Dari ambang pintu, suara mobil terdengar sangat ramai. Kerumunan para pejabat dari perusahaan yang telah berhadir mamadati halaman rumah. Sebuah acara yang kuadakan malam ini, untuk menyambut keberhasilan perusahaan atas proyek yang baru dengan investasi luar biasa dari para pengusaha.
Tak main-main, para tamu bukan hanya berasal dari domisili Indonesia saja. Akan tetapi, berasal dari luar negeri. Rasa bangga terhadap karyawan yang telah bekerja sangat maksimal membuahkan hasil luar biasa. Dengan ditemani oleh—Siska—sekretarisku di kantor, kami menyambut para tamu yang berhadir malam itu.
"Selamat malam, Bos ...?" ucap seseorang yang merupakan rekan dari perusahaan lain.
Ia pun memeluk tubuhku beberapa detik untuk mengungkapkan rasa senangnya.
"Eh, sudah datang tamu specialnya. Silahkan masuk," responsku dengan mengedarkan senyum semringah.
Satu persatu tamu mamadati acara. Aku yang kala itu berada di depan pintu, melangkah masuk bersama Siska untuk menuju sebuah mobil terbaru yang ramah lingkungan hasil kerjasama dengan perusahaan luar negeri. Sementara para investor juga mengelilingi mobil tersebut dengan memberikan tepuk tangan.
"Wah, Bos Revan hebat sekali."
"Iya, ternyata perusahaan yang ia pimpin selama ini berkembang pesat."
"Tak cuma itu, perusahaan beliau juga beberapa kali memenangkan award dan nominasi terbaik untuk kategori brand pemasaran."
"Saya jadi ingin bergabung di perusahaan beliau."
"Ah, mimpi aja kamu. Mana mau ia menerima karyawan yang kerjanya biasa-biasa seperti kita."
Begitulah reaksi para tamu undangan yang berasal dari luar perusahaan. Selalu memekik dengan kata-kata pujian, satu malam penuh dengan kalimat sanjungan. Di rumah yang ukurannya hampir seluas istana itu, acara launching mobil ramah lingkungan akan digelar.
Dengan menggunakan microphone, aku berkata. "Assalam' mualaimu ... dan selamat malam para tamu undangan," sapaku.
"Waalaikum' sallam ...," respons para tamu yang berhadir.
"Tanpa membuang banyak waktu lagi di sini, saya selaku pemimpin dan CEO perusahaan akan membuka secara resmi launching mobil terbaru ramah lingkungan." Aku mengetuk microphone tiga kali dan menggunting pita berwarna merah.
Seketika ruangan menjadi sangat garang, ditimpali seperti suara gaduh setelah beberapa menit barulah redah dan hening. Aku pun turun dari atas podium yang sengaja untuk membuka peresmian produk mobil terbaru. Langkah kaki ini bergegas turun dan menemui para rekan yang lainnya, ketika itu mereka sedang memadati tempat minuman.
Di kursi sofa sudah ada investor perusahaan yang terkenal dengan sebuah proyeknya yang luar biasa, aku pun menujunya dan berdiri di hadapan ketiga sahabat sejak kecil dulu.
"Selamat malam ...," sapaku sambil melebay-lebaykan ucapan.
"Ah, lu, Van. Ngomongnya lebay banget. Mentang-mentang udah sukses sekarang," sambar Radit yang merupakan anak konglomerat dengan kekayaan di atas rata-rata.
Ia pun menggeser tempat duduknya dan aku langsung duduk di sisa kursi sofa yang masih tersedia. Dengan tangan kanan, aku mengambil segelas minuman berwarna merah.
"Van! Gue dengar-dengar ... katanya istri lu lagi sakit, ya?" tanyanya.
Aku pun mengangguk dua kali. "Iya, Bro," jawabku.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" sambar Andrean dari pojok tempat duduk.
"Yah ... gitulah, alhamdulillah sudah lebih baik. Emang kenapa, Bro?" kutanya balik.
"Ah, enggak. Gue turut prihatin banget sama lu. Lagian, Marissa itu, 'kan, wanita tercantik dulu di sekolah. Beruntung banget, loh, kalau lu bisa menikahinya sekarang," celetuknya, entah sekedar basa-basi atau memang demikian.
"Hmmm ... jangan mulai, deh! Gue enggak suka kalau sudah bahas begitu. Pasti ujung-ujungnya, habis muji bakal menjatuhkan." Kutoleh dua sahabat ketika duduk di bangku SMA.
"Ha ha ha ... enggak, kok, Van. Kita, tuh, masih polos."
"Polos telapak kaki lu," lanjutku dengan wajah penuh kemenangan.
Kami pun tertawa dengan sangat riang. Seketika, ruangan ramai menjadi sangat sunyi. Serta musik alunan piano juga berhenti seketika. Entah apa gerangan yang terjadi malam ini, yang pasti aku tidak melihat posisi orang yang sengaja menghentikan acara dengan paksa.
Rupanya, Marissa keluar dari kamarnya dan berlari menuju lokasi acara pesta. Ia membanting piring di atas meja dan membuang semua gelas-gelas berikikan minuman. Tepat di arloji menunjukkan pukul 23:00 malam. Istriku terbangun secara tiba-tiba dan membubarkan para tamu malam itu.
Suara tawa berubah menjadi jeritan histeris dengan ulahnya yang melampaui batas kewajaran. Dari samping kiri dan kanan aku saling tukar tatap pada Aditya dan Andrean.
"Van! Itu istri lu bukan, sih?" tanya Andrean dari sebelah kiri.
Aku tak kampu untuk berkata sepatah kata pun, kedua bola mata hanya mendelik setelah mendapati siluet perbuatannya yang membuat malu wajahku. Marissa juga melemparkan beberapa buah-buahan kepada tamu.
"Van! Jadi istri lu sekarang gila?" dari samping kanan Aditya berucap.
Tanpa menghiraukan kedua sahabat, aku pun beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju sang istri yang kala itu sedang melakukan aksi paling memalukan. Para tamu yang merupakan orang-orang penting berhambur keluar rumah, mereka juga memasuki mobil masing-masing dan pergi tanpa pamit.
Tepat di hadapan Marissa, aku menahan tangannya yang sudah mengambil gelas minuman. "Mar, kamu apa-apaan, sih? Bikin malu aku aja tahu enggak!" bentakku seraya menarik tangan kanannya.
"Pergi kalian! Jangan ada yang di rumah ini lagi, pergi ...!" teriak Marissa dengan tangisan tersedu-sedu.
"Mar! Sadar! Kamu kenapa? Hei!" kusentuh keningnya.
Ia pun membanting botol minuman tepat di hadapanku. Dari ruang dapur, Bi Ira keluar dan menarik tangan Marissa. Lalu, asisten rumah tangga membawanya mrnuju lantai dua dan mengunci pintu tersebut.
Acara meriah berubah menjadi hancur dan berantakan, seisi ruangan telah tersisa beberapa orang sebagai karyawan perusahaanku saja. Sementara Andrean dan Aditya juga beranjak dari tempat duduknya semula.
Kemudian, aku berlari menemui para tamu yang tersisa. "Kalian berdua mau ke mana?" tanyaku pada dua orang sahabat sebagai investor perusahaan.
"Van! Lu selama ini punya istri gila? Kalau lu mau buat acara enggak usah di rumah, deh! Sewa tempat aja di luar sana. Biar kami nyaman, perusahaan lu udah miskin banget bayar tempat terbaik di kota ini emangnya?" cibirnya dengan nada suara ngegas.
Dengan menadahkan kepala menuju lantai, aku merasa sangat terpukul dengan perbuatan sang istri malam ini.
"Van! Kontrak kerjasama kita enggak usah dilanjutkan lagi, lu cari partner kerja lain aja. Gue permisi, terima kasih." Setelah berucap, Andrean pergi bersama Raditya.
Posisi berdiri seketika berubah menjadi jongkok. Bagaimana tidak, rumah yang tadinya rapi berubah menjadi sangat berantakan dan penuh pecahan gelas dan piring. Lantai juga berwarna merah akibat minuman yang menalir karena peristiwa barusan.
Dari belakang tubuh, seseorang berjalan dan menyentuh pundakku perlahan. "Bos, yang sabar. Lain kali kita gelar acara lagi di luar."
Kutoleh menuju belakang. Rupanya Siska sudah ada di sana sambil memegang ponsel di tangan kirinya, aku kembali membuang tatapan menuju lantai.
"Tidak ...!" teriakku seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
Narrativa generaleIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...