four: hurting

358 46 5
                                    

Berakhir kemarin Jean tidak jadi pulang ke rumah dan menginap di rumah Willy. Tenang saja, Jean meminta kamar terpisah. Pagi harinya, Jean diantar supir Willy pulang karena Willy sendiri masih tidur dan Jean harus pergi ke kampus karena ada jadwal hari itu. 

"Bagus, kemarin malam ngejalang kemana gak pulang rumah? Kalau bisa gak usah balik rumah selamanya" Ingatkan kalau sindiran, makian, dan omelan itu sudah jadi makanan sehari-hari Jean. Jean hanya diam mengambil barang-barangnya untuk kuliah hari ini. Dengan perasaan dongkol, Jean mempercepat pergerakannya karena sudah muak dengan ucapan ibu tirinya yang sangat menyayat hati. 

"Udah cepet sana nikah, kan pacar kamu udah kaya, gak usah kuliah. Toh, kamu juga bakal berakhir di dapur juga, habisin uang mama aja" Ucap Yura dengan nada mengejek sambil bersedekap dada. "Oh, atau kamu minta bayarin aja kuliah kamu. Sekalian sama uang jajannya, kamu kira mama gak tau Jesse sering kasih kamu uang jajan?" Lanjutnya. 

Jean mengepalkan tangannya kesal, dan amarahnya mulai memuncak. Sial, Yura selalu saja merusak moodnya di pagi hari "Wah keterlaluan, uang mama katanya? Bukannya itu warisan dari papa?" Yang dibilang Jean tidak salah karena memang semua uang yang dipakai untuk biaya sekolah dan kuliah itu adalah warisan dari ayahnya. Bahkan rumah yang ditinggali oleh mereka bertiga ini juga peninggalan ayah Jean. Yakin sekali nominal itu masih banyak tersisa tapi sering digunakan oleh ibunya untuk membeli perhiasan, dan mengikuti arisan sosialita yang tidak ada artinya. 

Plak!

Tangan Yura dengan enteng melayang mengenai pipi Jean "Anak kurang ajar! Masih untung mama mau nampung kamu di rumah ini" Ujarnya dengan nada tinggi, untung saja Jesse sudah pergi kerja, jadilah ia bebas berkuasa. 

Perih, itu yang dirasakan Jean. Bukan hanya pipinya tapi juga hatinya yang makin tergores. Ia tak menyangka ayahnya bisa memperistri iblis dan nenek lampir yang menyamar sebagai domba selama ini. 

"Permisi, pacar aku udah nunggu" Walaupun gaya bicara Jean terkesan dingin tapi dia masih menahan agar air matanya tidak tumpah saat itu juga. 

"Dasar anak iblis" Maki Yura lagi. 

"Iya jelas, kan aku besar 10 tahun sama Mama iblis kayak kamu" 

Dengan itu Jean melenggang pergi dan mendengar barang di lempar. Entah ia tidak peduli dan langsung menuju ke mobil Willy karena jam kuliahnya sudah menunggu. Jean masuk ke dalam mobil dan sebisa mungkin tidak memperlihatkan wajahnya terlebih dahulu untuk menetralisir ekspresi dan juga bekas tamparan yang sudah pasti masih memerah dengan memalingkan wajah sambil menarik sabuk pengaman. 

"Udah pamit?" Tanya Willy.  

"Udah" Suara Jean agak bergetar dan ia agak menundukkan kepalanya. 

"Hei kenapa? Kamu nggak enak badan kok suaranya agak serak gitu?"

"Nggak kok, jalan aja nanti keburu telat" Jean berusaha menetralisir ekspresinya dan mendongak berusaha tersenyum pada Willy. Seberapa kuat Jean menahan ekspresi dan menutupi pipinya dengan rambut, Willy sudah melihat pipi gadisnya yang memerah dan sekarang mulai membengkak. 

"Sakit?" Tanya Willy lagi. 

"Hah? Enggak kok, jalan aja" 

Tangan Willy terulur untuk menyingkirkan rambut yang menutupi pemandangannya melihat kemerahan pada pipi Jean. "Bohong, mama kamu kan?" 

PerilousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang