Selamat membaca!
🌤🌤🌤
"Oh ya, lo sama Dinda gimana?"
Deg
Pertanyaan yang membuat Arga hampir tersedak. "Kenapa lo? Ada buat salah?" selidik Vanya.
"Ya lo nanya tiba-tiba."
Vanya menerima suapan kedua Arga. "Seminggu lalu Dinda curhat ke gue kalau lo sibuk, dan dia bilang gak mau ganggu lo." ucap Vanya memberitahu. "Udah ketemu kan kalian?"
Arga tersenyum kecut dan menggeleng. "Belom. Besok deh gue ajak dia jalan mumpung weekend."
Vanya menatap Arga tanpa ekspresi. Mengambil segelas air milik Arga dan meminumnya. "Kalau lo gak serius, mending stop deh. Ini yang terakhir. Gue kasian sama Dinda," ucap Vanya membuat Arga menoleh.
"Maksud lo?" protes Arga.
"Lo tu kesannya kayak PHP Ar. Berapa bulan lo pdkt ke Dinda? Dia keburu capek nunggu lo. Jangan sampe Dinda bernasib sama kayak Sella," ujar Vanya serius. "Lo nunggu apalagi sih? Kalian juga sama-sama suka."
"Nya, Dinda juga pasti ngerti."
Vanya mendengus. "Singkirin wortelnya," ucapnya kesal. Ia baru membuka mulutnya lagi setelah tak ada wortel di sendok yang dipegang Arga. Setelah selesai mengunyah, baru Vanya berbicara. "Lo kira Dinda se pengertian itu? Dia juga punya batas sabar karena lo gantungin dia mulu. Lagian banyak yang suka sama Dinda. Dia mah tinggal pilih."
Arga menghela napas berat. "Sebenernya, gue takut," ucap Arga pelan.
Seorang Arga yang sempurna juga punya ketakutan. Dan ia hanya bisa bilang ketakutannya pada Vanya seorang. Vanya tau jika Arga pernah mengalami patah hati yang parah sebelumnya.
Vanya menatap Arga jengah. "Ar! Berapa kali gue bilang, move on. Dinda jauh lebih baik. Si cabe ijo itu gak ada apa-apanya. Lo berarti gak waras kalau masih mikirin cabe-cabean itu."
"Iya iya gue paham. Besok gue ketemu Dinda. Lo bantuin dong gimana caranya nembak dia."
Vanya menatap manik mata Arga dan berdehem pelan. Entah kenapa ia merasa ada yang janggal di dirinya. Sepertinya Vanya sedikit menyesal membahas topik ini.
Saat Arga akan menyuapinya lagi, Vanya tersadar. "Kok jadinya gue yang makan? Lo daritadi nyuapin gue terus," protes Vanya.
Arga menunduk dengan bahu melemas. "Udah gak selera gue. Mending lo aja yang abisin."
"Gak, gue gak mau. Gue bilang Ibu kalo masakannya gak enak makanya gak lo makan," ucap Vanya dengan nada mengancam.
Arga melengkungkan bibirnya ke bawah, menatap Vanya kesal. "Lo tuh bener-bener ya. Bisanya ngancem terus. Paham gak sih gue lagi galau."
Vanya memutar bola matanya mendengar Arga mengeluh. Hanya dengan Vanya Arga bisa mengeluh, merengek dengan ekspresi itu. "Makanya. Cemen banget jadi cowok masalah gitu aja galau. Giliran di depan Dinda aja sok gentle," cibir Vanya, tangannya meraih piring yang dipegang Arga lalu gantian menyuapi Arga.
Tapi yang namanya Vanya memang tak ada sisi lembutnya. Arga melotot dengan mulut penuh karena Vanya menyuapinya dua kali tanpa henti. Vanya menahan tawa melihat ekspresi Arga, dan melemparkan kotak tisu. Ingat, lempar. Untung Arga sabar.
Setelah isi piring habis, Vanya ke dapur untuk menyimpannya. Sedangkan Arga bersiap ingin bermain game.
"Ngapain lo?" tanya Vanya yang baru kembali dari dapur.
"Nyangkul." Arga menjawab tanpa menoleh. Tangannya sibuk pada game dan matanya fokus pada monitor. Vanya mendelik dan menendang pelan kaki Arga yang selonjoran di karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Way You Are
Novela JuvenilArga Leo Raskal. Tetangga samping rumah yang kerjaannya merecoki hidup Vanya itu tampak sempurnya. Ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur menjulukinya, "Mas Arga anaknya bu dokter Dyah yang cakep, sopan, ramah, baik hati dan rajin menabung." I...