Dari samping kanan, Refal membawa mobilnya dengan tingkat kecepatan yang minim. Ia membuka jendela dan mendongak sesekali menujuku yang masih bersikeras untuk tetap berjalan. Saking lelahnya, aku pun berhenti di salah satu halte dekat dengan sebuah kafe.
Refal yang kala melihat aku berhenti, ia pun ikut duduk di halte tersebut. Sesekali pemuda berkumis tipis itu menoleh, akan tetapi masih dalam posisi duduk.
"Apa lu!" hardikku sambil menatap wajah lawan bicara, pemuda tampan itu meringis karena telah ketahuan tengah melirik.
Ia pun menggaruk kepalanya dua kali. "Eh, gue ketahuan."
"Fal! Lu ngapain, sih, ngikuti gue mulu?" tukasku sedikit ngegas. Kemudian, dengan tangan kanan aku merogoh tas untuk mengambil ponsel.
Kedua bola mata menoleh arloji di layar ponsel. Sang waktu telah menunjukkan pukul 08:00 pagi.
'Ya, ampun ... udah jam segini lagi. Pasti telat datang ke sekolahnya, mana jam pertama Pak Burhan lagi,' batinku.
Badan pun memekik gelisah, sementara dari arah samping, Refal tengah menoleh dengan ekpresi orang bodoh.
"Ya, udah, Nis. Lu pergi bareng gue aja," ajaknya, lalu ia membuang tatapan menjadi sok, arogan.
Karena untuk saat ini tak punya pilihan lain, mau tidak mau akhirnya aku pun mengiyakan ajakannya.
"Oke, deh, Fal. Gue ikut sama lu."
"Nah, gitu dong. Kan, gue enggak capek membujuk lagi."
Selesai berkata dengan semangat empat lima, Refal berlari dan membukan pintu mobilnya. "Silakan masuk, Tuan putri ...."
Aku hanya membalas dengan tatapan jijik. 'Ih, nih, orang. Bikin perut gue mual aja tahu enggak,' batinku.
Setelah kami sama-sama memasuki mobil, Refal menginjak gas sangat kencang. Kami pun tetap pergi ke sekolah meski sudah terlambat. Dengan harapan, pintu gerbang masih dibuka oleh Pak Doyok—penjaga sekolah setiap harinya.
Sesampainya di depan portal dengan tulisan SMA Tunas Bangsa, kami berhenti. Dugaan awal benar, bahwa pagi ini kami terlambat untuk pergi ke sekolah. Tanpa mengucapkan terima kasih, aku keluar dari dalam mobil dan berlari menuju gerbang. Namun, Refal masih di dalam kendaraannya. Ia tak keluar untuk mengejarku.
Karena tubuh terasa sangat letih, akhirnya tanpa mampu untuk memperpanjang pertanyaan dengan penjaga sekolah, aku duduk di samping pot bunga sambil menghapus keringat yang keluar dari kening.
Jilbab berwarna kecokelatan seketika basah. Terik matahari juga ikut serta dalam suasana pagi ini. Setelah beberapa menit menadahkan kepala, tiba-tiba terik matahari menjadi redup.
"Eh, perasaan tadi panas banget. Kenapa sekarang mendung, ya." Selepas berbicara sendiri, aku mendongakkan kepala menuju langit yang sangat anggun.
Rupanya, itu bukanlah mendung. Akan tetapi, Refal yang berdiri di hadapan dan menghalangi—cahaya matahari menyergap tubuh. Ia menatap greget ke arah wajah serta jilbabku.
"Nih." Refal menyodorkan sebotol minuman berwarna kuning, sepertinya rasa jeruk.
Dengan tangan kanan, aku menepis sodorannya. "Enggak usah, gue enggak haus."
"Yakin?"
"Gue cuma mau masuk kelas, bukan mau minum," titahku seraya membuang tatapan.
Selang beberapa menit, Refal berjalan pergi. Ia pun mengelilingi tembok sekolah yang berada di belakang. Hampir tiga menit dan aku mengubah posisi menjadi berdiri. Seketika seseorang memukul pundakku perlahan dari arah belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
General FictionIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...