Margo tersenyum tipis lalu segera menjauhkan tangannya dari jabatan itu. Ia tak ingin terlalu lama merasakan tangan itu. Tangan yang sudah sangat lama tidak ia genggam lagi. Ia tak ingin ingatannya semakin mengingat masa lalu itu. Gadis itu berdehem "Maaf, belanjaannya."
Tangan Dilma yang masih terulur, lantas langsung ditarik. Ia tersenyum canggung, lalu meletakkan keranjang belanjaan di atas meja.
Sofia yang melihat mereka sudah saling kenal, kini tersenyum senang. "Gitu dong! Hahaha! Oh iya Kak Dilma, Kakak emang suka belanja di sini ya? Soalnya kebetulan banget kita ketemu di sini. Ini kan hari libur, aku gak sekolah, Kakak juga gak ke sekolah buat jemput Halen."
Entah harus menjawab apa Dilma. Ia datang ke sini bukan karena sering atau kebetulan saja mampir, melainkan ia memang berniat untuk datang ke sini. Tadi setelah sarapan, Dilma berpikir untuk mengunjungi Margo dan sekedar menanyakan kabar. Dia juga ingin membiasakan hidup bahagia tanpa adanya Margo atau bahkan saat dirinya harus bertemu Margo dengan status teman. Tapi sekarang, bukan hal itu yang harus ia terima. Melainkan dirinya yang harus berpura-pura tak saling kenal dengan Margo.
Seharusnya dari awal, Dilma tak perlu ke sini. Kalaupun tak ada Sofia yang membuatnya harus melakukan kebohongan ini, pasti Margo juga masih marah dan tak akan mau menerima dirinya sebagai teman. Ia terlalu merindukan Margo. Ia sangat rindu akan sosok Margo yang ia kenal dulu.
"U-um, aku kebetulan aja lewat jalan ini, jadi mampir dulu ke sini."
Sofia manggut-manggut.
"Totalnya 21 ribu." Ucap Margo.
Dilma pun mengeluarkan uang, lalu menerima kantong kresek yang diberikan Margo. "Sofia, aku pulang dulu ya." Ucapnya sembari menoleh pada Sofia.
"Oh iya, Kak. Hati-hati ya!"
Dilma mengangguk. Lalu pandangannya teralih pada Margo. "K-kak, aku pulang dulu."
Tatapan Dilma nampak sedih, Margo bisa melihat ada sedikit linangan air mata di sana.
Lantas, Dilma pun melangkah pergi meninggalkan tempat ini.
Margo terduduk. Ia menghela nafas berat.
"Kak, aku mau jajan ya! Tunggu bentar." Sofia beranjak dari kursinya lalu pergi ke lemari penyimpanan es krim.
Sementara di tempatnya, Margo menunduk. Ia menatap telapak tangannya, telapak yang tadi sempat bersentuhan dengan orang yang dulu ia sayangi lalu berubah menjadi orang yang ia benci, dan kini berubah lagi menjadi orang yang ia kasihani. Ia tak tega harus melakukan itu pada Dilma. Terlebih, gadis itu dulu sudah berkorban untuknya. Ingin rasanya Margo meminta maaf, tapi sepertinya waktu belum mengizinkan.
"Mar..."
Margo menoleh. "Hem?"
"Lo serius gak kenal sama cewek tadi?"
Ia menghembuskan nafas kasar. "Dia Kakaknya Halen."
Wina tercengang. Sedari tadi ia menyimak, pantas saja seperti ada yang aneh antara Margo dan Dilma. Kini ia sudah dapat jawabannya. "I-itu mantan lo?" Tanyanya lirih, takut Sofia bisa mendengar dari arah sana.
Margo mengangguk. "Gue jadi ngerasa makin serba salah. Belom selesai kebohongan kemaren diungkap, sekarang gue harus bikin kebohongan baru. Gue juga gak tega liat Dilma. Mungkin dia masih nganggep kalo gue benci sama dia. Gue pengen minta maaf, tapi gue juga bingung."
Wina menggaruk kepalanya. "Terus gimana dong?"
Margo hanya mengendikkan bahu.
Keduanya langsung bersikap biasa lagi saat Sofia telah kembali. "Nih, Kak." Ia memberikan jajanannya itu pada Margo untuk dihitung. Dan selanjutnya, ia pun memakannya. "Yummy! Es krimnya enak! Cobain deh, Kak!" Gadis itu menyodorkan es krimnya ke arah Margo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu
Teen Fiction(Completed) Entahlah, semuanya seperti terulang kembali. Cara kita bertemu, cara bicaranya, sifatnya, dan segala tentang dia. Walaupun banyak kemiripan tentang kisahku dengan orang di masalalu, kisahku bersamanya tetaplah memliki kesan yang berbeda...