PROLOG

76 15 9
                                    

Langit malam yang gelap dengan udara yang terasa begitu dingin mencekam. Bulan purnama sempurna tertutup awan. Angin malam membuat dedaunan dari pohon bergesekan satu sama lain.

Seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun terlihat tengah duduk sendirian di depan rumah neneknya dengan lampu yang remang-remang.

Anak laki-laki itu bernama San. Dia menatap langit malam yang sepi dengan bulan yang tertutup awan tanpa bintang yang menemaninya. Seperti dirinya saat ini, sendiri tanpa ada yang menemani.

San menghela nafas panjang. "San mau ketemu sama bunda," suara San bergetar bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak. San memejamkan mata dan membukanya saat air matanya mengalir. "San kangen bunda sama ayah."

Udara malam bertambah dingin seiring berjalannya waktu. San masih setia duduk di depan rumah tersebut. Dan tak terasa kantuknya mulai menyerang. San menyenderkan kepalanya pada salah satu pilar dan memejamkan matanya.

Sesuatu yang dingin ia rasakan di salah satu lengannya membuat San membuka matanya kembali. Seketika ia membolakan kedua matanya saat melihat di depannya terdapat gadis cantik berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan rambut panjang yang terurai dan gaun putih yang bernodakan darah, namun gadis itu nyaris tak terlihat atau tembus pandang.

"Halo San," gadis itu tersenyum sebelum akhirnya berkata. "Mau ketemu bunda kamu? Aku antar yuk"

.
.
.

"Kenapa harus dilahirkan, jika akhirnya tak di inginkan?"

"Gimana rasanya dapet kasih sayang dari orangtua?"

"Gimana rasanya jadi anak indigo? Apa orang-orang menerima lo dengan keadaan lo yang bisa melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat? Apa orangtua lo menerima kelebihan lo itu?"

--Bryan San--

.
.
.

To be continue...

BRYAN SAN || Choi SanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang