NAPAS DI UJUNG HELA

1K 35 2
                                    

Menadahkan kepala di atas kursi tempat menunggu. Aku meratapi untuk kesekian kalinya sebuah karma yang datang secara bertubi-tubi dalam hidup ini, sepertinya Tuhan benar tidak tidur untuk mengatur sebuah strategi pada umatnya yang salah.

Buktinya, untuk urusan rumah tangga yang sempat kunodai kini terungkap. Datangnya semua masalah karena akibat dari ulahku dulu yang kini lupa dalam ingatan. Di samping kiri, sang istri hanya terpaku bagai patung batu. Dia seakan tak habis pikir bahwa semuanya telah terjadi begitu saja.

Aku menatap sangat lirih arloji di tangan kiri, pukul 24:00 malam telah tiba. Larut malam membawa dingin menyergap ke dalam tulang.

"Sayang," kupanggil sang istri dengan nada menyeret.

Dia pun mendongak, 'kan kepala seraya menatap wajahku sangat penuh hati-hati. "Iya, Mas. Ada apa, ya?"

Duduk mendekat dengan sang istri yang masih menangis tanpa henti, aku pun mendekapnya sangat lembut. "Sayang ... kamu tidur aja, biar saya yang jaga anak kita."

"Enggak, Mas. Saya mau melihat Refal sampai sadar," sahutnya. Lalu dia membalas sedikit pelukan dariku.

"Sayang ... kamu jangan terlalu meratapi ini semua. Karena ini adalah cara Tuhan untuk mengungkap segala kebenaran tentang apa yang kita perbuat salah ketika dahulu," celetukku tanpa berpikir panjang tentang ucapan.

Dari pelukan, sang istri malah menatap jijik dan membuang badan. Dia menggeser posisi badan tiga puluh senti meter ke samping, tak lupa dia juga melipat kedua tangannya, sangat angkuh dan tak mau menyadari kalau ini adalah salahnya.

"Mas, kalau akhirnya kamu akan kembali bersama Marissa, saya rela."

"Ma ... bukan begitu maksud saya."

"Lantas! Di saat seperti ini saja kamu masih sanggup menyalahkan bahwa semua adalah salah saya, Mas! Ini karma kamu yang sudah mencampakkan dia dulu."

"Siska! Kamu jangan malah balik nyalahkan saya. Karena dari dulu juga kamu yang mengaku hamil, padahal saya enggak melakukan apa-apa malam itu."

Siska pun berdiri seketika, dia menatap tajam menuju wajahku. Tak mau kalah dalam berdebat, aku sebagai suami seakan dihina olehnya. Akhirnya, tanpa basa-basi aku menuruti gelagatnya.

"Mas! Sekarang kamu tetap mempertahankan pernikahan kita, atau hubungan ini berakhir sampai sini!" bentaknya. Dengan tangan kanan, Siska menyentuh wajahnya dengan kedua tangan.

"Kamu jangan gila Siska! Kamu kira pernikahan itu semudah yang kamu pikirkan, sesuka hati kamu untuk mengakhiri," balasku. Menggunakan tangan kanan, aku menyentuh pundaknya.

Dia pun menepis sentuhan dariku. "Jangan sentuh saya, Mas. Silahkan pergi dan temui Marissa, mungkin dia adalah yang terbaik."

Aku pun menarik tangan sang istri dan dia menepis seketika. "Siska! Apa-apaan kamu? Saya ini suami kamu!"

Dari ujung koridor, seseorang berteriak dengan nada suara yang sangat keras. "Revan ...!"

Seketika kedua bola mata mendelik dan menatap ke belakang badan. Ia adalah—Sinta—ibu kandung Siska. Dengan langkah lebar, wanita paruh baya itu datang bersama dengan Bi Ira yang merupakan pembantu di rumahku. Sesampainya di pusat lokasi, mereka berdua menatap kami secara bersama-sama.

Bu Sinta pun menampar pipi sang istri dengan sangat keras.

Plak!

Kemudian, setelah menampar pipi sang istri, dia juga menampar keras pipi kananku.

Plak!

"Kalian bikin malu keluarga! Sudah saya bilang dari awal Siska, kalau Revan masih punya istri. Tapi kamu enggak mau mendengar ucapan ibu kamu sendiri, sekarang kamu sudah merasakan karma itu, 'kan?"

Pasung Suami KejamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang