Namaku adalah Marissa. Lebih lengkapnya, Marissa Oktavia Almahera. Sudah tiga kali mengalami yang namanya pendarahan dan membuat janin itu gugur dengan sendirianya dari rahimku.
Sejak kejadian itu, aku merasakan depresi luar biasa dan tak tentu arah lagi, siapa pun yang mendekat akan mendapati sebuah benda yang melayang dari tangan ini.
Ketika aku sedang hamil tua, tepatnya di anak yang ketiga. Suami tercinta sedang tak ada di rumah, ia pergi bekerja dengan rekannya sebagai sekretaris kantor. Ya, wanita itu adalah Siska. Kedekatan mereka yang memang sejak dari SMA dan aku sudah tahu akan hal itu.
Ketika tubuh ini mencoba untuk bangkit dari ranjang, kedua kaki terasa sangat susah untuk menapak. Entah apa gerangan. Yang pasti, aku harus bisa mandiri dan melangkah menuju kamar mandi. Ketika sampai di tempat tujuan, aku menapakkan kaki kiri ke dalam ruangan.
Akan tetapi, aku malah terpeleset dan membanting tubuh ini keras di sebuah lantai.
Bruk ...!
Seketika aku terkapar dan tak sadarkan diri, darah segar keluar dari dalam perut membasahi lantai yang telah menghabiskan sisa-sisa tenaga di dalam tubuh ini.
***
Revan POVDi suatu malam. Aku merasakan sangat kelelahan karena seharian harus meeting dan menyiapkan beberapa dokumen penting untuk membahas projek, sementara perusahaan telah mengalami berbagai musibah keuangan.
Akan tetapi, demi kelangsungan hidup dan calon buah hati di rumah. Aku rela kerja larut malam demi menghidupi mereka. Mengendarai mobil, aku melesat kencang. Karena firasat ini tidak enak selama aku meninggalkan rumah ketika pagi tadi.
Selang dua puluh menit lebih kurang. Aku sampai di depan halaman rumah. Tak biasanya, sekarang pintu gerbang telah terbuka sangat lebar. Sementara di pos penjagaan, Mang Diman tidak ada dalam lokasi.
Menepis sebuah pemikiran aneh malam ini, aku pun langsung memasuki garasi mobil dan mematikan mesin. Di sepanjang jalan menuju rumah, aku melepaskan dasi berwarna hitam dan membuangnya di atas sofa.
"Assalam' mualaikum ...,' sapaku dengan nada suara mengayun.
Tak ada balasan kata seperti biasanya, batin pun berkata. 'Istriku ke mana, sih, enggak biasanya kalau aku pulang ia enggak ada. Apa lagi salat di kamar? Ah ... enggak mungkin, karena ia sedang hamil besar.'
Aku bergegas menaiki anak tangga lantai dua, sesampainya di dalam kamar, aku menoleh kanan dan kiri.
"Sayang ... papa pulang."
Batin kembali berkata, 'ternyata Marissa tidak ada di kamarnya. Lalu, ia di mana saat ini?'
Menafsirkan sebuah pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi. Kulangkahkan kaki ini menuju lantai satu lagi.
"Bi Ira ... Bi ...."
Dalam samar, suara seseorang terdengar dari balik dapur.
"Iya, Tuan ...."
Sampailah asisten rumah tangga di hadapanku. Sementara dibagian tangannya seperti habis menyuci piring, karena penuh dengan buih sabun.
"Bi, lihat Marissa enggak?" kutanya ia sambil mengernyitkan kedua alis.
"Ada, Tuan. Nyonya dari tadi di kamar," respons asisten rumah tangga dengan nada suara netral.
Kemudian, aku kembali menyambar. "Tetapi saya ke kamar enggak ada siapa-siapa."
"Ah, Tuan enggak teliti kali lihatnya. Suer, Nyonya ada di dalam kamar sedang berbaring," tukasnya, kemudian ia bergegas menuju lokasi.
Karena penasaran kembali menghujaniku. Akhirnya, kulangkahkan kaki dengan berjalan mengikuti Bi Ira dari belakang. Menaiki anak tangga untuk sampai di lantai dua. Beberapa menit berjalan, asisten rumah tangga membuka pintu kamar secara perlahan.
"Nah, mana Nyonya! Kata Bibi ia lagi baring di kamar." Kutunjuk ranjang dengan kasur yang sudah berserak.
"Tadi ... Nyonya ada, kok, Tuan ...!"
"Ya, tetapi sekarang enggak ada. Bukankah Bibi dari tadi di rumah? Ia lagi hamil besar, berapa kali saya bilang. Kalau Nyonya pergi ke mana aja, temani! Jangan biarkan ia pergi sendirian," omelku dengan nada suara ngegas dan emosi sangat klimaks malam ini.
Kami pun berjalan kembali menelusuri ruangan. Aku bergerak menuju tempat untuk berhias, tetapi hasilnya nihil.
Sementara Bi Ira mencari di sekitar kamar. Aku pun segera bergegas keluar untuk mencari di lain ruangan. Barangkali ada di tempat biasa ketika ia main alat musik piano.
Dua langkah keluar, kedua telinga menangkap sebuah teriakan dari dalam kamar.
"Tolong ...."
"Tuan ...."
Aku pun terdiam di anak tangga. "Bukankah ... itu suara Bi Ira. Kenapa ia berteriak keras banget," celetukku sendirian.
Tanpa membuang banyak waktu, aku pun bergegas menuju ruang kamar. Di sana, sudah ada Bi Ira yang mengubah posisi jongkok dan menangis histeris.
"Bi, apa yang terjadi?" kutanya ia dengan penasaran tingkat tinggi.
Lawan bicara mendongak, 'kan kepalanya dan menatap mantap wajahku. "Tuan ... ini Nyonya. Ia pendarahan lagi," papar Bi Ira dengan menangis histeris.
"Astaghfirullah ... Marissa!" Kupeluk ia yang sudah pucat dan lemah tak berdaya. "Marissa, bangun sayang. Kamu harus kuat," lanjutku masih dalam posisi memeluk tanpa melepas.
"Nyonya ... maafin bibi yang enggak mengecek dari tadi ke kamar ...."
Dengan sigap, aku menggendong istri tercinta dan turun dengan penuh hati-hati. Sampailah di dalam sebuah mobil, aku menekan gas sangat kencang dan hendak menuju sebuah rumah sakit umum H. Anwar Mangunkusumo.
Saat itu, di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan perawat dan para dokter. Aku berteriak dengan menggendong sang istri menuju ruangan paling depan.
"Tolong ...."
"Astaghfirullah ...," respons para perawat dan segera menuju ruangan. Seketika mereka kembali dan membawa kasur dorong.
Aku pun meletakkan tubuh Marissa dan mengikuti para perawat dari belakang. Mereka membawa tubuh sang istri ke sebuah ruangan dengan portal bertuliskan UGD. Mencoba untuk menenangkan emosi, akan tetapi air mata tak kunjung mengering.
"Maaf, Pak. Anda dilarang untuk masuk, tunggu saja istri di luar ruangan," ujar perawat dengan hijab berwarna putih berukuran panjang.
"Tetapi, Sus ... saya ingin mengetahui keadaan istri saya," tukasku memaksanya dengan nada suara melas.
Ia pun tetap menahan kehendak ini. "Maaf, Pak. Tidak bisa, Anda harus menunggu di luar dan kami akan segera memberitahukan tentang keadaan istri Anda."
"Enggak, Sus ...."
"Pak, maaf. Jangan buat kekacauan di rumah sakit ini."
Setelah perawat itu menolak dengan segala alasan, ia pergi meninggalkanku yang sedang diruntuk kesedihan. Membanting badan dan menekan kepala yang rasanya seperti hendak pecah di atas sebuah kursi.
'Ya, Allah ... selamatkan anak hamba dan istri hamba. Jangan biarkan janin itu gugur lagi untuk ketiga kalinya, aku mohon ...,' batinku berkata dengan isak tangis yang tersedu-sedu.
Waktu terus bergulir, para dokter yang sedang menangani Marissa tak kunjung keluar. Perasaan cemas dan penuh kegelisahan tumbuh begitu saja dari dalam otakku, belum lagi masalah satu tuntas, sekarang ada lagi masalah yang lebih parah.
Terkadang aku tak tahu apa maunya Tuhan. Mendikte akan jalan kehidupan ini seakan tak percaya bahwa kehadirannya ada untuk menepis semua masalah yang selalu melanda.
Kupejamkan kedua bola mata, seraya menatap tembok rumah sakit dengan seksama. Membayangkan kalau aku sudah menggendong anak bayi yang sangat imut, lucu, dan merubah hidup ini lebih berwarna.
Nyatanya tidak, semua kini terasa sia-sia. Berjuang jatuh bangun, sekarang harus terjatuh lagi ke dalam lubang masalah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
General FictionIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...