[ Prolog ]

13.8K 240 4
                                    

[ Prolog ]

[ Prolog ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

:::¤:::

Hamparan rumput hijau terbentang di depan mata. Hari ini, hari minggu. Waktu liburanku dengan gadis kecilku yang manis.

"Ara!"

Panggilku cemas. Langkahku secara refleks mendekat ke arahnya. Aku berjongkok, memegang kedua bahunya. Hidungnya merah, jejak air mata membekas di pipinya yang chubby.

"Daddy ... dadaku sakit, hiks!" keluhnya sambil menangis.

Aku meraih tubuhnya, memeluknya dalam dekapanku. Lalu menggendongnya seperti koala. Ia merebahkan wajahnya yang basah di leher, aku bahkan masih mendengar isak tangisnya.

Dengan langkah tergesa, kami menuju mobil yang terparkir rapi di luar taman bermain.

Aku mendudukkannya di kursi samping setir. Ia masih menangis.

"Ara, mana yang sakit?"

"Dada Ara sakit Daddy. Anak laki-laki itu sengaja menendang bola ke arahku!" adunya seraya bersungut-sungut.

Pipinya semakin bulat, bibirnya juga tak absen untuk mencibir. Astaga, anakku sangat lucu!

"Mungkin gak sengaja. Dimaafin aja, ya? Sakit banget?" tanyaku khawatir.

Ara mengangguk yakin.

"Coba buka bajunya dulu, kalau sakit banget habis ini kita ke rumah sakit." ujarku membantunya melepas kaos atasnya.

"..."

"Daddy!"

Ara menyentuh dahiku. Membuatku sadar dari lamunan singkatku.

"Daddy kenapa?" tanya Ara yang sudah menangkup rahangku.

Aku berusaha tersenyum. Mengusap rambutnya yang halus. Lalu mencium pipi kirinya.

"Ara umur berapa sekarang?"

"Bulan depan 11 tahun, Daddy harus pulang ya!" Ara mencebik.

Perjalanan bisnis memang sering membuatku jauh dari rumah. Tak jarang setelah berbulan-bulan kami baru bisa bertemu karena ada proyek di luar negeri. Tentu aku tidak bisa membawa Ara. Dia sekolah. Tahun ini dia akan naik ke 2eme Degree (second degree).

Ternyata, waktu berjalan cepat. Gadis di depanku kini bukan lagi anak perempuan kecil yang dulu kugendong dan kumandikan. Dia mulai beranjak remaja. Bahkan rasa sakit yang ia keluhkan tadi, adalah salah satu tanda pubertas sekunder yang dialami para remaja perempuan.

Payudaranya mulai tumbuh.

Kami tentu tidak bisa lagi mandi bersama, tidur bersama, dan berganti baju bersama. Dia harus bisa mandiri dan mulai belajar tentang sex education.

"Ara pakai bajunya dulu ya."

Aku meraih kaos, membantu memakainya kembali.

Aku menghela napas panjang, ternyata sudah selama ini.

"Mulai minggu depan, Daddy akan lebih sering di rumah." ucapku setelah memikirkannya matang-matang.

"Daddy serius? Gak bohong 'kan?" tanya Ara memastikan, tapi matanya terlihat berbinar senang.

"Kapan sih Daddy pernah bohong sama Ara?"

"Aaaa... Ara mau tidur dan mandi bareng Daddy setiap hari!" seru Ara terlihat antusias.

Aku termangu sejenak. Mulai bingung menghadapi anak yang akan beranjak remaja sepertinya.

Bagaimana cara menjelaskan ini agar ia mengerti?

"Ara nggak boleh tidur dan mandi bareng Daddy lagi" ucapku dengan suara lembut.

Ara menatapku marah seolah tak percaya dengan ucapanku.

"K-kenapa? Ara nakal ya? Daddy udah gak sayang lagi sama Ara?" tatapnya berkaca-kaca.

"Ssstt, Daddy selalu sayang sama Ara."

"T-tapi Daddy gak mau dekat-dekat Ara lagi! Daddy udah gak sayang sama Ara!"

"Bukan Ara. Dengerin Daddy dulu... Itu karena Ara sudah besar. Sebentar lagi Ara kelas 5. Ara harus mandi sendiri, tidur sendiri, dan ganti baju sendiri tanpa Daddy. Ara harus mandiri. Gak malu kalau temen-temen kamu tahu Ara masih manja, minta dimandiin dan tidur bareng Daddy?"

Ara menatapku lama.

"Ara gak peduli. Ara gak malu kok! Ara mau mandi sama Daddy! Mau tidur sama Daddy. Pokoknya Ara mau sama Daddy!"

Aku terdiam mendengarkan protesan Ara.

"Ara..."

"A-apa karena Ara anak angkat, makanya Daddy gak sayang sama Ara lagi? Daddy gak mau ngurusin Ara lagi?"

Aku meraih tubuh Ara ke pelukan. Menenangkannya supaya berhenti menangis. Aku bisa merasakan pelukannya yang sangat erat.

Huh, ternyata punya anak tidak semudah itu.

Apalagi saat memasuki masa remaja yang mulai banyak memberontak.

Aku harus lebih sabar dan lebih berhati-hati dalam menjelaskan. Emosinya labil, hormonnya juga mulai tidak stabil.

Sangat sensitif dan rawan.

Tapi ia harus mulai menerima keadaannya bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bisa mandi atau tidur dengan orang lain.

Tubuhnya mulai berubah, dan cara orang melihatnya pun juga mulai berubah...

Tubuhnya mulai berubah, dan cara orang melihatnya pun juga mulai berubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Vote for next!
Xoxo^^

Love You, Daddy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang