Anissa POV
Keluar dengan sangat buru-buru, aku perlahan menghapus air mata yang mengalir deras. Sandiwara kali ini berjalan dengan sangat mulus. Refal tampak sangat sedih dan meneriakiku dari ambang pintu. Beberapa menit setelahnya, aku berjalan menuju tempat biasa bekerja.
Memang sore ini aku sengaja enggak pulang untuk mengganti pakaian. Namun, kehendak hati ingin menghabiskan waktu seharian untuk menatap senja di taman Sudirman. Volume kendaraan yang melintas saat itu juga sangat ramai, sesekali pandangan menoleh sedikit ke arah aspal jalan lintas.
***
Tak terasa, magrib telah tiba. Aku masih berdiam diri di tengah taman dengan pakaian seragam sekolah. Dari ambang penglihatan, sebuah mobil berhenti tepat di depan mata. Sosok pemuda tampan yang biasa aku sebut—Refal menghambur keluar dari pintu sebelah kanan. Ia pun sedikit berlari dan seperti tengah mencari sesuatu.Selang beberapa menit, Refal menghilang. Dari arah belakang badan, seseorang menyentuh pundakku perlahan. Kemudian, kutoleh siluet siapa gerangan orang itu.
"Fal, lu ngapain di sini?" kutanya, lalu cowok berkumis tipis itu berlari dan duduk di posisi samping kanan.
Tampak dari wajahnya tengah kecewa dan kesal. Tanpa mampu berkata, aku hanya menatap mantap langit yang bertabur bintang-bintang.
"Nis," panggilnya. Dengan pandangan tajam, kubuang lewat kemistri tatapan.
"Ya, Fal. Ada apa?"
"Lu marah sama gue?" tanyanya, kemudian lawan bicara menadahkan kepala di atas kursi taman.
Dengan tangan kanan, aku menyentuh dagunya dan membuat wajah tampan itu mendongak tepat mengarahku.
"Fal, lu enggak salah." Selesai menjawab, kulepas tangan kananku dan tatapan berpaling menuju langit hitam.
Dari posisi samping, Refal berkata. "Nis, gue mohon jangan tinggalin gue. Karena gue enggak bisa hidup tanpa lu, walaupun ...."
"Walaupun apa, Fal?" desakku untuknya segera menjawab kata-kata yang tadi ia gantung.
"Walaupun kamu bukan pacar gue," lanjutnya sangat melas. Lalu, Refal mengubah posisi menjadi menatap langit semesta. Ia pun memandang secara seksama dan tampak sedang menelan ludah beberapa kali.
Aku mengambil sebuah buku diary dan menulis beberapa bait kejadian hari ini. Sementara lawan bicara, membungkam tanpa suara. Alhasil, suasana menjadi sangat hening bagai kuburan.
Tanpa mempedulikannya, aku pun tetap menulis.
"Terkadang, hidup ini terasa tidak adil," ucapku. Mendengar ucapan singkat itu, Refal menoleh ke arah wajah ini seketika.
"Ma-maksudnya ...?" tanya Refal.
"Ya ... seperti kejadian kita malam ini, begitu tidak adil."
"Gue masih enggak ngerti. Nis, please ... jangan bertele-tele. Apa yang lu rasain sama gue saat ini. Kalau memang lu cinta sama gue, bilang sekarang. Biar—"
"Biar apa, Fal?" sambarku memotong pembicaraan.
"Biar gue berjuang buat lu. Agar cinta ini enggak sia-sia," lanjutnya dengan wajah penuh kekecewaan.
"Fal, yang namanya perjuangan enggak ada yang sia-sia. Pasti akan mendapat sebuah dampak apa pun itu."
"Jadi, lu mau jadi pacar gue?" desaknya. Cowok berkumis tipis itu menatap sangat serius.
Dari samping kanan, aku mengangguk dua kali sebagai kode bahwa aku mengiyakan kehendaknya.
"Nis, benar lu mau sama gue." Refal memastikan dan mengulang ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasung Suami Kejam
Narrativa generaleIni adalah cerita tentang wanita yang dianggap gila oleh suaminya. Kematian ketiga anaknya yang secara berturut-turut, membuat wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat untuk mengiris tangannya dan meminum darah yang keluar bercucuran. Ketika d...