36. Bersamamu

4.5K 268 122
                                    

Pria itu segera meluncur ke kediaman Margo setelah dirinya dengan sengaja menguping pembicaraan Sofia dan Ibunya, ketika gadis itu tertangkap netranya saat baru saja sampai rumah.

Margo menyenderkan tubuhnya di palang pintu sembari menghela nafas. "Ngapain ke sini?"

"Ingin memberitahu padamu secara langsung, bahwa kau itu sudah kalah!"

Gadis itu berkedip lambat, seolah malas dengan situasi ini.

"Sebelum kau benar-benar dinyatakan kalah, lebih baik kau pergi dari kota ini sekarang juga. Kau tidak mau kan, melihat orang yang kau cinta itu, berhasil menjadi milikku?"

Margo seharusnya sudah mengalah sejak kemarin-kemarin. Tapi, karena kedatangan kekasihnya itu, menyusul dirinya ke desa, ia jadi semangat kembali untuk mempertahankan cinta dan hubungannya itu. Namun, kenyataan adalah kenyataan. Pria ini sudah memberitahu dan memperingatinya berkali-kali, bahwa dirinya ini tak akan mendapatkan apapun. Sudah jelas Ibra lebih dikenal oleh keluarga Sofia, dan yang lebih penting, Ibra adalah seorang pria. Ia harusnya tetap mengalah dan membiarkan Sofia bersama dengan orang pilihan orang tuanya, bukan malah memaksa terus bersama dirinya.

Kini, rasa bersalah kembali muncul. Ia yang sudah membuat Sofia seperti ini. Walaupun dari awal, Sofia yang menyukainya, tapi jika mereka tidak pernah bertemu, dan Margo tetap mengabaikan Sofia, mungkin hubungan ini tidak akan terbangun, dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Mejalani hidup sebagai Margo yang pendiam, cuek, dan terkesan tak semangat hidup. Tapi, itu lebih baik jika dirinya harus dihadapkan dengan persoalan seperti ini. Lagi-lagi, masalah utamanya adalah 'cinta'.

"Kalo lo emang beneran cinta dan pengen milikin dia, silahkan. Tapi jangan pernah lo sakitin dia. Gue emang gak berhak lagi atas kehidupan dia, tapi gue gak bakal tinggal diem kalo semisal lo macem-macem sama dia. Sekarang, mending lo jangan bahas masalah ginian dulu sama dia. Biarin dia fokus sama sekolahnya. Lo juga belum berhak atas kehidupan dia sekarang."

Ibra tertawa kecil. "Ini yang aku tunggu. Baguslah kau sadar diri." Tangan pria itu menepuk pundak Margo. "Kau sudah mengatakannya, itu artinya kau jangan pernah mendekati dia lagi mulai saat ini."

Margo menggerakkan pundaknya agar tangan pria itu menyingkir dari sana. Sejujurnya, ia tidak mau mengalah seperti ini. Tapi apa boleh buat? Ia juga tidak bisa melawan kehendak dan kemauan orang tua Sofia sebagai orang yang paling berhak atas kehidupan anak gadisnya itu. Ia tidak mau dianggap telah merusak atau bahkan menyesatkan Sofia. Ia ingin Sofia bisa hidup bahagia walaupun itu tidak sesuai keinginannya. Ia tahu, mungkin saja Sofia tidak akan mau jika hubungan ini berakhir. Tapi bagaimanapun, kali ini Margo harus tegas untuk mengakhiri dan menjauhi Sofia.

"Kalo gitu, aku pulang. Ingat sekali lagi, jangan dekati Sofia lagi." Pria itu menatap Margo yang sedang menunduk dengan perasaan puas. Lalu, tubuhnya mulai berbalik hendak keluar dari kost-an ini.

"Apa maksudmu? Saya tidak pernah sekalipun menyerahkan anak saya untuk dijadikan istrimu."

Pupil pria itu membulat.

Margo juga segera menegakkan wajahnya. Mulutnya menganga cukup lebar, melihat tiga orang yang sedang berdiri di sana. Pria, wanita, dan seorang gadis. Kapan keluarga itu datang ke sini? Kenapa ia maupun Ibra tidak menyadarinya?

"Kalo tau kayak gini, aku harusnya langsung ngomong sama Papa biar Kak Ibra tuh bisa langsung dipecat dan dikasih pelajaran! Karena aku ngiranya beneran, aku jadi takut buat ngomong ini! Tapi setelah tadi aku beraniin buat cerita, aku jadi tau, kalo Kak Ibra tuh bohong! Apa maksud Kakak ngomong mau nikahin aku pas lulus nanti?! Pake segala bilang Papa yang nyuruh! Kakak juga sampe ngancem-ngancem Kak Margo, buat apa?!" Gadis itu maju mendekati Ibra.

Deja VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang