DUA MALAIKAT DI KEDUA BOLA MATA

1.1K 34 2
                                    

"Hallo, Siska. Apakah kamu masih mengingat saya?" tanya pemuda berjubah hitam itu.

Karena yang menjadi lawan bicara adalah sang istri, aku membungkam ucapan. Yang ada dalam benak adalah, bahwa orang tersebut sahabat lama Siska.

"Bram ... kamu ngapain di sini?" tanya sang istri.

Mendengar ucapan itu, aku menoleh ke arah sang istri. "Sayang ... kamu kenal pemuda ini?" kutanya.

"Jelas kenal, Revan ... istrimu ini adalah pacar saya tujuh belas tahun yang lalu. Tapi ia memilih menikah denganmu, pahadal ...," pemuda itu menggantung ucapannya.

Aku pun mencengkeram kerah baju lawan bicara. "Padahal apa? Tolong jelaskan pada saya, sekarang!" bentakku menaikkan nada suara.

Ia pun mengangkat kedua tangannya ke udara, seperti tengah menyerah dan tampak dari penglihatan batapa raut wajahnya juga sangat remeh dan jijik dengan sentuhan tangan ini. Sementara dari samping kanan, sang istri memekik gelisah dan menadahkan kepala menuju lantai.

"Kenapa kamu diam? Jelaskan siapa kamu!" hardikku lagi, sang istri pun bengkit dari posisi duduknya dan menyentuh tanganku perlahan, mungkin ia ingin melerai agar perdebatan berakhir.

"Mas, jangan sudah. Ia bukan siapa-siapa," ucap Siska, lalu sang istri menyentuh keningnya dengan tangan kanan.

"Siska! Kamu duduk! Biar saya yang langsung berhadapan dengan orang ini."

"Revan ... lepaskan kedua tangan Anda! Saya merasa jijik jika kamu terus pegang kerah baju saya," paparnya, jemari kanannya menyingkirkan cengkeraman dariku.

Seketika aku melepaskan kerah bajunya.

"Sekarang kamu bicara, ada hubungan apa kamu dan istri saya tujuh belas tahun yang lalu. Jawab!" desakku dengan menunjuk wajah lawan bicara menggunakan jari sebelah kanan.

"Revan, kamu lihat putra yang ada di dalam ruang UGD itu." Lawan bicara menunjuk ke arah tempat di mana putra semata wayangku sedang dirawat.

Aku mengikuti apa yang ia katakan, kedua bola mata berpaling pada ruangan sekilas.

"Ada apa sama—Refal—anakku?" sambarku.

Pemuda berjubah hitam itu tepuk tangan tiga kali. "Ha ha ha ... Refal itu putra kamu?" pemuda itu jeda ucapannya dan mendekatkan telinga kirinya padaku. "Refal itu putra saya, Tuan Revan yang terhormat."

Mendengar ucapan itu, jantung berdetak sangat kencang. Keringat pun mengalir sangat deras membasahi seluruh tubuh. Sementara dari samping badan, sang istri menangis histeris dan membungkam ucapan.

Kedua wanita paruh baya di ujung posisi duduk juga tengah menangis mendengar pengakuan pemuda berjubah itu.

"Tidak mungkin. Refal itu putra saya, ia adalah anak putra semata wayang saya!" pekikku bertubi-tubi.

"Revan ... Revan. Kamu tanya istri kamu ini." Pemuda itu menunjuk sang istri. "Tanya sama Nyonya Sinta, siapa ayah dari Refal sebenarnya. Kamu ... atau saya."

Dengan tangan kanan, aku menarik tangan sang istri dan membuatnya berdiri tegak. Masih bersama isak tangis, wanita yang selama ini aku kasihi telah berbohong tentang janin yang ia kandung.

"Siska ... tolong jelaskan pada saya, Refal sebenarnya anak siapa!" pungkasku.

"Mas ... kamu jangan percaya sama orang ini, ia adalah mantan kekasih saya, tetapi kami tidak pernah berhubungan."

"Siska ... ayolah, ngaku saja Sayang ... kamu bukannya pernah memberikan mahkota kamu pada saya ketika malam itu? Wah, kamu lupakan semua peristiwa indah kita demi harta semata," ringis pemuda berjubah hitam itu.

Pasung Suami KejamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang