Happy reading..
Warn! Typo bertebaran!!San sampai dirumah sekitar jam setengah enam sore. Ia memarkirkan motornya di samping motor Aidan yang terparkir rapi di depan garasi tak lupa ia melepas helm full face dan meletakannya di atas jok motor.
San berjalan menuju pintu masuk yang sedikit terbuka. Ada ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu, pasti sudah siap akan memarahinya.9
"Sini kamu," suara yang datar itu memasuki indra pendengaran San.
San mendekat ke ayahnya. Berdiri di depan ayahnya yang masih membaca sebuah majalah. San sebenarnya malas berbasa-basi apalagi dengan ayahnya.
"Apa?"
Lelaki yang sudah berumur itu meletakkan majalahnya di meja dan menatap anak laki-lakinya. "Dari mana?"
"Sekolahan."
"Kenapa baru pulang? Kakak sama adikmu sudah pulang satu jam lalu. Kenapa kamu baru pulang?"
"Bukannya ayah tau kalau ini jadwalnya San latihan futsal?" Tanya San.
Lukman -ayahnya San- menghela napas, "ayah nggak ngelarang kamu main futsal sepulang sekolah, tapi jangan sampai pulang terlambat."
San berdecih, "bukannya bang Bagas juga pernah pulang terlambat? Aidan juga pernah, sering malah sampai jam tujuh malam. Kenapa cuma San yang ayah nasehati?"
Lukman harus bersabar menghadapi anaknya yang satu ini. Keras kepala, susah dibilangin dan tidak pernah mendengarkan, "kakakmu itu kan sudah kelas dua belas pasti ada pelajaran tambahan sampai ia pulang terlambat. Dan Aidan, dia kan kapten basket sekolah dan pasti latihannya butuh waktu. Sedangkan kamu cuma main futsal sama teman-teman kamu kan? Tiap malam nggak pernah belajar, seringnya keluar. Pasti kamu cuma main kerjanya. Nggak pernah niat sekolah. Buktinya kamu sering terlambat kesekolah." Awalnya kata-kata itu biasa saja, tapi makin lama makin menyulut emosi San.
"Terserah apa kata ayah. Tapi San nggak seperti yang ayah bayangkan selama ini!" ucapnya dengan sedikit menaikkan suaranya.
"Berani kamu bicara dengan nada seperti itu sama ayahmu sendiri?"
"Apa?! Ayah marah? Nggak terima?!"
"KAMU INI!" Lukman yang sudah terbawa emosi berdiri dari duduknya dengan tangan kanan yang sudah ia angkat, bersiap untuk menampar anak di depannya.
"APA?! Ayah mau nampar San? Tampar saja! TAMPAR!"
Plak!
Suara tamparan terdengar cukup keras. Sudut bibir San terlihat mengeluarkan sedikit darah, pipi kirinya memerah, bekas tamparan terlihat jelas. Perih rasanya dan menyakitkan.
"Ayah nggak pernah ngajarin kamu kayak gini, San. Bersikap nggak sopan sama orang tua. Menaikkan suaranya saat berbicara sama orang tua. Ayah pernah ngajarin itu? Nggak kan? Kenapa kamu kayak gitu. Kamu paling beda diantara saudaramu yang lain. Kakak kamu emang pernah bicara seperti itu sama ayah? Adikmu pernah bicara seperti itu sama ayah? Nggak pernah. Cuma kamu yang berani bicara seperti itu ke ayah," ucapnya penuh penekanan.
San berdiri dalam diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut sang ayah.
"Kenapa? Kamu masih terjebak di masa lalu? Kamu belum rela bundamu pergi? Kamu harusnya sudah relain bundamu pergi. Sudah 7 tahun lebih bundamu pergi, dan kamu belum relain?"
"Kamu mau bundamu disana menangis melihat putra kesayangannya tidak sopan sama ayahnya sendiri?" Tambah ayahnya. "Pergi kekamar kamu!"
San pergi dari hadapan sang ayah dengan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia sempat melihat kearah garasi, ia merasa ada seseorang yang mendengar saat ayahnya menceramahi dirinya. Ia tidak perduli itu siapa, toh sudah biasa ayahnya seperti itu. San kembali berjalan menuju tangga yang menghubung ke lantai 2.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRYAN SAN || Choi San
Подростковая литература. . . "Hai, gue San." "Gimana rasanya dapet kasih sayang dari orangtua?" "Gimana rasanya jadi anak indigo? Apa orang-orang menerima lo dengan keadaan lo yang bisa melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat? Apa orangtua lo menerima kelebihan...