Selamat membaca!
"Van!"
"Vanya!"
Vanya tersentak. "Ha?"
"Lo bengong lagi?!" Selvi menggelengkan kepala pelan. "Atau kuping lo emang budek gue panggilin dari tadi gak nyaut?"
"Ya maap. Kenapa?"
"Kenapa lo bilang?! Ayo ganti baju! Jam olahraga udah abis."
"Oh, emang iya?" Vanya bertanya dengan polos sembari melihat ke sekitar yang ternyata sudah sepi. Padahal beberapa saat yang lalu siswa laki-laki masih bermain basket.
"Astaga! Temen siapa sih ini? Lo kayak orang hilang duduk sendirian di pinggir lapangan gini," ucap Selvi frustasi. Selvi menarik tangan Vanya agar berdiri.
Bayangkan saja, di lapangan sekolah yang berukuran sangat-sangat luas, Vanya duduk sendirian melamun, saat Selvi pergi untuk membeli minuman. Serta hanya beberapa orang saja yang lewat karena masih jam pelajaran. Vanya menepuk trainingnya pelan, menghilangkan debu yang sedikit menempel. Ia lalu melepas ikatan rambut, sehingga rambut sepundaknya tergerai. Vanya Menerima air mineral dingin dari Selvi, dan mereka berdua meninggalkan lapangan.
"Vanya, kok gue baru tau lo akrab sama Dinda?" tanya Selvi memandang Vanya yang sedang mencuci mukanya di wastafel toilet.
"Dari lama kali," jawab Vanya, mengelap wajahnya dengan tisu.
"Kok bisa? Gue kok gak tau? Jadi lo gak anggep gue temen lagi karna lo udah sama Dinda? Gitu? Jahat lo Van."
Vanya melempar tisu bekasnya ke arah Selvi. "Drama banget sih hidup lo?! Lagian Dinda juga baik."
Selvi mengangguk. "Kalo itu mah gak usah ditanya. Apa sih kira-kira kurangnya Dinda. Cocok banget lagi kalau sama Arga. Gue gemes liat mereka berdua."
Vanya mengerjapkan matanya dan melihat pantulan dirinya di cermin dengan seksama. "Lo tau gue deket sama Dinda darimana? Kayaknya gue gak pernah ngobrol sama dia selama di sekolah."
"Orangnya langsung. Tadi ketemu pas gue beli minum. Dinda nanyain lo, kira-kira udah baikan belom lo sama si Arga." jawab Selvi. Ia lalu memperhatikan Vanya dengan raut aneh. Vanya sedang menyisir rambut pendeknya rapi, dan memasang dasi dengan teliti. "Lo kesambet apa, Van? Kok bisa masang dasi? Biasanya lo iket aja asal. Terus rapi lagi. Fix bukan lo banget."
Vanya terdiam, dan memperhatikan dirinya di cermin sekali lagi. Ini memang bukan seperti dirinya. Kemejanya yang terkancing sampai atas, dengan dasi yang terpasang sempurna. Rambutnya tak lagi acak-acakan. Vanya tersenyum tipis sebelum menjawab. "Terserah gue lah."
Tiba-tiba, Sania dan dayangnya memasuki kamar mandi. Vanya merasakan bahunya di tabrak agak keras pun melotot. "Lo! Lo lagi, lo lagi?!" ucap Vanya dengan nada ngegas. Bagaimana ia tak emosi jika bahunya sekarang terasa sampai nyut-nyut an. Vanya menatap Sania muak. Sedangkan Sania hanya memandang remeh.
"Ups, sorry sengaja," ucap Sania dengan kata-kata mengesalkan. "Udah tobat? Gak jadi cabe-cabean lagi?" tanya Sania dengan angkuh memperhatikan penampilan Vanya.
Vanya membuang napasnya, tak habis pikir. "Di depan lo ada cermin lebar. Mending lo ngaca."
Selvi berdiri di pojok diam-diam, siap dengan ponsel di tangannya yang menampilkan kontak Arga. Ia akan segera menekan dial saat kondisi sudah tak terkendali. Untuk sementara, Ia tak mau ikut campur bila ingin selamat.
"Udah. Dan gue tau gue cantik," jawab Sania percaya diri yang overload. Selvi memasang ekspresi ingin muntah. "Daripada lo benalu."
"Maksud lo? Gak salah, lo ngomong itu ke gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Way You Are
Teen FictionArga Leo Raskal. Tetangga samping rumah yang kerjaannya merecoki hidup Vanya itu tampak sempurnya. Ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur menjulukinya, "Mas Arga anaknya bu dokter Dyah yang cakep, sopan, ramah, baik hati dan rajin menabung." I...