri dan mencoba mencari kejanggalan, entah apa.

"Jika kamu memang setulus itu menyayangi Kakakmu. Maka ikutlah bersamanya ke neraka!"

Deja Vu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang