eleven: brotherhood

223 36 0
                                    

Pemandangan kota menemani anggur manis yang menenggelitik kerongkongan. Di tambah seputung rokok yang mengeluarkan asap pahit—Willy menyandarkan kepalanya pada sofa kamar suite hotel. Kemejanya sudah tanggal, dan kakinya diselonjorkan dengan posisi terbuka karena lelah berdiri selama kurang lebih satu jam saat ia harus menghadiri pesta jamuan setelah tanda tangan kontrak. Bangkok membuat Willy tidak bisa terlelap.

"Pak, sudah malam. Kenapa belum tidur? Besok Sir Pathom mau mengajak Bapak untuk sarapan pagi bersama. Saya sudah siapkan tiket balik juga ke Surabaya jam 12 siang" Ucap Ajun yang baru saja masuk ke ruangan Willy masih lengkap dengan setelan polo dan celana bahan padahal sudah sangat larut.

"Hah... batalin tiketnya. Saya gak keburu-buru kok. Mumpung sekalian di dekat sini, besok saya mau ke Singapura dulu jengukin Renjun. Baru ke Surabaya"

"Oh baik, Pak" Ajun langsung mencatat di dalam tablet yang ia bawa dan sesegera mungkin mencari tiket karena kalau tidak, terpaksa Willy harus menyewa jet pribadi untuk kepergian mendadak.

"Jesse, masih tinggal di hotel?" Tanya Willy sambil menyesap putung rokoknya.

"Masih, Pak. Tapi tadi siang kabarnya sudah deal untuk ambil unit apartemen di Easton Park. Apa kita perlu awasin juga?"

"Nggak usah. Lagian Jean juga gak bakal tinggal di sana. Bagus, pantau aja dari jauh jangan sampai keliatan mencurigakan"

"Baik, Pak. Selamat malam" Ajun membungkuk sebentar sebelum keluar dari kamar Willy.

"Selamat pagi, bodoh" Gumam Willy sambil tertawa kecil. Rasanya ia sudah cukup mabuk sampai humornya menjadi anjlok. "Hm, Jean kemana?" Mata Willy yang mulai sayu mencari keberadaan Jean yang tidak ada di kamarnya. Willy menggeser ke layar-layar berikutnya untuk mencari keberadaan Jean di rumahnya. Aha, ketemu. Ada di dapur.

Tumben sekali Jean turun ke dapur subuh-subuh begini. Ada botol kecil yang dibawa Jean kembali ke kamar. Mata Willy sudah tidak kuat dan pandangannya mulai berputar tak karuan karena pengaruh alkohol. Tiba-tiba saja Jean sudah kembali ke kamar dan bersiap untuk kembali tidur. "Gak bisa tidur juga? Sampai ngambil obat tidur?" Gumam Willy sebelum matanya ikut terpejam.

Bagus, berarti alkohol dapat membantu Willy tidur di kala ia harus berada jauh dari sang gadis yang membuatnya candu dan dapat tertidur lelap.

Brak! Brak! 

"Kamu itu penerus keluarga, berhenti hambur-hamburkan waktu buat sesuatu yang gak berguna kayak gini! Mau jadi apa kamu ngelukis gini? Seniman? Lihat itu adik Mama yang jadi seniman hidup serba berkekurangan"

Willy kecil meringkuk ketakutan di ujung kamar sambil menangis sesenggukan karena sang ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya saat larut malam dan dengan brutal menghancurkan semua canvas kecil beserta buku gambar yang diberikan oleh pengasuh Willy. Semua canvas itu sudah penuh dengan coretan gambar Willy yang hancur hanya dengan sekejap. Mimpi Willy menjadi seniman hancur lebur, padahal apa salahnya seorang anak berusia 9 tahun untuk sekedar berkreasi dan menyalurkan imajinasinya. 

Lilian mendekati Willy yang meringkuk ketakutan dan berjongkok agar tinggi mereka sejajar kemudian dengan keras menggoncangkan tubuh WIlly ke tembok. "Argh! Anak siapa kamu, hah? Kenapa kamu ikut-ikutan kayak perempuan jalang itu?! Dasar seniman bajingan. Berani-beraninya deketin suami orang" Seru Lilian dengan emosi memuncak. Saat itulah Willy bisa mencium bau alkohol menyelimuti ibunya. 

"Jawab! Anak siapa kamu?! Ditanya itu jawab, bukannya diem aja!" 

"A-anak Mama" 

"Kalau gitu jangan jadi kayak jalang gak tau diri itu! Kamu harus jadi penerus yang kompeten!" 

PerilousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang