Selamat membaca!
"Van tolongin, Arga dihajar komplotan yang nyerang Jovi"
Gibran Immanuel. Berandal yang kerjaannya tawuran dan balapan liar itu keluar dari taksi dengan memapah tubuh Arga yang tak berdaya.
Vanya kenal Gibran. Karena beberapa kali mereka melanggar peraturan sekolah dan disidang di waktu yang sama.
Vanya berjalan cepat setelah membuang selang untuk menyiram bunga sembarangan. Vanya tampak sangat terkejut dan menatap Gibran sangsi, meminta penjelasan.
"Gibran!! Bukan lo yang gebukin Arga kan?!"
"Gila aja. Gue ketemu Arga di gang sepi jauh dari sekolahan lagi dikeroyok."
Vanya segera membantu Gibran untuk memapah Arga masuk ke dalam rumah. "Dudukin di sofa aja," ucap Vanya.
"Van, lo bisa ngurus Arga sendiri kan? Gue harus nyusul anak buah gue yang lagi nyari komplotan itu," tanya Gibran.
Vanya mengangguk. "Iya gampang. Makasih ya, Gib. Hati-hati." Setelah itu Gibran pergi.
Vanya berusaha tenang duduk di samping Arga yang babak belur. Siapa sekiranya yang boleh menghajar Arga di dunia ini selain Vanya? Gadis itu menyingkap rambut Arga melihat memar di dahi dengan lebih jelas.
"Ar, Arga. Lo denger suara gue kan?"
"Hmm." Arga bergumam dengan mata setengah terbuka.
Dengan cekatan Vanya melepas almamater, dasi, sepatu, dan juga jam tangan mahal milik Arga yang retak. Kemudian menuju dapur untuk mengambil sebaskom air dan handuk kecil.
Mula-mula Vanya membersihkan darah yang keluar dari sudut bibir, dahi Arga dan juga goresan di pipi.
"Lo kenapa sih? Kenapa bisa babak belur begini? Lo punya masalah sama mereka?"
"Dasar lemah. Kenapa lo gak ngelawan ha?! Lo mau mati?!" ucap Vanya dengan suara bergetar.
"Siapa sih mereka? Biar gue kasih pelajaran. Yang boleh gebukin lo itu cuman gue. Gak ada yang lain."
Walaupun dengan mata yang tak bisa terbuka sepenuhnya, Arga dapat melihat air mata Vanya berlinang dan buru-buru dihapus oleh gadis itu.
"Cengeng," ucap Arga.
"Mending lo diem aja. Semisal gak ada Gibran, nasib lo bakal sama kayak Jovi. Geger otak, ditusuk, lo mau kayak gitu? Kok bisa dikeroyok sih?!" kicau Vanya lanjut mengelap wajah tampan Arga yang sekarang tak tampan lagi.
"Shhh... Gue gak papa." Arga susah payah berbicara dengan kondisi sudut bibirnya yang sobek. Vanya sangat berisik
"Gak papa gimana ha?! Babak belur gini lo bilang gak papa?!" ucap Vanya kesal mencubit perut Arga tak terlalu kencang.
Di saat seperti ini pun Vanya tetap melakukan kekerasan. Namun pemuda itu mengaduh kesakitan membuat Vanya curiga. Jantungnya berdebar kencang, entah kenapa takut terjadi sesuatu yang lebih parah pada pemuda itu. Vanya mengingat luka tusuk yang dimiliki Jovi.
"A-Ar? Kenapa ha?"
Vanya melepas kemeja putih Arga. Ia berusaha tak salah fokus pada perut kotak-kotak pemuda itu.
"Perut lo kena gebuk juga?" tanya Vanya memegang perut Arga yang membiru.
Arga menggeleng pelan. "Di tendang bukan di gebuk."
Vanya mengabaikan lelucon Arga. "Coba balik badan." Vanya menutup mulutnya terkejut dengan yang ia lihat. Kondisi punggung Arga juga sama.
"Kenapa hm?" Arga memegang tangan Vanya yang sedari tadi terdiam menatapnya khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Way You Are
Novela JuvenilArga Leo Raskal. Tetangga samping rumah yang kerjaannya merecoki hidup Vanya itu tampak sempurnya. Ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur menjulukinya, "Mas Arga anaknya bu dokter Dyah yang cakep, sopan, ramah, baik hati dan rajin menabung." I...