Selamat Membaca!☀
🌤🌤🌤
Arga dan Dinda berada di gramedia yang ada di salah satu pusat perbelanjaan. Sebenarnya Arga hanya menemani Dinda memilih buku untuk referensi tugas mereka. "Masih ada yang belum kebeli, Din?" tanya Arga dengan setumpuk buku pilihan Dinda.
"Udah semua. Bentar lagi ya gue mau nyari novel dulu," jawab Dinda. Arga hanya mengiyakan dan mengikuti lagi kemana Dinda berjalan.
"Habis ini mau makan dulu sebelum pulang?" tanya Arga. Hitung-hitung mereka bisa bersama sedikit lebih lama. Arga sangat pintar melihat peluang.
Dinda terdiam terlihat berpikir. "Sebenernya gue belum laper sih. Tapi gak papa deh asal ditraktir." Arga mana tahan melihat senyum Dinda dengan mata yang berbinar seperti itu.
Arga tersenyum tipis. Mengambil alih dua novel pilihan Dinda dan menarik pipi tembam Dinda dengan pelan. "Ayo. Gue traktir sepuas lo. Biar makin bulet nih pipi."
"Enak aja. Ikhlas gak sih mau bayarin?" kesal Dinda tak terima pipinya dibilang bulat. Arga terkekeh dan berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaan mereka.
Tetapi nada panggilan dari ponsel di saku cukup mengagetkannya.
"Hallo, Bunda?"
Dinda menatap penasaran pada raut wajah Arga selanjutnya saat telepon tersambung dengan bundanya.
"Ha? Oke Arga secepatnya ke sana ya Bun." Raut Arga diliputi kekhawatiran. Lalu memandang Dinda dengan rasa bersalah.
"Ada apa?" tanya Dinda yang begitu penasaran.
"Sorry. Gue bener-bener minta maaf. Gue traktir lain kali ya? Ada hal darurat," jawab Arga sembari menggenggam tangan kanan Dinda lembut.
Dinda terdiam sejenak lalu tersenyum tipis. "Gak apa-apa, Ar. Mending lo sekarang cepetan pergi. Bunda lo kan tadi yang nelpon?" Arga tersenyum lega mendengar Dinda yang begitu pengertian.
Arga melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Tentu saja setelah memesankan Dinda taksi karena dia tak bisa mengantar. Walau tetap saja ia masih khawatir membiarkan Dinda pulang sendiri.
Mobilnya berhenti di depan rumah Vanya. Dengan segera, Arga berlari masuk ke dalam rumah karena pintunya yang sedikit terbuka. Selang beberapa saat, Arga keluar dengan tergesa lagi, tapi dengan Vanya berada di dekapannya yang sudah sangat lemas tak berdaya.
Bunda nya mengikuti di belakang dengan wajah tak kalah khawatir. Jantung Arga berdegup kencang merasakan suhu tubuh Vanya yang sangat panas. Setelah itu, mobil Arga kembali melesat cepat.
🌤🌤🌤
Ditatapnya kosong langit-langit kamar inap rumah sakit yang ditempatinya. Vanya terbaring lemas sembari berpikir, kapan terakhir kali ia masuk rumah sakit? Sepertinya sudah sangat lama.
Vanya melirik ibunya yang sedang membereskan sisa muntahannya tadi. Sudah beberapa kali Vanya terus mengeluarkan isi perutnya. Vira lalu duduk di samping anaknya dan membantu Vanya duduk. Mengelus rambut Vanya pelan lalu mengambil sisir di nakas.
Vanya hanya terdiam membiarkan sang ibu menyisir rambutnya lembut. Dan entah kenapa matanya memanas saat Vira menatapnya penuh kasih sayang. Apakah dirinya pantas mendapat kasih sayang sebesar ini? Sesuatu yang pertama kali bagi Vanya.
"Sekarang makan ya," pinta Vira lembut. Vanya menggeleng. "Dikit aja. Biar perutnya gak kosong," bujuknya lagi.
"Mual," ucap Vanya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just The Way You Are
Teen FictionArga Leo Raskal. Tetangga samping rumah yang kerjaannya merecoki hidup Vanya itu tampak sempurnya. Ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur menjulukinya, "Mas Arga anaknya bu dokter Dyah yang cakep, sopan, ramah, baik hati dan rajin menabung." I...