sixteen: thorn

207 31 0
                                    

Berhasil masuk ke dalam penginapan dan meminta kabel charger, Jean bersyukur tuhan masih memberinya kelancaran sampai saat ini. Berkat itu, Jean berhasil mengunduh aplikasi untuk nantinya ia konfirmasi tiket. Jean membawa sejumlah uang yang cukup banyak hasil mencuri dari dompet Willy tentunya. Penginapan yang Jean pilih memang tidak besar makanya penjagaan tidak terlalu ketat. Jarak dari penginapan ke stasiun hanya sekitar 10 menit jalan kaki.

"Berapa lama ya efek tidurnya?" Gumam Jean sambil terus mengecek jam. Kalau biasanya Jean bisa tidur sampai 6-7 jam, berarti 7 jam dari sekarang adalah sekitar jam 7 atau 8 malam.

Jean merebahkan tubuhnya ke atas kasur dan mencoba untuk istirahat agar staminanya tetap penuh hingga dini hari nanti. Mau bagaimana lagi, Jean hanya berhasil mendapat tiket kereta pukul 00:00 dini hari. Agak aneh juga kalau sampai Jean harus minta dijemput subuh-subuh dari stasiun, mungkin nanti ia akan memesan ojek online saja.

Tak terasa, Jean tertidur sampai pukul 8 malam dan sampai ia terbangun, masih belum ada tanda-tanda Willy mencarinya. Ponsel Jean dinonaktifkan kembali untuk menghemat baterai, untungnya paket kuota masih ada dan Willy tidak mencabut sim card-nya. Saking sibuknya mempersiapkan kepulangan, Jean sampai lupa untuk mengabari Wenda. Tapi itu terlalu berbahaya, di Surabaya pasti anak buah Willy lebih banyak lagi.

Karena lapar akhirnya Jean keluar dari kamar untuk mencari makanan di sekitar. Terlebih itu, Jean juga sudah menutupi wajahnya dengan penutup kepala yang dibuat menyerupai bentuk hijab. Agak berantakan tapi apa boleh buat.

Setelah berjalan-jalan sekitar 1 jam, Jean berhasil duduk untuk makan di sebuah kedai yang menjual rawon panas. Cocok untuk menghangatkan diri di udara dingin Kota Malang. Jam 10 Jean sudah harus check out dari hotel dan menuju stasiun. Sejauh ini lagi-lagi masih belum ada tanda-tanda dari Willy.

Tepat pukul 10 malam, Malang masih saja ramai. Kota wisata yang seringkali jadi tempat persinggahan orang-orang Jawa Timur untuk berlibur. Dalam lalu-lalang orang, Jean ikut bergerak menuju stasiun yang juga masih sangat ramai karena jam kedatangan barusan.

Sesampainya di stasiun, Jean mengaktifkan kembali ponselnya untuk konfirmasi tiket dan mencetak tiket lewat aplikasi yang digunakannya. Saat itu juga, notifikasi berbondong masuk kembali dari Willy. Nafas Jean memburu, ia harus berhasil kali ini. Tidak ada waktu lain.

Willy🤍
| Balik sendiri atau perlu aku repot turun tangan?
| Gak perlu repot. Lokasi kamu aja aku udah tau.
| Mau balik atau tetap nekat pergi ke Surabaya?
| Aku gak jamin keselamatan Jesse ataupun Wenda sekeluarga, dan teman-teman kamu yang lain.
| Sebentar lagi ada Ajun yang bakal jemput.
| Choose, sweetheart. Kamu selamat tapi gak bakal ada yang nyambut kamu di Surabaya, atau kamu balik ke sini.

Jean tidak berani membuka pesan Willy. Ia hanya membaca semuanya dari notifikasi. Tangannya gemetar dan kakinya mulai bergerak naik turun sambil berpikir keras. Inilah kesempatan emas Jean bisa kembali pulang, tapi nyawa teman dan kakaknya jadi taruhan. Jean tahu Willy punya kuasa yang luar biasa tak terbatas, bahkan pihak berwenang saja buktinya gagal atau bahkan dibungkam untuk mengungkap kebenaran selama ini.

"Cak ayu"

"Hah?"

Panggilan itu lagi, Jean tidak asing. Tapi kali ini alih-alih kakek dengan baju adat Madura, Jean melihat seorang ibu-ibu paruh baya dengan pakaian adat Jawa sedang memikul jamu. Rambut sang ibu di sanggul rendah dan senyumnya manis sekali. Sampai akhirnya Jean tersadar, siapa yang berjualan jamu malam-malam begini? Setidaknya biasanya Jean hanya menemukan pedagang jamu keliling di siang hari. Entah kalau di Malang.

"Muga-muga ndang ketemu dalan metu"

"Nggih–" Sesaat setelah itu, sang ibu pembawa jamu pun menghilang. Lagi-lagi. Siapa orang asing dengan baju adat ini yang terus memanggil Jean.

Jam sudah hampir setengah 11, tapi Jean tidak menemukan jejak Ajun sama sekali. Ponselnya juga sudah kembali dinonaktifkan karena parno. Tinggal 1 setengah jam lagi sebelum jam keberangkatannya. Tapi Jean terus merasa resah.

Sampai akhirnya Jean melihat sosok Ajun yang masih lengkap dengan setelah kemeja kerja dan celana bahan berjalan cepat memeriksa setiap orang yang dilihatnya. Degub jantung Jean makin kencang, tapi ia berusaha tenang dan bersikap seperti orang lain. Toh wajahnya juga sudah tertutupi oleh kain yang dipasang seperti kerudung. Mata Jean tertuju ke lantai dan berdoa semoga Ajun tidak melihatnya.

"Pemberangkatan jam setengah 11, gerbong 2, silahkan naik" Tiba-tiba saja orang-orang yang duduk di sebelah Jean berdiri dan pergi untuk keberangkatan berikutnya. Langsung ekstra waspada, tapi sepertinya keberuntungan Jean hari ini harus terhenti di sini.

"Jeanna, silahkan ikut. Bapak sudah menunggu" Ajun berjongkok untuk melihat Jean yang sedang menundukkan kepala.

Langsung saja Jean menendang kakinya ke depan dan berhasil mengenai Ajun sampai terguling. Jean berlari dengan segenap jiwa ke sembarang arah. "Jean, maaf" Kata Hana yang tidak sengaja Jean tabrak dan lantas menyerngitkan dahi bingung, bagaimana bisa ada anak kampus. Tangan Jean langsung diikat dengan ziplock dan ditarik agak kuat agar tidak terlepas.

"Ah! Kon?" Ringis Jean saat tangannya terasa sakit karena ikatan yang terlalu kencang. Sedangkan Ajun sudah berhasil menyusul dan membawa Jean yang terus berontak ke dalam mobil.

"Jeanna, saran saya jangan berontak terus biar prosesnya nggak tambah rumit. Pak Willy sudah menunggu di villa. Jangan khawatir, besok anda akan melihat kakak dan teman-teman anda"

"Di berita?" Balas Jean dengan nada sinis, sekretaris dan bos sama saja.

"Di rumah. Besok Pak Willy sendiri yang akan membawa anda pulang ke Surabaya"

: : :

"Sugar, kamu tau nggak daritadi aku panik cariin kamu, hm?" Tanya Willy sambil terus menyeka keringat yang turun pada dahi gadisnya. Jean tetap bungkam walau nasibnya sudah tidak tahu akan bagaimana sekarang. Di atas ranjang, dengan tangan dan kaki terikat.

"Masih mau diem? Padahal nanti kamu bakal jerit juga di bawah. Hari ini kamu bakal jadi punya aku, seutuhnya. Gimana sayang? Kamu mau punya anak cowok atau cewek?

"Gak mau."

"Gak mau? Hm, tapi ini jalan terbaik biar kamu gak bakal bisa lepas lagi. Kalau kamu hamil, kamu pasti cari aku lagi. Kayaknya aku yang terlalu lengah tadi, emang gak salah pilih calon istri yang pinter gini. Ternyata obat tidurnya masih kamu bawa toh, sampai sekarang. Harusnya kamu kasih aja itu obat ke kakak kamu yang sampai sekarang masih belum tidur, atau Wenda yang sibuk mondar-mandir di kamarnya" Ucap Willy yang sibuk menciumi leher Jean dan berbisik tepat di sebelah telinga.

"Jangan ganggu mereka. Mereka gak tau apa-apa"

"Bagus. Aku juga nggak mau repot sama anak detektif. Tenang, besok kita balik ke Surabaya, bersikaplah normal atau orang-orang akan curiga, oke?" Ciuman Willy sudah berpindah ke ke area dada Jean yang mulai terbuka.

Jean mengangguk patuh, asalkan Jesse dan Wenda tidak apa-apa. "Bisa lakuin waktu aku nggak sadar aja?" Tanya Jean sambil meremat kuat tangannya karena merasa hina tubuhnya dilihat langsung oleh orang lain yang kini sibuk menyumbunya. Jean tahu sudah tidak ada jalan keluar lain yang bisa ia lakukan saat ini.

"Hm? Bakal lebih enak kalau sadar, sayang. Nikmatin aja. Nanti juga kamu bakal tidur sendiri"

Somehow that night felt long, she only cried in silence, her body and heart was thorn into pieces.


: : :

: : :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PerilousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang