Selamat membaca!
Arga memakan sarapannya dengan tak semangat. Ia menatap tanpa minat pada telur mata sapi yang telah dingin karena terus dibiarkan.
"Lagi gak nafsu makan?" tanya sebuah suara, menyodorkan satu tablet vitamin dan segelas air.
Arga menggeleng pelan lalu meletakkan sendoknya. Ia segera meminum vitaminnya.
"Kamu beli vitamin lagi? Bunda tadi liat ada yang masih utuh. Tumben gak nunggu disiapin."
Arga menatap sang Bunda. "Vanya yang beli, Bun."
Bunda mengangguk mengerti. "Oh iya, kondisi Vanya gimana? Udah sembuh kan dia?" tanya Bunda. Arga mengernyitkan alisnya menunggu Bunda melanjutkan pernyataan. "Bunda ketemu Vira kemarin. Katanya magh kronis Vanya kambuh."
Pemuda itu diam dengan tatapan tak mengetahui apapun. Ia kemana saja? Perasaan kemarin lusa Vanya masih sehat wal afiat.
"Jangan-jangan kamu gak tau lagi? Berantem lagi pasti. Malahan yang sering Bunda lihat dateng ke rumah Vanya setiap hari itu Sean, anak temennya tante Vira."
"Enggak berantem, Bun-"
Seketika sesuatu melintas di kepalanya. Sean? Magh kronis? UGD? Dan seseorang yang Arga lihat sekilas mirip Vanya? Ternyata semua itu berhubungan. Vanya berada di rumah sakit yang sama dimana dia bersama Dinda. Di hari Arga terpaksa meninggalkan Vanya demi Dinda yang ibunya sedang sakit.
Arga menatap Bunda dengan ekspresi yang susah dijelaskan. Entah itu sedih, khawatir, rasa bersalah, yang pasti Bunda paham itu.
"Kalian bukan anak kecil lagi yang dikit-dikit marahan. Coba kamu samperin Vanya. Omongin baik-baik. Kalo emang kamu yang salah, jangan gengsi minta maaf."
Arga hanya menunduk mendengar omelan Bunda. Disini jelas Arga yang salah. Arga tak bermaksud meninggalkan Vanya sendiri, karena ia sudah berkali-kali menghubungi gadis itu namun ponselnya tak aktif. Tapi parahnya Arga tak tau sama sekali jika Vanya sakit.
"Udah dua hari Arga gak ketemu Vanya," ucap Arga.
Bunda menghela napas dan menyerahkan dua kotak bekal berisi nasi goreng. "Yaudah ini, dimakan di sekolah nanti. Selama Bunda gak ada pasti kamu gak makan teratur kan. Awas kalo sampe sakit." Arga menerimanya dan memasukkan ke dalam tas.
"Yang satu lagi kamu kasih Vanya. Itung-itung sebagai permintaan maaf. Bunda tu gemes sama kalian. Gengsinya sama-sama selangit." Arga tersenyum kecil dan segera bangkit sebelum ocehan sang Bunda makin panjang.
Arga memegang stang motornya dengan gugup. Tak biasanya Arga se gugup ini. Ingat, ia cukup datang ke depan rumah Vanya dengan motor, karena Vanya lebih suka menaiki motor daripada mobil saat pergi ke sekolah. Kedua, Arga hanya perlu membawa Vanya berangkat bersamanya sambil menyerahkan bekal dari Bunda, lalu semua beres.
Arga menertawai dirinya dalam hati. Mengapa ia sangat khawatir? Kalaupun tak berhasil dan Vanya tetap marah, puding mangga adalah hal yang bagus untuk menyogok.
"Bunda! Arga berangkat sekarang!" teriaknya pada sang Bunda yang akan menyiram tanaman.
"Hati-hati. Jangan lupa pulang! Kalo sampe pulang malem, Bunda kunci pintu rumah biar sekalian kamu tidur di ruang OSIS selamanya," ancam Bunda membuat Arga tertawa.
Saat motornya keluar gerbang rumah, Arga berhenti. Mobil putih berhenti di depan rumah Vanya mendahului Arga. Tatapannya menajam saat melihat Vanya keluar rumah dengan langkah ringan. Arga langsung melajukan motornya dan berhenti tepat di depan mobil itu.
Vanya menatapnya heran. "Ngapain lo?!"
Arga mendengus. "Buruan naik," perintahnya. Tak mempedulikan tatapan meremehkan Vanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Way You Are
Novela JuvenilArga Leo Raskal. Tetangga samping rumah yang kerjaannya merecoki hidup Vanya itu tampak sempurnya. Ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur menjulukinya, "Mas Arga anaknya bu dokter Dyah yang cakep, sopan, ramah, baik hati dan rajin menabung." I...