Bab 4

729 73 6
                                    

"Antarkan aku ke penginapan, kepalaku sangat sakit !", suara Arkha memecah keheningan.

Delima menurut, kemudian berjalan pelan diikuti oleh Arkha di belakangnya menuju parkiran motor yang berada di seberang stasiun tepat di samping pangkalan ojek tempat di mana Delima menunggu sedari pagi. Matanya menyapu ke arah deretan beberapa motor yang diparkir dengan rapi, langkahnya terhenti di depan sebuah motor matic yang di atas dudukannya terdapat 2 helm, iya...Delima memang sengaja membawa 2 pelindung kepala untuknya dan Arkha. Ia merogoh tas dan mengeluarkan kunci motor, dengan cepat Arkha mengambil alih kunci tersebut,
" Biar aku saja, aku tidak biasa di bonceng perempuan".

" Tapi mas Arkha sedang sakit, lebih...". Belum sempat Delima menyelesaikan kalimatnya, Arkha lebih dulu telah menyalakan mesin motor, kemudian memasang helm dan duduk di atas motor.

" Naik ! ". Perintah Arkha kepada Delima

Saat ini tubuh Delima sangat gemetar, hatinya merasa takut, malu, sedih namun juga bahagia karena bisa bertemu dengan orang yang sangat ia cintai. Ia lantas segera duduk di belakang Arkha, memilih diam, tangannya berpegangan erat di besi belakang dudukan, kemudian motor pun melaju memecah keramaian jalan yang pada saat itu tepat di jam- jam pulang kantor.

" Tolong beri tahu jalan ke penginapan terdekat !". Suara Arkha membuyarkan lamunan Delima, kepalanya mendongak, mendapati beberapa meter di depannya ada persimpangan jalan.

" Belok kanan, kemudian mas ikuti saja jalan, sampe pertigaan belok kiri ada sebuah hotel, tapi lumayan mahal. Kalau berkenan. Kalau tidak, mungkin bisa cari yang agak jauh ".

Arkha tak banyak bicara, ia diam, pandangannya fokus ke jalan, mengikuti arahan Delima. Dari kejauhan nampak bangunan tinggi menjulang berwarna putih, di puncak bangunan tersebut nampak cahaya oranye berbentuk sebuah logo yang mendominasi langit malam yang hitam. Arkha melajukan motornya melewati gapura pintu masuk pelataran hotel yang berbalut kain hitam putih bercorak khas bali yang disisi kirinya terdapat pos keamanan, motor berhenti sejenak, Arkha menyuruh Delima turun untuk lebih dulu check in, kemudian lanjut melaju ke arah basement tempat parkir kendaraan mengikuti arahan dari petugas keamanan yang sangat ramah.

Arkha menghampiri Delima yang sedang mengisi formulir check in, merogoh saku belakangnya dan mengambil kartu debit di dompet, ia menyodorkan kartu itu kepada resepsionis yang tersenyum ramah padanya, lantas resepsionis menerima kartu tersebut dan mengisyaratkan mereka untuk menunggu sebentar sambil membalikan badan ke arah loker kayu yang ada di belakangnya.

"Silahkan pak kuncinya, kamar anda di lantai 6, nomor 6015. Untuk sarapan disediakan setiap hari di jam 6 pagi sampai jam 10.30, resto hotel ada dilantai 1. Jika ada masalah pada fasilitas room anda, silahkan menghubungi resepsionis di nomor yang sudah tertempel pada telephone di room anda. Apakah ada lagi yang bisa saya bantu?, kalau tidak ada, selamat beristirahat, lift nya ada disebelah sana". Tangannya menunjuk ke lorong sebelah kanan.

" Tidak, terimakasih ".
Tangan Arkha terjulur mengambil kunci tersebut kemudian berjalan menyusuri koridor bernuansa putih dan emas, sepanjang dindingnya dihiasi beberapa lukisan yang sangat indah, lantainya pun dilapisi dengan karpet bercorak mozaik yang nampak mewah. Delima mengikuti di belakang.

Mereka memasuki elevator menuju lantai 6. Tak ada percakapan di antara mereka, tapi Delima tau Arkha jelas marah dan kecewa padanya. Setiba di lantai 6 mereka berjalan menelusuri lorong panjang, langkah mereka terhenti di depan pintu bernomor 6015 sesuai angka yang tertulis di kunci. Arkha membuka knop pintu, ruangannya sangat gelap, tangannya meraba dinding mencari saklar lampu kemudian menghidupkannya, ia berjalan masuk menghiraukan Delima di belakangnya yang nampak gugup. Ia menaruh tas ranselnya di atas kursi yang ada di sudut ruangan, mengambil baju dan berlalu menuju kamar mandi meninggalkan Delima yang terdiam mematung berdiri.
Delima menghela napas berat, sesekali tangannya mengusap air matanya yang menggenang di sudut mata kanan dan kiri. Angannya teringat ke masa dimana ia dan Arkha setiap malam menghabiskan waktu mengobrol hingga larut bahkan pernah sampai pagi, Arkha yang selalu lembut dan hangat berubah menjadi Arkha yang dingin, penuh dengan kekecewaan dan kebencian. Delima hanya bisa menangis, menyesali apa yang telah ia lakukan.

10 menit berlalu, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, seketika aroma manis strawberry yang berasal dari wangi sabun hotel menusuk penciuman Delima. Arkha keluar kamar mandi, kemeja dan celana panjangnya sudah berganti dengan celana pendek cokelat dan kaos polos berwarna putih, rambutnya masih basah. Ia berjalan ke tepi kasur, merebahkan diri, tangannya mengurut keningnya yang semakin pusing. Delima hanya melirik sekilas, timbul rasa khawatir mana kala ia melihat wajah Arkha yang semakin pucat, matanya terpejam dan bibirnya agak bergetar, refleks tangan Delima meraih remote AC di nakas, menaikkan suhunya agar Arkha tidak semakin menggigil. Ia mendekati Arkha yang berbaring di sisi kanan kasur, sambil duduk tangannya terjulur memegang dahi Arkha yang terasa sangat panas. Ia berdiri, bergegas memasuki kamar mandi, nengambil handuk wajah, membasahinya dengan air di wastafel, kemudian menggulungnya kecil, berlari menuju Arkha. Ditempelkannya gulungan tersebut ke dahi Arkha, hatinya terus berdo'a memohon pada Tuhan agar Arkha baik-baik saja, dan terus ber ulang seperti itu, sudah lebih dari 10 kali Delima bolak-balik kamar mandi untuk membasahi handuk tersebut yang kini terasa hangat mengikuti suhu badan Arkha. Sesekali Delima juga mengusap peluh yang membasahi tubuh Arkha. Pikirannya sangat kalut, sampai ia tidak menyadari kalau mata Arkha dari tadi sudah terbuka dan terus memandanginya. Matanya nampak sayu, bibirnya bergumam pelan.

" Dinda...."
" Dinda...jangan tinggalin aku, aku mohon !".

Mata Arkha mendadak berlinang air mata, ia terus menatap kosong ke dalam mata Delima, bibirnya berulangkali memanggil nama "Dinda". Tangan kanannya terjulur memegang pipi Delima yang basah karena air mata. Delima sadar bahwa yang ada dalam pikiran Arkha saat ini adalah sosok "Dinda" yang ia ciptakan bukan dirinya secara nyata. Demam tinggi yang dialami Arkha membuat dia berhalusinasi akan sosok yang begitu ia cintai.

" Aku mencintai kamu Dinda, kamu sempurna, teman-temanku pasti merasa iri kalau aku punya istri secantik kamu ".

Arkha bangkit duduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Delima, nafasnya terdengar tidak beraturan, celakanya Delima terbawa suasana ketika Arkha mendaratkan bibirnya yang hangat ke bibir Delima, padahal ia sadar betul bahwa bukan ia yang Arkha harapkan saat itu, Arkha sedang berhalusinasi, mengira dirinya adalah "Dinda" kekasihnya yang sempurna. Dan pada akhirnya terjadilah hal yang tidak seharusnya mereka lakukan di malam itu.

Beautiful LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang