[Ketika membaca diharapkan menyetel lagu di atas untuk menyesuaikan suasana dalam cerita]
.
.
.~•■•~
Malam menghinggapi Hinlanda. Ketika kesunyian menjelma dalam mimpi setiap monster, Kencana justru terjaga. Setelah hari di mana dia membantu Tuan Afu bekerja, ia seringkali sibuk menjaga toko. Kira-kira sudah sebulan dia menjadi primadona yang dibanggakan Toko Suanggi. Tuan Afu masih saja menjaga jarak, bahkan sempat terpikirkan olehnya apakah monster tua itu membencinya. Namun sepertinya sangat mustahil mengingat ia tidak pernah mengatakannya secara terang-terangan.
Itu sebabnya Kencana ingin sekali berjalan-jalan sejenak di waktu malam—menelusuri koridor dan menemukan hantu kalau bisa. Mengingat Kediaman Suanggi sangatlah senyap dan gelap, ia membawa lampu minyak sehingga sebisa mungkin kakinya tidak tersandung perabotan mahal milik Tuan Afu. Namun langkahnya terhenti pada lukisan besar—satu-satunya benda yang ditutupi oleh kain putih—seakan-akan sengaja dilupakan. Kencana hanya meliriknya sejenak.
"Apa yang kau lakukan?"
Suara Tuan Afu terdengar dari arah belakang. Lantas Kencana pun berbalik, melirik ayah angkatnya yang rupanya juga belum tidur. Tuan Afu tampak marah, dari intonasinya menandakan bahwa dia tidak menyukai tindakan Kencana.
"Selamat malam, Tuan Afu. Aku hanya berjalan-jalan sebentar, sangat sulit tertidur akhir-akhir ini." Kencana menyapa sopan, masih menenteng lampu minyak. Rambut pekatnya tergerai panjang, ia melirik lentera yang tengah dipegang Tuan Afu, sedikit lebih elit dari miliknya.
"Menjauhlah dari lukisan itu. Jika aku melihatmu mendekatinya lagi maka aku tak akan segan-segan memberimu hukuman." Terdengar lantang, Tuan Afu berujar dingin. Entah apa yang tengah disembunyikannya namun Kencana sama sekali tidak peduli. "Kau boleh menyentuh apapun di Kediaman Suanggi, kecuali benda ini. Mengerti? Kuharap kamu mengingatnya."
Kencana tersenyum tipis. "Dimengerti, Tuan," ucapnya sopan. "Terima kasih telah menyempatkan waktu dalam perbincangan kecil ini, aku undur diri ke kamar."
Tuan Afu tidak merespon, keheningan memisahkan mereka. Seperti dinding besar yang tidak diketahui wujudnya. Kencana tidak pernah memanggil Tuan Afu dengan sebutan 'ayah'. Baginya, status anak angkat bukanlah putri secara biologis sehingga tidak pantas memanggilnya dengan panggilan keluarga. Dia tahu diri, Tuan Afu memang menariknya keluar dari jeratan kesengsaraan lantai proletar. Namun ia paham posisi, statusnya hanya sebagai putri angkat. Tuan Afu tetap menjadi majikan. Tidak jauh berbeda dengan majikan yang lama.
Kencana menyibukkan diri dalam benaknya selama perjalanan menuju ke kamar. Tuan Afu menyembunyikan sesuatu, semacam rahasia besar yang menjadi tabu untuk dikatakan. Kencana diharuskan menutup mata dan telinga agar tidak menyaksikan maksud dari rahasia kelam yang terjadi. Apapun itu, cepat atau lambat, sesuatu yang disembunyikan pasti akan diceritakan. Meskipun bukan Kencana yang melakukannya, ia percaya rahasia tidak mungkin tersimpan begitu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hinlanda Gate
FantasiDicap sebagai monster cacat namun sangat menawan seantero Hinlanda lantai tiga, Kencana kerap kali ditindas oleh Tuan dan Nyonya Garjita bertubuh gempal sebagai pelayan di restoran kecil mereka. Entah menyajikan masakan untuk para monster kelaparan...