Perempuan yang sadar akan keistimewaannya
dan merasa kuat tidak butuh perhatian laki-laki yang hanya
menjadikannya pemuas nafsu sesaat.
- Akila Anastasya Putri (Cila)-***
Ustazah Maryam tersenyum sungkan dan tatapannya beralih pada umi Cila. “Saya minta maaf sebesar-besarnya, ya, Bu. Saya bener-bener nggak tahu Cila sakit sampai seperti ini,”
ucapnya dengan tulus. Terselip sesal dalam nada bicaranya.
Umi Bibah mengangguk. “Nggak pa-pa, saya memaklumi itu karena santri di sini tidak hanya satu atau dua orang. Tidak apa-apa,” balas ibu Cila itu.
Ustazah tersenyum, masih menampilkan
ekspresi yang seolah mengatakan bahwa dia benar-benar menyesal karena sudah
membiarkan kejadian buruk menimpa salah satu santrinya.Pandangan Ustazah lantas beralih pada Cila yang sejak dia menemui ustazahnya, kepalanya selalu ia tundukkan.
“Sebelumnya, Ustazah mau tanya sama Cila. Apa setiap ada yang sakit selalu dilarang buat bilang ke saya?” Nada suara Ustazah terdengar lembut, membuat Cila pada akhirnya berani
mengangkat kepala.Mata bulat Cila menatap Ustazah, setelahnya dia memberikan gelengan kepala. “Cila kurang tahu kalau yang lain, Ustazah. Tapi, pas Cila kemarin, katanya memang sudah peraturan seperti itu.” Suara Cila nyaris terdengar seperti cicitan saking lirihnya.
Ustazah memasang ekspresi kaget ketika mendengar jawaban Cila. Peraturan seperti yang Cila sampaikan sama sekali tidak digunakan di pondok pesantren tempatnya
membagi ilmu.“Tidak ada peraturan seperti itu, Cila. Setiap
yang merasa sakit mau itu ringan atau berat, harus tetap bilang ke Ustazah,” jawab Ustazah membuat Cila terdiam membisu.
“Cila, boleh kasih tahu siapa yang mengatakan semua itu?”
Cila menggeleng sebagai jawaban. Bukannya Cila tidak mau memberi tahu siapa pelakunya, tetapi jika dia menjawab siapa orangnya, itu sama saja dia menggali kuburan untuknya sendiri, sebab hal tersebut mengartikan bahwa dia tengah
mencari masalah.Ustazah Maryam mengangguk, memahami
kekhawatiran Cila. Sadar bahwa dirinya tak bisa memaksa santrinya itu menjawab.***
Sepulang dari pesantren, Cila melihat uminya menangis di kamar. Cila termenung, berpikir bahwa uminya menangis karena keputusannya yang pada akhirnya memilih berhenti mengais ilmu di pondok pesantren.
Memang sebelum ini sang umi tampak biasa-biasa saja ketika memastikan keseriusan Cila terkait berhentinya dia untuk mondok.
Namun, rupanya Umi Bibah hanya menyembunyikan kesedihannya. Dengan tergesa-gesa Cila mendekat, lalu bertanya, “Umi, Umi kenapa?”
Mendengar suara anaknya, Umi Bibah buru-buru mengelap wajah dengan mukena yang dia pakai. “Umi terharu denger dakwah ini,” tunjuknya pada ponsel. Bibirnya berusaha mengukir senyum dan sebuah senyum tercipta di sana.
Sayangnya, Cila tahu kalau senyum bundanya adalah senyum palsu. Cila tahu, video itu baru berputar di menit awal. “Cila minta maaf, Umi. Cila pasti udah ngecewain, Umi. Cila
minta maaf.”Umi Bibah menggeleng, tidak mau sang putri
menyalahkan dirinya sendiri. “Bukan soal itu, Cil.”
Cila menggenggam tangan uminya erat. Perasaannya mendadak tidak enak. “Umi bilang ke Cila, ada apa, Umi?”“Kamu disebut nggak bener sama ustaz di pondok tadi, dia bilang juga katanya anak kayak kamu nggak bakal bener di sekolah mana pun. Umi sakit hati, Cila. Kamu nggak gitu. Umi
tahu.”
Cila syok. Dia tidak tahu image-nya seburuk itu di lingkungan pesantren dan Cila seketika merasa bahwa apa yang menimpanya sekarang ada hubungannya dengan Ustazah dan santri lain soal peraturan ketika dirinya sakit kemarin.***
“Dengan mempertimbangkan bukti-bukti serta saksi yang ada, kami menyatakan Saudara Rekza bebas dari tuntutan,” ujar
seorang hakim dengan ketukan palu tiga kali di sana.Rekza langsung bersujud, mengucap hamdalah berkali-kali, akhirnya kebenaran terungkap. Teman-teman Rekza bersorak ria
di kursi belakang, apalagi dengan kedua orang tua Rekza mereka sampai menangis terharu, bergumam syukur atas berita baik hari ini.Rekza berjalan ke arah orang tuanya, memeluk keduanya
bergantian. Ah, Rekza tidak akan pernah melupakan momen ini.Pluk!
Lamunan Rekza buyar seketika, dia menatap
sekelilingnya, dan mendapati sekumpulan perempuan yang bersorak senang.“Bagus! Kena pala laki bangor, Cil!” teriak Viola.
“Woi! Siapa yang lempar-lempar penghapus?!” teriak Dani saat Rekza terkena lemparan tadi.
“Gue! Gue yang lempar!” sungut Cila. “Kenapa emang?” tanyanya tak kalah ganas.
Cila pun berjalan menghampiri meja Rekza dan temantemannya. “Sori, nggak sengaja,” ujarnya sembari mengambil penghapusnya.
Saat hendak berbalik ke tempat duduknya, tarikan pada hijabnya lebih dulu menahan Cila dan itu mampu membuat Cila menghentikan langkah.
“Heh! Heh! Lepas! Lepasin!”
Bukannya melepaskan, Rendi malah semakin menarik hijab itu.
Tangan Rendi ditepis keras oleh Rekza, dia menyadari jilbab yang dipakai Cila hampir merosot dan pasti rambutnya akan terekspos. “Lepas.”
Cila pun tak tinggal diam, dia berbalik dan memukul kepala Rendi dengan penghapus. “Sampe rambut gue keliatan gara-gara lo, gue bilangin Pak Ahmad kalau banner yang ilang
kemarin, kalian pake tidur di gudang!”
Rendi meneguk ludahnya, bisa menjadi masalah serius kalau Pak Ahmad sampai tahu dalang di balik hilangnya banner
kemarin.“Lo, sih! Beneran ini, mah, gue tahu itu cewek nekat bukan main.” Dani sudah menduga bukan hanya motor Rendi yang akan diapa-apakan.
Di sisi lain, Rekza melirik tajam Rendi. “Soal aurat, tahu batas, Ren,” katanya, tegas.
Rendi merasa bersalah, dia tahu tarikannya pada hijab Cila tadi hampir membuat hijab perempuan itu melorot, “Nggak sengaja, Za. Nggak bakal ngulang, deh. Beneran.” Dengan dua jarinya yang diacungkan membentuk lambang
peace.
“Nah, Eza udah marah,” ujar Alvino, lelaki sedari tadi hanya menguping sembari bermain game akhirnya bersuara.
Sontak saja membuat Rendi mendengkus sebal dan Rekza yang juga geli dengan ucapan laki-laki itu.
Assalamualaikum hii jangan lupa vote komen nya yaaa!!
Follow jugaa okeyyyy!
Sukabumi 25 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Untuk Cila [Tongkrongan Gagal Nyantren The Series] END TERBIT ✔️
Teen Fiction(Tersedia di Shopee/firazmedia) Sebuah kisah pertemuan para remaja dengan latar belakang masa lalu yang sama, yakni sebagai remaja remaja yang gagal menimba ilmu di pesantren. Apakah pertemuan ini akan memulai kisah baru untuk mereka? *** Menjadi...