🌸Bab 5 - Penyembuh Luka🌸

173 48 17
                                    

Sudah 2 hari aku begini.
Terdiam bagai patung yang memiliki raga. Namun, tidak memiliki nyawa.

Setelah keputusan mutlak yang ayah katakan 2 hari yang lalu, tentu saja aku tak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri untuk menuruti perintah Ayah yang sangat aku cintai dan juga aku hormati itu.

Seharian berada di rumah tanpa beraktivitas apa-apa karena pergelangan kakiku juga masih sedikit bengkak.

"Rindu ..."

Suara Ibu terdengar bersamaan dengan suara derit pintu. Aku menutup mushaf Al-Quran yang sedari tadi aku baca untuk membuang rasa jenuh. Dari pada aku hanya berdiam diri dengan memikirkan banyak hal. Lebih baik aku mengaji untuk membuat hatiku lebih tenang, bukan?

"Makan dulu, Rindu."

Mendapatkan perhatian lebih dari Ibu seperti ini, tentu saja membuatku merasa senang sekaligus sedih. Senang karena waktu yang dimiliki Ibu lebih banyak untukku. Namun, merasa sedih karena kondisiku yang seperti ini akan membuat Ibu lebih kerepotan dari hari sebelum-sebelumnya.

"Nanti saja, Ibu. Aku masih kenyang," tolakku halus kemudian meletakkan mushaf yang aku pegang tadi ke tempatnya semula. Yakni di atas meja kecil yang berdekatan dengan tempat tidurku. Namun, lebih tinggi meja itu dibandingkan tempat tidurku.

"Baiklah, kalau begitu," jawab ibuku kemudian terdengar suara tak! saat Ibu meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman yang dibawanya itu di atas meja itu juga. Kebetulan sekali, ukurannya lumayan lebar dan sengaja Ayah desain seperti itu untuk memudahkanku meletakkan barang.

"Oiya, Bu. Ayah menginap di tempat pembangunan proyek itu lagi?" tanyaku, karena selama 2 hari ini aku tidak bertemu dengan Ayah lagi.

"Iya. Katanya pembangunan proyek perumahan itu dipercepat, Rindu. Jadi, semua pekerja lembur."

Jawaban Ibu saat ini, jujur saja membuatku tak senang. Pekerjaan Ayah bisa dibilang Alhamdulillah lancar dengan adanya proyek baru itu. Tapi, proyek yang sedang Ayah kerjakan adalah bekas dari tempat tinggal anak-anak yatim dan fakir miskin yang sudah digusur. Bagaimana mungkin aku akan senang mendengarnya?

"Oiya, Rindu. Tadi Ibu pergi ke warung. Dan ibu-ibu itu tumben sekali tidak menyindir-nyindir keluarga kita. Rupanya, mereka sudah punya gosip baru untuk mereka bahas."

Terdengar tawa kecil Ibu di akhir kalimatnya, sehingga membuatku pun ikut tertawa. Tentu saja, aku pun merasa aneh jika mereka tidak membicarakan keburukanku lagi di saat ada Ibu yang melintas di depan rumah mereka.

"Mereka gosip in apa sekarang, Bu?"

Aku tau. Ber gibah itu memang perbuatan berdosa dan dosanya seperti kita memakan bangkai saudara kita yang sudah tiada. Tapi, untuk hal satu ini. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku lagi. Sejak dulu. Hanya aku seorang yang menjadi topik hangat perbincangan ibu-ibu itu.

"Mereka sih tidak gibahin tetangga sini juga, Rin. Yang mereka bicarakan tadi itu tentang pemilik proyek di tempat kerja Ayah yang katanya ganteng terus punya mobil bagus."

"Orang Jakarta itu, Bu?" aku menimpali dan aku tebak saat ini Ibu sedang mengangguk.

"Tau tidak, yang bikin Ibu itu sakit perut karena ingin ketawa, apa?"

"Apa, Bu?"

"Lah iyo. Mosok mereka iku ngarep anak e dilamar sama lanange Jakarta iku. Ngimpine ketinggian ya Gustii ...."

Saat logat bahasa Jawa Ibu sudah menampakkan diri seperti ini, jelas hal itu adalah momen paling langka yang aku dengar dalam kehidupan sehari-hari kami.

Ibu itu hanya sesekali berbicara dengan logat bahasa Jawanya di rumah yang aku sendiri pun tidak begitu paham artinya. Saat aku tanyakan, kenapa Ibu jarang sekali menggunakan bahasa Jawanya saat berbicara, jawaban Ibu hanya satu.

Senja Untuk Rindu (Tamat-Bab Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang