Waktu terus berlalu, aku pun melangkah keluar ruangan. Tepat di depan pintu, kedua bola mata kembali menoleh menuju belakang. Dari ambang penglihatan, sang istri hanya menangis tetapi tidak lagi berteriak seperti tadi.
Karena sangat merasa bersalah, akhirnya aku melanjutkan untuk segera keluar dari kamar tersebut. Sesampainya di kursi sofa, aku menatap mantap arloji di tangan kiri. Merumuskan pertanyan yang datang secara bertubi-tubi dari dalam kepalaku, seakan tak mampu untuk aku jelaskan.
Beberapa menit bersiteru dengan waktu, aku menoleh menuju arah lemari kristal di samping kanan. Dari balik kaca, terlihat foto-foto kenangan ketika aku dan Marissa menikah dulu. Mengucapkan ijab kabul, sambil melakukan ritual adat pernikahan. Kini semua sirna, yang ada hanyalah secerca luka mendalam tak mau bertepi.
"Tuan ...," panggil seorang yang merupakan nada suara perempuan.
Kutoleh sosok itu yang sedang duduk bersila seraya memasang wajah melas, ia adalah Bi Ira. Asisten rumah tangga yang sekaligus menjadi penasihat ketika aku dilanda badai cobaan, akan tetapi kali ini ia sangat serius menatap. Air mata yang keluar dari lekuk pipinya juga mengawali sebuah ucapan untuk berkata.
"Bi, berdirilah. Jangan duduk di lantai seperti itu," suruhku seraya memandang wajah melasnya. Seketika pintu hati terketuk dahsyat, kemudian ia berdiri dan menatap wajah ini penuh hati-hati.
Aku pun menggeser posisi duduk, supaya lawan bicara mau kiranya untuk berbincang lebih dalam seputar isi hatinya. "Bi, duduk di sini, apa yang akan Bibi katakan."
Ia pun mengikuti perkataan ini, seraya duduk sangat anggun ia menarik napas beberapa kali.
"Tuan ... Bibi mau bicara tentang Nyonya."
"Ya, kenapa dengan Marissa?" kutanya ia sambil menoleh ke samping tempat duduknya.
Wanita paruh baya itu kembali menelan ludah. "Jadi gini, Tuan. Bibi cuma mau pesan kalau Nyonya jangan dipasung seperti itu, kasihan ...."
"Bi, saya melakukan itu demi kebaikannya, enggak lebih."
"Kebaikan untuk seorang wanita bukanlah dengan cara kasar seperti itu, coba dalami hati seorang ibu kadung Tuan ketika dahulu. Ia sudah susah payah melahirkan, membesarkan, tiba-tiba anak laki-lakinya malah membelenggu malaikat itu." Bi Ira pun berceramah, ia seperti tengah membuka mimbar khotbah Jumat.
Tanpa balas kata, aku pun akhirnya serba salah. Menggunakan kedua tangan, kutekan kepala sangat erat.
"Bi, mulai sekarang. Jangan bahas Marissa di depan saya, kamu aja yang urus dia di sana. Berikan makan setiap pagi, bila perlu kamu juga yang mandikan."
Dari samping tempat duduk, wanita yang selalu mengikat rambutnya dengan tapi rafia itu mendelik lirih. "Baiklah, Tuan! Suatu saat Allah akan membuka hati orang yang sudah zalim pada hambanya, bahkan surga pun haram bagi suami tang tega menelantarkan istrinya."
Duar!
Seketika suara petir pun terdengar keras dari luar rumah, semesta seakan mengaminkan doa wanita paruh baya yang saat ini berkata dengan menyumpah. Kemudian, Bi Ira beranjak dari kursi sofa dan berjalan pelan sambil menghapus air mata.
"Bi ...," panggilku singkat.
Pemilik nama pun terdiam, ia menoleh ke arahku saat ini. "Maafin saya, Bi," ucapku seraya menurunkan nada suara sedikit merengek.
"Tuan! Saya tahu kenapa Tuan tega memperlakukan Nyonya seperti itu, pasti karena Non Siska telah hamil anak Tuan, 'kan, sungguh lelaki tak punya hati nurani."
"Cukup! Bi! Kamu jangan membawa-bawa Siska dalam masalah ini, saya memperlakukan Marissa seperti itu karena ia telah keterlaluan."
"Bukan. Tetapi karena Tuan akan menikah kembali dengan wanita yang sekarang menjadi PELAKOR rumah tangga!" tegasnya, kemudian ia kembali berjalan menuju ruang dapur.
'Ya, Tuhan ... apa yang aku lakukan malam ini? Tega sekali aku memperlakukan Marissa seperti itu,' batinku berkata.
***
Pagi telah tiba, kubuka kedua bola mata perlahan seraya menatap taman indah di balik horden putih. Di luar sana tampak kicauan burung besenandung riang, bersama dengan terik matahari yang menerpa dan cahayanya menembus tambok kaca balkon rumah.Aku beranjak untuk turun dari kasur, berjalan sangat lambat menuju balkon lantai dua. Kedua bola mata menoleh taman di bawah, bunga-bunga tampak sangat indah bermekaran.
Karena hari ini sedang libur, aku sengaja mendekam saja. Beberapa menit bercanda bersama indahnya cakrawala semesta, dedaunan menghambur jatuh saling bertabrakan satu sama lain.
Secara seksama, penglihatan hanya tertuju pada satu kuntum mawar merah, satu persatu kelopak itu terjatuh dan membuang keindahannya.
Tatapan sangat terkejut ketika melihat kelopak yang terjatuh di rerumputan hijau. Mahkota merah bunga mawar berubah menjadi seperti darah tengah mengalir dan cair di sekitar area batang.
Aku pun membuyarkan lamunan. "Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan, enggak mungkin kalau kelopak bunga mawar berubah jadi darah," ucapku sendiri seraya menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran konyol.
Beberapa menit berdiri, rasa bosan menyergap. Kulangkahkan kedua kaki menuju luar kamar, karena perut juga sangat lapar dan sejak kemarin tidak berisi apa-apa.
Sesampainya di ruang tamu, aku melihat Bi Ira lewat seraya menentang satu piring makanan dan segelas minuman. Ia berjalan dengan langkah kencang, tanpa menoleh kanan dan kiri. Melihatnya melintas, aku meletakkan tubuh di tembok rumah, sehingga ia tidak melihat keberadaanku.
Karena sangat penasaran, akhirnya aku mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang. Berjalan mengendap-endap seraya menoleh ke arah kanan dan kiri. Selang beberapa menit, aku sampai di sebuah ruang bawah tanah tempat Marissa sedang dipasung.
'Pasti Bi Ira mau memberi makan untuk Marissa. Ya, sudahlah. Untuk apa aku ikuti sejauh ini, buang-buang waktu aja. Mending aku kembali ke dapur dan cari makanan,' batin berbicara.
Sampailah aku di ruang dapur. Tepat di atas meja, sudah terhidang roti bakar lengkap dengan selai dan juga susu putih seperti biasanya. Walaupun Bi Ira sedang sibuk merawat sang istri, akan tetapi ia enggak melupakan kewajibannya sebagai asisten rumah tangga.
Memakan dua potong kue, kemudian Bi Ira datang sambil menenteng piring dan gelas.
"Dari mana, Bi?" tanyaku seketika, posisi badan masih duduk di atas kursi tanpa menoleh.
"Saya lagi ngasih makan kucing di luar, Tuan," responsnya, lalu ia meletakkan piring dan gelas di tempat biasa untuk mencuci.
'Kamu kira aku enggak tahu, Bi. Kalau kamu memberi makan Marissa. Ya, sudahlah, buat apa juga mengurusi perempuan gila itu. Karena sebentar lagi aku akan menikah dengan Siska dan memiliki anak darinya,' celotehku dalam hati.
Selesai sarapan, aku kembali menuju kamar dan melewati kursi sofa ruang tamu. Kedua bola mata kembali mendelik karena melihat sebuah surat bersampul putih berada di atas meja, kaki kanan dan kiri berjalan mundur.
Karena sangat penasaran, aku mengambil surat itu dan menatap mantap tulisan. Bait awal tampak biasa saja, lama kelamaan terlihat sangat luar biasa. Ucapan romantis dari calon istri baru bernama—Siska Veronica Anastasya.
Perasaan menjadi sangat berbunga-bunga. Dengan langkah lebar, aku membawa surat itu menuju kamar dan bersenadung tanpa henti. Hati merasa sedang jatuh cinta lagi, meski pada wanita kedua akan tetapi Siska adalah mantan pacarku ketika duduk di bangku SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
General FictionIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...