Rumah sakit yang penuh dengan berjuta pertanyaan. Ya, di portal bertuliskan ruang Gawat Darurat. Aku berjalan seraya membawa pakaian bayi laki-laki lengkap dengan sebuah tas berwarna biru muda, tepat di kursi yang berderet rapi langkah kaki berhenti.
Kedua bola mata mendelik karena melihat Bi Ira masih setia menemani istri yang sedang menjalani masa kritisnya. Tepat di tengah malam, kulangkahkan kaki seraya duduk di sebelah wanita paruh baya itu.
Bi Ira menggeser tempat duduknya sedikit. "Eh, Tuan. Udah datang rupanya," ucap wanita yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia.
Kutatap mantap menuju arloji di tangan kiri. "Bi, ini udah larut malam. Sebaiknya, Bibi pulang aja ke rumah. Biar saya pesankan taksi," jawabku lirih seraya menatap kecil ke samping kiri.
"Enggak, Tuan. Bibi akan tetap di sini untuk menemani Nyonya menghadapi masa kritisnya. Apalagi, kejadian ini adalah salah saya juga."
"Bukan, Bi. Ini bukan salah Bibi. Tetapi salah saya yang kurang memberikan perhatian dan sibuk bekerja."
Suasana menjadi hening tanpa kata. Baju bayi untuk anak laki-laki sengaja kuletakkan di samping kanan, kemudian dengan tangan kiri, aku meraih dan membolak-balikkan tas berwarna biru muda itu. Air mata mengalir lagi dari kedua bola mata melalui kekuk pipi.
Tak habis isi kepala ini tuk menafsirkan berjuta masalah datang dan tengah mengepungku dengan badai cobaan. Mencoba tegar, akan tetapi aku tak mampu. Sebagai seorang pria, naif memang bila kehilangan calon bayinya sebanyak tiga kali tanpa jeda lalu bisa melupakan begitu saja.
Dari samping badan, Bi Ira bertanya. "Tuan ... itu apa? Kok, seperti pakaian anak bayi?"
Kutoleh ia dengan menghapus air mata menggunakan tangan kanan. "Ah, enggak. Ini tadi kebetulan singgah di toko perlengkapan bayi. Niat saya adalah, ingin memberikan perlengkapan pakaian ini pada anak yang baru lahir di rumah sakit. Mungkin esok."
"Astaghfirullah ...," setelah ber' istighfar, Bi Ira memeluk kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Tangisan ini pecah di pundaknya, tak mampu mengatakan sepatah kata pun, yang ada hanyalah sebuah halusinasi seputar kebahagiaan semu tuk menjadi seorang ayah yang sempurna.
***
Malam ini, kuhabiskan waktu untuk tidur di dalam ruang musala. Suasana dingin, membuatku terlelap lebih cepat. Memeluk pakaian bayi dengan kedua tangan, aku memasuki sebuah ruangan dengan sebuah pintu yang teramat banyak.Dari ambang penglihatan, batin berkata. 'Ini ruangan apa, ya? Kok, sangat asing gitu. Kalaupun aku sudah mati, enggak mungkin kedua kaki menapak di lantai dengan karpet berwarna merah.'
Mengikuti kata hati, aku pun sampai di depan sebuah pintu berwarna cokelat. Perkiraan awal bahwa pintu itu berjumlah sepuluh. Namun, setelah sampai di pusat tatapan. Akses menuju sebuah lokasi hanyalah satu, berarti aku salah dalam menafsirkan penglihatan.
Melangkah memasuki ruangan dengan lantai yang terbuat dari kaca, sontak kedua telinga menangkap bunyi seseorang sedang berkumandang azan. Begitu merdu dan nyaring, enak untuk di dengarkan.
Lalu, aku menarik kaki sebelah kanan untuk keluar pintu. Suara kumandang azan tak lagi terdengar. Seketika aku kembali membatin, 'loh, kok, suara azannya hilang. Bukankah, tadi ada yang sedang berkumandang.'
Penasaran terus menyergap. Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku melangkah memasuki ruangan yang sangat luas itu bersama tabir hijau di sekitar tembok. Dua langkah pertama, telinga mendengar merdu lantunan bait-bait asma Allah itu.
Setelah langkah kesepuluh, aku berhenti. Kedua bola mata mendapati sebuah penglihatan siluet anak bertubuh kecil tengah berkumandang azan. Menggunakan kopiah putih yang dibalut serban merah. Lalu, ia pun berhenti karena memang azan telah selesai.
Senyum semringah ia lempar kepadaku saat ini. Anak yang kira-kira berusia enam tahun itu tampak bercahaya di wajahnya. Kemudian, ia berlari menemuiku.
"Ayah ...," katanya sambil memeluk tubuhku yang sudah merubah posisi jongkok.
Aku pun mengernyitkan kedua alis, seraya menatap anak laki-laki berserban merah yang memanggilku dengan sebutan 'Ayah'. Lalu, ia menarik tangan kananku. Sepertinya ia tengah ingin mengajak diri ini untuk ke suatu tempat.
Tanpa berpikir panjang, akhirnya aku mengikuti langkahnya. Sampailah di sebuah ruangan yang sangat tidak asing lagi. Ya, seperti sebuah tempat ketika istriku sedang mengalami keadaan kritis di ruang UGD.
"Ayah, lihat itu." Anak laki-laki itu pun menunjuk ke arah depan.
"Iya, apa itu?" kutanya seraya menatap penuh menuju lokasi yang ia tunjuk.
"Di sana ada Mama yang sedang sakit, aku adalah anak yang selama ini Ayah rindukan. Akan tetapi maaf, Yah. Takdir berkata lain, semoga kelak kita bertemu di surga," lanjutnya dengan wajah penuh kemenangan.
Setelah mendengar ucapan itu, degup jantung berdetak sangat kencang. Kutoleh anak laki-laki yang tadi sedang berkata padaku. Akan tetapi dalam hitungan detik, ia menghilang secepat kilat.
Dari posisi berdiri, aku pun jongkok. Lalu, duduk bersila dan menatap sebuah lokasi yang tadinya ditunjuk oleh bocah itu. 'Apakah ia adalah anakku yang telah gugur? Ya, Allah ... terima kasih banyak. Karena engkau telah mempertemukan hamba padanya, meski dalam waktu sesingkat itu,' batinku.
Dengan spontan, kubuka kedua bola mata. Suara azan terdengar sangat keras masuk dari telinga kiri dan kanan.
"Astaga! Ternyata aku cuma mimpi. Oh, sekarang sudah masuk waktu salat subuh," ucapku sendiri di sebuah ruang musala.
Langkah kaki membawa diri ini untuk menuju kamar mandi. Seraya mengambil wudu, aku membasuh wajah dan kepala agar terasa lebih segar. Setelah selesai, langkah kaki kembali menuju musala.
***
Pagi telah tiba, aku yang sejak salat subuh tak bisa memejamkan kedua bola mata, akhirnya kembali melangkah untuk menuju ruang UGD. Di atas kursi masih ada Bi Ira yang sedang tertidur pulas hingga arloji menunjukkan pukul 07:00 pagi.Kusentuh tangannya perlahan. "Bi ... bangun, Bi. Sudah pagi."
Lawan bicara sedikit menggumam. "Eh, Tuan. Sudah pagi, ya?" tanyanya seraya menghapus kedua bola mata.
"Iya, Bi," timpalku singkat.
Tiba-tiba, suara ponsel berdering sangat keras. Duduk di samping Bi Ira, aku merogoh ponsel di dalam kantong celana sebelah kanan. Sebuah panggilan datang dari sekretaris pribadi di perusahaan.
[Hallo ....]
[Hallo, Bos. Kok, udah jam segini enggak datang? Bukankah ... kita akan melakukan meeting seputar projek hari ini?] tanya Siska serius.
[Maaf, Sis. Untuk meeting kali ini, kamu saja yang tangani. Soalnya, saya lagi enggak bisa masuk kantor. Istri saya sedang koma di rumah sakit.]
[Astaga! Pak. Rumah sakit mana, ya?] tanyanya lagi.
Karena aku tak mau berbicang lebih banyak, akhirnya kututup ponsel dan memasukkan kembali di kantong sebelah kanan.
Dari samping Bi Ira bertanya. "Tuan, mau makan apa pagi ini? Biar bibi beli makanan."
"Apa aja, Bi." Kusodorkan uang kertas padanya.
Kemudian, wanita paruh baya itu pergi meninggalkanku sendiri di bangku tunggu tepat di depan ruang UGD yang merawat istri. Tubuh yang sangat lelah, membuat diri beranjak meninggalkan kursi dan berjalan mondar-mandir di sekitar depan pintu.
Sesekali lirikan menatap sebuah kaca yang tembus pandang menuju ruangan jika dilihat dari dekat. Tampak jelas di kedua bola mata, bahwa Marissa masih terbujur lemah dengan sebuah keadaan yang semakin hari semakin kritis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
Ficción GeneralIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...