Bab 3

692 70 8
                                    

Sudah sejak 15 menit yang lalu tepatnya Arkha sampai di stasiun, ia telah beberapa kali melakukan panggilan ke Delima, namun tidak ada jawaban. Puluhan pesan yg ia kirim juga tidak di balas. Hatinya sangat khawatir, takut jikalau terjadi sesuatu dengan "Dinda"nya di jalan.

Arkha memutuskan untuk duduk di sebuah kedai makanan cepat saji di salah satu deretan ruko, di sebelah kiri pintu kedatangan stasiun. Memang sebenarnya sejak semalam Arkha sudah merasa sedikit demam, namun ia abaikan demi bertemu "Dinda". Tadi sebelum berangkat ia tak sempat makan pagi, alhasil sekarang Arkha merasa lumayan pusing dan lemas. Matanya terus menatap ke depan, ke kanan dan ke kiri, berharap segera menemukan "Dinda" di antara puluhan orang yang lalu lalang, sesekali tangannya juga sibuk mengirim pesan dan menelfon.

Sedaritadi sebenarnya Delima telah sampai, namun dia tidak berani menemui Arkha, Dengan mata yang nanar dia hanya mampu duduk dan memandangi Arkha dari bangku kayu di pangkalan ojek seberang stasiun, ia sengaja mematikan ponselnya dari pagi, sejujurnya Delima sangat takut kehilangan Arkha.

Jam dinding besar di atas pintu kedatangan telah menunjukkan pukul 5 sore lebih 25 menit, itu tandanya Arkha sudah menunggu di stasiun lebih kurang 7 jam. Arkha merasa semakin pusing, ia mengusap wajahnya pelan, meraih ponselnya di meja dan kembali mencoba menghubungi Delima, matanya sangat penuh harap, nampak sekali gurat lelah dan kesedihan di raut mukanya. Delima yang melihatnya menjadi iba, hatinya diliputi rasa khawatir, ia meraih ponsel di saku tas selempangnya, bergegas menghidupkannya. Ada puluhan notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Arkha. Dengan tangan bergetar Delima mengetik pesan yang sangat panjang, ia memilih untuk jujur kepada Arkha, hatinya tak mampu untuk sekedar bertemu dengan Arkha. Air matanya sudah tak lagi terbendung, jemarinya berat menekan tomobol kirim.

"ting" bunyi notifikasi pesan terkirim.

Dari kejauhan ia bisa melihat Arkha yang sedang memijit keningnya, sedikit terperanjat kala mendapati pesan dari Delima masuk di ponselnya. Mukanya berubah merah menyiratkan bahwa Arkha sedang marah dan tentu saja kecewa. Arkha menekan tombol panggil ke nomor ponsel Delima, namun Delima menolaknya.

" Kamu di mana? ", Delima membaca notifikasi pesan di layar atas ponselnya, ya...itu dari Arkha.

"Maafkan aku ya mas, aku salah".

"Salahku apa sampai kamu bohongi seperti ini"

Delima hanya diam, ia tidak membalas pesan Arkha.

"Aku sudah jauh - jauh datang ke sini, kita harus bertemu, aku ingin tau seperti apa orang yang sudah mempermainkan hidupku ". Arkha nampak sudah sangat emosi.

"Aku tunggu di depan pintu kedatangan, aku belum pernah ke kota ini sebelumnya, kamu harus bertanggung jawab mencarikan tempat untuk aku menginap, kepalaku sungguh pusing".

Dengan berat hati Delima bangkit berdiri, setelah sebelumnya meng "iya" kan permintaan Arkha untuk menemuinya, tatapannya nanar, perlahan ia berjalan ke tempat di mana Arkha sedang berdiri menunggu.

" Mas Arkha", panggil Delima lirih. Arkha menoleh ke arah asal sumber suara, memang..suara itu adalah suara yang sangat ia rindukan. Yang ia lihat saat ini bukanlah "Dinda" pujaan hatinya yang proporsional dan memiliki wajah mempesona, tapi di depannya kini berdiri seorang perempuan bertubuh subur, berwajah biasa saja, bahkan sangat jauh dari yang ada di foto profil media sosialnya. Perempuan itu memiliki wajah bulat, mata yang besar bermanik cokelat tua, hidung yang tidak terlalu mancung, dan sedikit nampak lemak di area perutnya. Delima menunduk diam, sama halnya dengan Arkha, ia hanya diam tanpa arti, memandangi Delima dari atas ke bawah dengan mata sipitnya yang tajam.

"Apa yang kamu mau dari aku?", tanya Arkha memecah keheningan, "Kenapa kamu tega mempermainkan perasaan orang yang engga pernah bikin salah sama kamu? Jangankan bikin salah, kenal kamu saja sebelumnya engga !". Tangan Arkha mengepal menahan emosi dan sakit di kepalanya. "Jawab ! Jangan cuma diam". Bentak Arkha kepada Delima. Mata Delima telah basah dengan air mata, bibirnya bergetar menahan suara tangisnya, dengan terbata ia menjawab pertanyaan Arkha, "Maa...maafkan aku mas, hiks..hik.., a..aku hanya minder, takut kamu menjauh kalau aku jujur dengan kondisi fisikku yang tidak cantik".

"Engga cuma fisikmu yang jelek, kelakuan mu juga. Bisa-bisanya membohongi perasaan orang dengan hubungan yang engga nyata sampe sejauh ini, aku datang ke sini untuk melamar Dinda, perempuan yang selama ini aku rindukan kehadirannya, setauku dia sangat cantik dan anggun, tapi nyatanya yang aku dapati sekarang ini sungguh kebalikannya, SAKIT !. Kamu dengan teganya sudah membuat aku bermimpi hidup bersama, aku datang untuk melamar, bahkan aku telah membeli cincin yang sangat indah untuk Dinda". Arkha merogoh saku tas ranselnya, mengeluarkan kotak kecil berlapis kaim beludru berwarna merah maroon, ia membuka kotaknya, isinya cincin emas putih bermata berlian kecil di tengahnya,sederhana tapi indah.
"Bodoh sekali ya aku? Dibutakan dengan cinta yang bahkan orangnya aja ternyata engga ada wujud nyatanya", Arkha lanjut berbicara.

" Hebat ya kamu, yang kamu bohongi bukan hanya aku, tapi juga ibuku, bapak dan keluargaku. Kamu datang membawa harapan, mengambil hati orang-orang yang aku sayang, setelah kamu berhasil mendapat hati dari kami lantas kamu sekarang hancurkan sendiri dengan kenyataan yang ada. Kamu harus ingat bahwa harga dari sebuah kepercayaan itu sangat mahal, kalau sudah rusak akan sangat sulit diperbaiki ".

Delima hanya mampu tertunduk lesu, saat ini hatinya sungguh seperti teraduk-aduk, sedih, bersalah, marah dengan diri sendiri, putus asa, semua jadi satu. Ia bahkan tidak mampu mendongakkan kepala untuk sekedar memandang Arkha.

Beautiful LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang