Bagian [ 11 ]
• Adieu •:::
[•Untuk next part khusus untuk dewasa jadi silakan di skip bagi pembaca yang di bawah umur/tidak berkenan dengan hal2 erotis•]
-tidak akan mempengaruhi alur cerita-
:::
"Daddy!" Manik cokelat itu berkaca-kaca, tampak luka dan kekecewaan terbias dari sana.
"Ini yang terbaik. Bastian akan mengantarmu, Blue sudah ada di tempat tinggalmu yang baru untuk menemanimu." Orville berkata dengan raut datar seolah apa yang dikatakannya bukanlah apa-apa. Pria itu tampak sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya.
Ara meraih vas bunga di atas meja kerja Orville lalu melemparkannya ke rak kaca yang mengakibatkan suara pecahan yang keras.
Pranggg!
Ara menatap marah ke arah Orville. Pipinya sudah basah oleh air mata. Dadanya naik turun sebab kekesalan yang memuncak. Orville menghentikan pergerakan jemarinya di atas keyboard, matanya melirik pecahan kaca yang berserak di lantai akibat ulah Ara.
"Sejak kapan Daddy mengajarimu menjadi pemberontak?" Nada dingin Orville mencabik-cabik perasaan Ara saat itu juga.
"But... why, Dad?" Tatapan Ara memelas. Sedang Orville tetap menatapnya dingin.
"Ini balasan dari kehadiranmu di ulang tahunku yang kesebelas?" Ara mengusap air matanya kasar.
"Setelah menuruti kemauanku selama ini, begini akhirnya? Kau membuangku!" teriak Ara pedih. Orville terhenyak, mulutnya terbuka lalu ia katupkan kembali sebelum Ara menyadarinya.
Ara kembali terisak. Tubuhnya terlihat gemetar. Bastian yang sejak mendengar suara pecahan kaca sudah berdiri di pintu hanya bisa mematung di tempat tanpa berani mendekat.
"Apa bedanya, Dad? Sebelum-sebelumnya kau yang berada jauh dariku dengan alasan pekerjaan, hiks... Dan sekarang, kau mengirimku jauh dengan alasan sekolah? Hiks...,"
Ara mengepalkan kedua tangannya. Ia meraih buku-buku acak di meja Orville dan merobek-robeknya menjadi serpihan kecil. Orville menatap perbuatan Ara tanpa ekspresi apapun.
"Jangan bertingkah seperti anak kecil, Ara! Kau hanya akan sekolah, bukan dibuang. Aku akan tetap membiayai--" ucapan Orville terpotong.
"Sekolah? Kalau hanya sekolah aku bisa sekolah di sini!" tetiak Ara sambil menangis.
"Itu. Yang. Terbaik. Untukmu!" ujar Orville penuh tekanan.
"Kau bahkan tidak bertanya padaku atau sekedar meminta persetujuanku!"
Ara melepas tas sekolahnya dan melemparkannya ke lantai.
"Aku bahkan belum lulus, Dad! Ini hanya alasan yang kau buat-buat!"
Ara sudah terduduk di lantai sambil terisak-isak.
"Kenapa tidak kau katakan saja kalau kau membenciku? Sebegitu besar usahamu menjaga jarak dariku." Ara mengucapkan itu sambil berusaha menghapus tangisnya yang tak kunjung reda. Ia sudah tak punya tenaga lagi untuk berteriak.
Ara sungguh tak percaya. Semalam, ia tertidur dengan kecupan seperti biasa dari ayahnya. Pagi tadi ia bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Tidak ada Orville di meja makan untuk sarapan. Tapi itu sudah biasa baginya jika Orville harus meeting pagi-pagi atau berada di luar negeri karena urusan pekerjaan.
Keanehan terlihat saat Bastian turun membawa koper besar dari lantai dua, tempat kamarnya berada. Dan semua keanehan ini semakin nyata ketika orang-orang berpakaian hitam berbaris di depan rumah dan mobil-mobil hitam yang biasanya mengiringi Orville ke bandara. Dada Ara bergemuruh kala menyadari ada yang tidak benar di sini. Biasanya ayahnya itu selalu mengabarinya jika harus ke luar negeri. Semendadak apapun! Ia berniat akan memarahi Orville karena lupa pamit padanya semalam. Namun yang terjadi justru mengejutkannya.
"Bukan Daddy yang pergi, tapi kau."
Ucapan dingin tanpa senyuman itu menyerap keceriaannya pagi itu. Ia menatap Orville yang tetap beku di tempat. Ia menghela napas yang terasa sesak.
Kekecewaan telah menguras energinya hingga ia hanya bisa menangis tanpa suara kini. Naasnya, di balik meja kebesaran itu. Sepasang mata hanya menatapnya dingin seolah tak peduli pada jerit tangisnya.
"Bastian, cepat antarkan Ara ke bandara sekarang." Orville kembali fokus pada laptopnya. Ara menatap Orville pilu. Jantungnya terasa dibekap hingga sulit baginya bernapas dengan benar.
Pundaknya dipegangi oleh Bastian. Lelaki itu menuntun Ara untuk berdiri. Ara menatap Orville penuh amarah.
"Baik, Orville. Aku pergi! Jangan sekali-kali menghubungiku atau berusaha menemuiku lagi setelah ini!" Setelah mengatakan itu Ara berbalik dengan langkah lebar keluar dari ruangan Orville.
"Bastian, cepat keluar atau aku berangkat sendiri!" Teriakan Ara mengejutkan Bastian.
Bastian menunduk ke arah Orville, "Kami berangkat, Mr. Ov!" lalu segera keluar dan menutup pintu perlahan.
Orville menghentikan pergerakan jemarinya, lalu menutup laptopnya. Ia menghela napas berat, sambil memijat pangkal hidungnya.
Ia membuka kembali laptopnya. Menatap sayu pada tulisan acak yang terketik di layar. Orville menekan tombrol "ctrl" lalu "A", dan tulisan otomatis terblok secara keseluruhan. Orville menekan tombol "delete", dan semuanya terhapus menyisakan paper blank. Kosong seperti hatinya sekarang.
Perlahan jemarinya kembali mengetikkan sesuatu. Matanya berubah sendu hingga genangan air mata mulai terbentuk. Namun sebelum jatuh ke pipi dan rahangnya, pria itu menghapusnya. Ia menatap layar laptopnya.
'Maaf, Ara. Daddy sayang Ara.'
Ia memaksakan senyuman kecil, sayangnya kalimat yang sedari tadi ingin ia ungkapkan tak pernah tersampaikan. Kekecewaan dan marah itu membuat Orville gentar dengan keputusannya.
Ini yang terbaik. Meski harus diakhiri dengan cara seperti ini.
'Adieu*, Ara!'
::
Ara memandangi jalanan yang ramai seperti biasa. Ia membenci kemacetan jalan raya, namun tidak kali ini. Masih ada harapan kemacetan akan membatalkannya untuk pergi dari kota ini, dari negara ini, atau bahkan... benua ini.
Air matanya kembali mengalir di pipinya. Segera ia hapus sebelum siapapun melihatnya. Ia berjanji, bahwa tangisan di ruang kerja Orville adalah yang terakhir. Setelah ini, tidak ada tangisan lagi. Ia hanya akan tersenyum dan tertawa. Tidak ada lagi.
Dan tidak ada lagi Orville baginya.
Air mata Ara mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Berulangkali ia hapus, tetap ada yang jatuh.
Oh ayolah!
Orville telah membuangmu! Sadarlah! Kau tidak diharapkannya!
Ia bisa hidup tanpa kecupan orang tua itu!
Tanpa pelukan,
Atau sekadar kata-kata sayang darinya.
Ia akan bebas dari omelannya yang menyebalkan. Ia akan hidup bebas sesuai maunya tanpa perlu menuruti siapapun.
Dan jangan lupakan satu hal, ia tidak akan lagi melihat atau bertemu pria kejam itu!
Bibir Ara menyunggingkan senyum namun ia tahu rasanya sakit di dalam.
'Adieu, Mr. Ov!' teriaknya dalam hati.
•••
Note:
- (*) Adieu = selamat tinggal (untuk waktu yang lama)•••
WARNING!
JANGAN LUPA KLIK BINTANG. Pojok kiri bawah ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Daddy!
Любовные романыWarning! 21+ -Mature content [please be wise, mature are not same with porn. So open ur mind] "Jika kita bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta, percayalah... cinta takkan lagi jadi sesuatu yang istimewa." [• Love you, Daddy!• ]