Sepuluh Tahun Kemudian

1.4K 54 0
                                    

9 Bulan Kemudian ...

Pagi ini, genap usia janin yang aku kandung berada di usia matang. Sudah saatnya ia keluar dan melihat dunia, buah hati yang aku harapkan bisa membangkitkan ibunya dari belenggu suami kejam—ayahnya yang tega memperlakukan istri layaknya hewan.

Perut pun mual sejak tiga hari belakangan. Dengan keadaan dua kaki yang masih dipasung, aku tak bisa bergerak bebas untuk membawa isi perut menuju posisi nyaman. Miring ke kiri terasa sangat sakit, begitu pun miring ke kanan, semua posisi sama saja.

Kala itu, aku merasakan kesakitan yang tak kunjung usai. Sementara Bi Ira datang ke dalam ruangan sangat lama. Tak seperti biasanya, mungkin ia banyak kerjaan di dalam rumah. Menggunakan kedua tangan untuk meraba benda-benda di sekitar tubuh, aku mencari apa pun yang bisa menemani kesakitan ini berlangsung.

Seketika kedua bola mata mendongak ke atas kursi kusam, di sana ada sebuah botol berukuran kecil dan dengan sigap aku meraihnya sedikit demi sedikit. Perkiraan awal tidaklah seperti apa yang aku bayangkan semula, kedua tangan masih sangat jauh untuk meraih botol itu.

Menggeser sedikit demi sedikit posisi duduk, darah segar pun keluar dari dalam perutku akibat banyaknya pergerakan

Dari ambang penglihatan, tatapan kedua bola mata mulai samar. Tak mampu menatap jelas siapa gerangan yang sedang berjalan menuju ke arahku saat ini, Tuhan pun sepertinya ikut bertindak. Dengan sisa-sisa tenaga, aku menggoyangkan kursi di samping badan hingga akhirnya botol itu terjatuh di lantai tanpa pecah.

Dengan tangan kiri, aku meraih botol itu dan menekan rasa sakitku. Itu adalah caraku untuk bisa melahirkan tanpa suara, agar nantinya tidak ada yang mendengar kalau aku sudah melahirkan di dalam ruangan.

"Astaghfirullah ... Nyonya ...!" teriak Bi Ira sangat histeris, ia pun berlari dan mendekati tubuhku.

Tepat di samping kiri, wanita paruh baya itu menyentuh sebuah darah segar telah keluar dan berserak di atas lantai. Ia pun meneteskan air mata seraya mengelus rambutku, tak henti-hentinya Bi Ira memeluk sambil menyentuh perut yang mulai terasa sangat sakit.

Aku pun ikut menangis. 'Ya, Allah ... perut hamba sakit sekali. Kalau memang hari ini akan lahir umat Nabi Adam, tolong permudah jalannya menuju dunia. Amin ...,' batinku berkata.

"Bi, perut saya sakit sekali, Bi ...." Setelah berkata sangat lirih, aku menarik kerah baju wanita di samping.

Karena lawan bicara juga tak mampu untuk berkata apa pun, ia mencoba untuk menggoyangkan pasung yang mengikat kedua kakiku. "Nyonya ... kita ke dokter aja, yuk? Biar bibi telepon pihak rumah sakit," ujarnya, lalu wanita itu mengubah posisi berdiri setengah badan.

"Bi ...!" teriakku dengan nada suara lirih.

Wanita paruh baya itu menoleh lagi, ia pun tak melanjutkan untuk pergi menuju ruang tamu. "I-iya, Nyah ...."

"Enggak usah telepon dokter, saya masih kuat untuk melahirkan normal."

"Tapi, Nyah ...."

"Bi—"

Dengan pembantahan yang aku katakan, akhirnya wanita yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia itu putar balik. Ia pun kembali mengubah posisinya menjadi duduk bersila, menggunakan tangan kanan ia ikut menekan perut yang masih terasa sangat sakit.

Aku pun memasukkan mulut ke dalam lubang botol, seraya menarik napas dan mendorong bayi itu agar keluar normal. Ini adalah caraku untuk membuat suara tak masuk ke dalam rumah, karena teriakan itu hanya ada di dalam botol saja. Seiring berjalannya waktu, bayi tak kunjung keluar.

Sementara rasa sakit membuatku tak mampu untuk bertahan, tenagaku pun mulai habis tak tersisa lagi. Dari samping kiri, Bi Ira membaca beberapa ayat alquran dan menekan perutku secara perlahan.

Pasung Suami KejamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang