Setelah cukup puas merasakan sakit hati karena mengingat hari itu lagi, Margo pun memutuskan untuk pulang saja. Lagipula, mungkin Dilma juga tak ingin dirinya terlalu lama ada di hadapannya.
"A-aku pulang dulu." Margo berbalik ke arah jalanan karena kebetulan angkot yg ia tunggu telah tiba. Tapi lengannya langsung ditahan oleh gadis itu.
"Tunggu Kak."
Terpaksa, Margo membiarkan angkot yg telah ia berhentikan tadi untuk kembali berjalan. Ia menatap Dilma.
"A-aku mau,,, minta maaf."
Margo tersenyum tipis. Rasanya kalimat yg baru saja ia dengar itu tak ada artinya. Semuanya akan tetap sama, tak mungkin berubah seperti dulu lagi. "Buat apa?"
"Aku kan udah bikin Kakak sakit hati waktu itu... Aku minta maaf..." Dilma menunduk.
"Gak perlu. Kamu gak salah. Lagian yg kamu bilang waktu itu adalah fakta."
Dilma menegakkan wajahnya, menatap Margo dengan tatapan sendu. "Ada yg mau aku bilang ke Kakak."
Margo menghempas pelan tangan Dilma yg sedari tadi masih memegangnya. "Udah ya... Aku gak mau ganggu hidup kamu lagi. Kamu juga pasti udah bahagia sama pilihan kamu itu. Aku gak mau ngerusak kebahagiaan kamu. Lagian kamu sendiri yg bilang gak mau ketemu aku lagi. Sekarang aku mau pulang. Semoga kamu tetep bahagia ya."
Lidah Dilma terasa kelu. Ia benar-benar merasa bersalah saat ini. Rasanya, air matanya itu berdesakan ingin keluar. Tapi bagaimanapun, ia coba untuk menahannya. Ia tak mau membuat Margo merasa bersalah karena melihatnya menangis. Seperti dulu, Margo pasti akan kalang kabut jika melihat Dilma tiba-tiba saja menangis. Margo akan sangat merasa bersalah jika ada satu butir air mata yg keluar dari mata Dilma walaupun itu bukan salahnya.
Margo tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar menaiki angkot lalu pulang, meninggalkan Dilma yg kini mulai terisak.
"Nih Kak!" Halen datang dengan minuman di tangannya. "Antriannya panjang gila! Sore sore gini supermarketnya mendadak rame!" Gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat Margo berdiri tadi. "Loh? Kak Margo mana???" Ia kembali menatap sang Kakak.
"Hiks..."
"Eh??? Kakak nangis??? Kenapa???"
"Kita pulang." Dilma menghapus air matanya lalu berjalan menuju mobilnya.
"Eh??? Tunggu Kak!!! Kakak kenapa sih??? Trus kenapa Kak Margo pulang duluan???" Halen berlari menyusul Dilma yg sudah masuk ke dalam mobil.
Dilma yg tak menghiraukan itu, hanya menyetir tanpa menoleh sedikitpun pada adiknya.
"Kak! Kenapa???"
"..."
"Dari awal kalian ketemu aku udah curiga sih kalian saling kenal? Habis ngomongin apa kalian sampe Kakak nangis?"
Dilma akhirnya menoleh pada Halen. Matanya masih berlinang dengan banyak air. "Gak perlu ikut campur."
Halen berdecak kesal. "Gak jelas!" Ia pun melihat ke jalanan di depannya. "KAKK!!!! AWASSS!!!" Mata Halen membulat saat melihat pemandangan di depannya itu.
Segera saja Dilma mengalihkan pandangannya ke depan. "AAAAAA!!!!!"
***
"Astaga!" Margo terkejut melihat notif di layar ponselnya. Sofia sedari tadi mengiriminya pesan. Ada banyak misscalled juga di sana.
Segera saja Margo membuka pesan itu. Pesan pertama di mulai pada jam di mana dirinya dan Halen tengah berdiri di depan supermarket.
Sofia
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu
Teen Fiction(Completed) Entahlah, semuanya seperti terulang kembali. Cara kita bertemu, cara bicaranya, sifatnya, dan segala tentang dia. Walaupun banyak kemiripan tentang kisahku dengan orang di masalalu, kisahku bersamanya tetaplah memliki kesan yang berbeda...