Benci dan Kecewa

10 3 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Bagaimana keadaan saya, dok?" Tanyaku setelah pemeriksaan.

"Bagian perutmu masih sensitif karena benturan." Jawab dokter tersebut sambil menunjukkan layar x-ray.

"Kenapa kamu bisa kembali seperti ini lagi?" Tanya nya heran.

Aku tersenyum canggung, "Ah.. itu.. aku tidak sengaja bertengkar dengan seseorang."

"Lagi?"

"Aniya. Bukan orang yang sama seperti kemarin."

Dokter itu menggeleng pelan.

"Lain kali kamu harus menjaga perutmu. Untungnya, tidak ada yang patah ataupun luka di bagian dalam. Hanya saja ada sedikit memar dibagian luar yang membuat kamu mual." Jelasnya.

Aku menghela nafas lega. "Ah.. syukurlah."

"Maaf, apa kamu ada tekanan pikiran? Atau trauma di masa lalu?" Tanya dokter muda itu tiba-tiba.

"Ne?"

"Di muntahan darahmu tadi saya melihat ada campuran obat penenang. Kalau kamu memang menggunakannya, tolong berhentikan dulu untuk kesembuhan perutmu."

Aku sedikit gelagapan untuk menjawab pertanyaan nya.

"Ah.. ne. Hari ini aku ada ulangan jadi aku meminumnya untuk pertama kali." Jawabku bohong.

"Jangan pernah mencoba lagi karena obat tersebut tidak baik untuk tubuhmu. Saran saya, jika kamu gugup kamu bisa menggantinya dengan teh hijau atau cokelat hitam."

"Ne. Kamsahamnida." Ucapku berterimakasih dengan senyum simpul.

"Perbaiki jam tidur juga untuk mempercepat pemulihan. Jangan terlalu sering begadang." Ucapnya manis.

Aku hanya tersenyum canggung. Bagaimana aku bisa memperbaiki jam tidurku jika aku saja menderita insomnia.

"Ne. Kalau begitu saya permisi dulu." Pamitku dengan sopan.

Aku berjalan keluar ruangan dengan berbagai pikiran yang memenuhi otak ku. Terutama, bagaimana bisa aku melepaskan obat penenangku? Tanpa obat tersebut aku tidak bisa tidur dan menjalani pelajaran kampus dengan baik.

"Bianca, gimana?" Tanya Yongjin yang daritadi sudah menungguku diluar ruangan.

"It's okay. I'm fine. Don't worry." Jawabku sambil tersenyum.

No, dude. I'm not fine! I worry about myself.

Mataku berkaca-kaca tanpa alasan. Sekarang aku tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita dan kekhawatiranku kepada siapapun.

Orangtuaku? Aku berharap mereka mengetahui kondisiku yang selalu baik-baik saja. Aku tidak mau mereka merasa terbebani jika aku menceritakan hal ini.

Someone You HatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang