Warning! Part ini mengandung unsur kekerasan dan kesadisan yang membuat sebagaian orang tidak nyaman. Sehingga disarankan kepada pembaca untuk tidak sedang dalam posisi mengemil atau tak kuat mentalnya. Dan apapun yang terjadi, hal-hal buruk dalam cerita tidak boleh ditiru. Manusia dan Monster tentu berbeda, jadilah seorang manusia yang beradab ;)
.
.
.
.
.~•■•~
AROMA sup daging menguar keluar dari panci panas yang meletup-letup di atas tempurung kepala Welthok sebagai kompor. Kepala makhluk kerdil itu mengeluarkan api setelah dua juru masak memberinya makan sekitar lima udang sungai. Sementara para pelayan mencoba membantu memotong bahan yang akan dijadikan rempah-rempah dan sisanya bertugas mendekorasi Restoran Garjita untuk menyambut kedatangan Tuan Afu bersama rombongannya.
"Haihh ... berada di restoran ini sangatlah membosankan," seru salah seorang pelayan wanita tanpa kepala. Andai saja Tuan Bhalendra melamarku, mungkin gadis sepertiku akan beruntung menjadi pendamping hidupnya dan tentu saja statusku secara otomatis berubah menjadi monster cendekiawan terhormat."
"Kau bisa mati jika juragan mendengarnya. Lagipula isi kepalamu hanya berisikan monster tampan, lihatlah statusmu terlebih dahulu sebelum menghayal," tampik pelayan lainnya dengan wujud serupa seperti tengkorak hidup. "Eh maaf, aku baru sadar kamu tidak memiliki kepala sehingga tak bisa berpikir."
"Heh enak saja! Mau kupukul nih?"
"Dibandingkan Tuan Bhalendra yang terkenal tampan, kenapa tidak menyukai Tuan Ducor yang cerdas dan jauh lebih tampan?" tanya pelayan tengkorak sembari terkikik kecil. "Jika aku bisa menjadi monster cendekiawan, tentu saja aku akan menikahi Tuan Ducor ... haha."
"Ehh? Tidak! Ya, meskipun dia sangat tampan, aku tetap setia menaruh hati kepada Tuan Bhalendra. Sebenarnya aku sempat bingung memilih diantara mereka berdua, Tuan Ducor dan Bhalendra sama-sama unggul. Yah, tapi Tuan Bhalendra tetap jauh lebih baik sih."
Kencana yang sedari tadi sibuk memotong sayur tepat di sebelah mereka hanya menanggapinya dengan memutar bola mata jengah. "Monster-monster berisik," gumamnya sembari memastikan Nimisi—catranya—tertidur aman di dalam saku jarik yang tengah ia pakai. Dia bersikeras membawa Nimisi bersamanya selama bekerja agar mencegah perbuatan usil pekerja lain yang mencoba mengambil atau menyembunyikan barang pribadinya. Jelas dia bisa memperkirakannya, namun Kencana hanya berpura-pura diam—tidak tahu apa-apa—di hadapan para pekerja lain. Untung saja Nimisi tidak mengomel. Kipas cerewet itu rupanya bisa membaca situasi.
Salah satu koki bermata satu datang lalu memukul meja. "Heh! Masih pagi sudah bergosip tentang pria. Tidak ada pekerjaaan lain apa? Sebelum menarik perhatian monster tampan kelas atas, alangkah baiknya kalian segera selesaikan tugas memotong sayur lalu buang sampah tulang ini ke dalam dinding pemakan debu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hinlanda Gate
FantasiDicap sebagai monster cacat namun sangat menawan seantero Hinlanda lantai tiga, Kencana kerap kali ditindas oleh Tuan dan Nyonya Garjita bertubuh gempal sebagai pelayan di restoran kecil mereka. Entah menyajikan masakan untuk para monster kelaparan...