Berulang kali Hickory memanggil nama Pera, tapi tidak ada sahutan dari mulut gadis itu. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa satu-satunya orang yang dia inginkan kini telah tiada. Anehnya, sekalipun dia berusaha untuk "mendonorkan" senyawa dari pohon yang tumbuh dalam tubuhnya, Pera tidak kunjung bangun. Ada sesuatu yang kurang dijelaskan oleh pria yang membangkitkannya. Intinya kondisi Pera memang tidak bisa dibangkitkan Kembali—dia memang sudah tiada.
Untuk sepuluh menit pertama, Hickory tidak bisa mengatakan apapun. Dia mendadak bisu Kembali, tidak tahu kata apa yang harus keluar dari bibirnya.
Benaknya dipenuhi tanda tanya, mengapa semuanya harus terjadi? Kenapa Pera harus tiada?
Yang dia inginkan hanyalah hidup bersama Pera dengan tenang. Sepintas terbesit pemikiran yang mirip sekali dengan Pera, lebih baik hidup dalam bahaya di dalam hutan ketimbang harus berpisah seperti ini.
"Pera ... Pera ... Pera ..." Ia tidak mampu mengatakan apapun, kecuali menyebut nama itu.
Dia seharusnya sudah lupa caranya menangis karena semenjak kecil sudah menderita. Hidupnya selalu diliputi penderitaan dan kekerasan. Namun saat ini dia ingat lagi caranya menangis. Ini terlalu menyakitkan sampai-sampai tak ada suara yang keluar dari tangisannya. Hatinya pedih, perasaannya hancur, dia tidak mau apapun lagi—cahaya dalam hidupnya sirna.
Segalanya mendadak gelap.
Degup di dadanya tidak menentu, sesak sekali, kepalanya sakit—tangisan diamnya membuat kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dia tidak bisa bergerak, hanya terdiam di tengah lapangan pasir ini sambal memeluk Pera. Sekujur tubuh terasa kaku, tak ingin melakukan gerakan lain—karena yang terpenting menghangatkan tubuh Pera yang mulai dingin.
Mendadak, Hickory berteriak lagi, "Kembalikan Pera-ku! Peraaa!"
Dia tidak tahu kepada siapa dia berteriak, pembunuh Pera sudah dia bunuh sampai tubuhnya hancur, kini kepada siapa dia menuntut keadilan?
Tangannya gemetar karena amarah, sedih sekaligus panik. Dia tidak bisa menghidupkan Pera dan waktu terus berputar—gadis itu tidak bisa dibangkitkan lagi. Lalu apalagi yang harus dilakukan?
"PERAAA!" Teriakannya sangat menyayat hati. Suara yang terlalu keras sampai membuat retakan di dinding bangunan bawah tanah ini membesar dan Sebagian telah runtuh. Iya, retakan batu bata yang tampak kokoh ini sudah berjatuhan, langit-langit pun sudah mulai retak parah—tinggal menunggu waktu untuk ambruk.
Suara itu juga mengundang kedatangan sang pimpinan kelompok eksekutor yang lain yaitu Kapten Harkin. Pria yang pernah menyiksa Pera itu turun ke arena tanding ini bersama ratusan anggota militer Neo. Dengan pistol khusus di tangan, dia sudah siap mengeksekusi Hickory.
"Hickory Stone, warga distrik 4, kau dituntut atas pembunuhan, pengrusakan dan lainnya, dan kami akan membunuhmu disini." Harkin tidak takut sama sekali walau dia agak panik melihat ada akar-akar raksasa yang memenuhi tempat ini. Raganya mungkin ketakutan, tapi nyalinya tidak. Dia memerintahkan semua pasukan untuk mengepung Hickory di lapangan itu.
Hickory masih memandangi wajah pucat Pera. Sebagian wajah itu telah basah oleh darahnya sendiri serta air mata Hickory. Akibat peluru Rodhes, keningnya berlubang, tapi tertutup oleh darah yang mengering. Tidak ada nyawa dalam raga itu—semuanya lenyap, begitu pula keinginan hidup Hickory.
"Pera-ku, kembalikan Pera-ku." Dia masih saja mengatakan itu. Wajahnya begitu pedih dan basah air mata dan keringat. Dia berteriak, "Tidak bisa!" Nada teriakannya berubah marah. Dia melepaskan raga Pera, dan menidurkannya di atas pasir lapangan ini. Kemudian dia menjambak rambutnya sendiri sembari terus meneriakkan, "Kalian—kalian merebut Pera-ku, dia tidak mau bangun—dia tidak mau bangun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Hunting [END]
RomancePera dan Hickory bergabung menjadi tim eksplorasi Winter Hunting yang ke-54. Mereka dibekali ilmu perburuan, pengetahuan tentang alam, dan mendapatkan berbagai peralatan pertahanan diri dari makhluk yang masih misterius di hutan Purplewoods. Sebenar...