🌸Bab 16 - Usaha🌸

131 40 17
                                    

Seperti deburan ombak yang berlalu kemudian datang lagi. Seperti hembusan angin yang menerpa kemudian terganti. Seperti itulah, kokohnya pertahanan Haidar untuk bertemu denganku.

Terhitung sudah 2 hari berlalu sejak keributan yang terjadi malam itu, Haidar selalu saja datang ke rumah dengan segala niat di hatinya, dan aku tetap saja terperangkap dalam perasaan ini.

Sebuah perasaan yang membuatku menyadari, seperti apa jarak yang terbentang di antara kami. Laksana langit dan bumi, aku ini hanya pantas untuk mengaguminya saja dari tempatku berpijak sekarang.
Tanpa harus menjadi bintang, atau pun rembulan yang sewaktu-waktu bisa bersanding, untuk membuat sang langit tak lagi kesepian.

Aku tidak mau memanfaatkan kebaikan Haidar ataupun rasa ibanya untuk memuliakan diriku sendiri. Haidar menjadi temanku, dan menjadi malaikat penolong untuk anak-anak itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak mau apapun lagi. Cukup seperti ini karena aku sudah lebih dulu ikhlas untuk kehidupan yang Allah berikan, tanpa harus bergantung pada seorang malaikat yang baik hatinya seperti Haidar.

"Rindu, Haidar datang lagi."

Suara Ibu yang terdengar, untuk memberitahukan jika Haidar tetap pada keinginanya untuk bertemu denganku di hari ke tiga ini, jujur saja membuat hatiku semakin rapuh.

Rasanya, aku ingin mengeluarkan semua isi hatiku dan semua pertanyaan yang membuatku terperangkap dalam sebuah pusara rasa bersalah dan juga keingintahuan yang besar untuk ku ungkapkan pada pria itu. Yakni tentang alasan kenapa Haidar ingin mempersuntingku?

Dari sekian juta wanita yang berada di dunia ini, kenapa pilihan Haidar harus jatuh padaku? Gadis buta yang bahkan tak memiliki harta atau apapun yang bisa aku banggakan?

"Apa kamu tetap tidak ingin menemuinya?"

Suara Ibu terdengar lagi, dan kali ini disertai genggaman tangan hangatnya yang melingkupi telapak tanganku yang sedingin es kutub utara selama 3 hari ini.

Aku tau, apa yang Ibu dan Ayah rasakan sekarang. Sebagai orang tua, tentu saja mereka ingin yang terbaik untuk anaknya. Mendapati putrinya yang buta ini dipersunting oleh seorang pria sempurna yang baik hatinya dan juga kaya raya, tentu saja menjadi anugerah besar dari Allah untuk mereka. Namun, tidak untukku. Apa yang Haidar lakukan ini, sudah seperti asinnya air laut yang menyirami luka baru.

Tidak sadarkah Haidar, jika yang dia lakukan ini akan membuat pria itu terbebani oleh kekuranganku seumur hidup? Demi Allah, aku tidak akan pernah mau merepotkan Haidar. Meskipun pria itu terbilang cukup mampu untuk membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tetap saja, aku tidak mau berhutang budi.

"Yang Ibu lihat, Haidar itu tulus, Rindu. Ibu memang tidak tau, seperti apa kisah kalian berdua. Tapi melihat bagaimana gigihnya Haidar untuk bertemu denganmu, dan terang-terangan mengatakan niat baiknya pada Ibu dan Ayah, Ibu yakin.  Yang Haidar katakan itu, bukanlah rasa belas kasihan. Itu murni dari hatinya."

Genggaman tangan Ibu terlepas. Berpindah mengusap wajahku yang aku tidak tau, sudah basah oleh air mata sejak kapan. Yang Ibu katakan tadi, membuatku semakin bingung. Aku lupa, bagaimana caranya manusia berpikir kemudian mengambil keputusan. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya terdiam dan seperti patung yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Pandanganku gelap. Bahkan akal sehatku pun juga.

"Keputusan ada di tanganmu, Rindu. Ayah dan Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Hanya saja, tolong berhenti menyembunyikan dirimu seperti ini. Kamu harus mengatasi masalah ini sendiri, karena kami hanya bisa berada di belakang untuk mendukungmu dan tidak berhak ikut campur.

"Dan apa yang kamu lakukan ini tidak benar, Rindu. Seharusnya, kamu menemui Haidar, terlebih kamu menerima niat baiknya atau tidak. Setidaknya, jangan biarkan Haidar dalam ketidakpastian. Dia juga memiliki hati yang akan sakit jika diperlakukan seperti ini. Meskipun Haidar itu seorang pria, hatinya tidak akan sekuat perangainya yang selalu mengatakam baik-baik saja. Kalian harus bicara dan menemukam jalan keluarnya."

Perkataan Ibu tadi, tentu saja membuat hatiku tersentil. Apa yang Ibu katakan memang benar adanya. Seharusnya, aku tidak bersikap seperti ini. Seolah maling yang ketakutan karena ketahuan mencuri.

Haidar juga butuh kepastian untuk niat baiknya, sedangkan aku? Aku sudah begitu pengecut dengan membiarkan Haidar yang begitu sempurna seperti mengemis cinta perempuan buta. Kenyataan ini, membuatku semakin merasa bersalah saja. Pria itu, tidak seharusnya aku tempatkan pada posisi seseorang yang rendah.

"Terima kasih sudah membuka hatiku yang selama 3 hari ini, terombang-ambing oleh sebuah perasaan, yang aku pun tidak tau perasaan apa yang sudah membuatku seperti ini, Bu," lirihku setelah kata-kata Ibu, cukup menyadarkanku. "hari ini, aku tidak akan membiarkan Haidar seperti pengemis lagi. Aku akan menemuinya dan meluruskan masalah ini." lanjutku dengan yakin.

"Apa yang akan kamu katakan padanya, Rin?"

Suara khawatir Ibu, membuatku tersenyum meski sangat tipis.

"Aku masih tau diri, Bu. Haidar itu terlalu sempurna untuk gadis buta sepertiku. Sudah sepaatutnya, Haidar mendapatkan pendamping hidup yang sempurna dan juga shalehah. Aku tidak mau membebani Haidar hanya karena rasa terima kasih. Hubungan suami istri itu, harus dibangun berdasarkan cinta, bukan karena faktor lain, " jawabku meski saat aku mengatakannya ada rasa tak suka menyelinap dihatiku.

"Baiklah. Apapun keputusanmu, Ibu dan Ayah akan selalu mendukung. Dan saat ini, Haidar tidak datang sendiri untuk menemuimu, Rin. Dia hanya mengutus Rahman untuk menyampaikan pesannya."

"Apa Ibu mengizinkan?"

"Tentu saja karena Ibu tidak mau, masalah ini membuat persahabatanmu dan Haidar juga ikut runtuh."

Jawaban terakhir Ibu, membuatku menarik napasku cukup dalam. Sepertinya, aku harus memberanikan diri untuk bertemu dengan Haidar. Pria itu, sudah cukup berada dalam ketidakpastiaan dan bagaimana pecundangnya aku.

***

"Rahman, kenapa Haidar harus mengajakku untuk bertemu di sini?"

Pertanyaan ke dua, setelah Rahman memberitahuku jika Haidar ingin bertemu denganku di tepi Pantai--tempat biasa kami berkumpul bersama anak-anak, akhirnya terlontar setelah aku dan Rahman sampai di tempat itu.

Duduk di bangku kayu, tempatku biasa memainkan Biola untuk menemani senja berlalu. Namun, entah mengapa, aku belum mendapati Haidar kunjung menyapaku.

"Sebenarnya, Kak Haidar  tidak ada di sini, Kak."

Jawaban Rahman, sedikit membuatku tersentak. Lantas, jika Haidar tidak ada di sini? Untuk apa Rahman datang ke rumah dan beralasan jika Haidar mengajak bertemu?

"Apa maksudmu, Rahman?" tanyaku dengan pandangan tertuju pada bocah itu. Ya, meskipun tetap saja gelap yang menemuiku.

Tekstur kertas yang terasa menyentuh telapak tanganku yang berada di pangkuan, membuatku tau jika Rahman ingin memberi tahuku sesuatu lewat kertas itu.

"Kak Haidar, sudah kembali ke Jakarta tadi pagi, Kak. Ayah Kak Haidar jatuh sakit. Kak Haidar menitipkan kertas ini padaku untuk aku berikan pada Kak Rindu karena Kak Haidar belum tau kapan akan kembali  ke sini lagi."

Tak terasa, genggaman tanganku pada kursi kayu itu menguat. Namun,  tidak dengan sebelah tanganku yang tidak mau surat yang ditinggalkan Haidar rusak.

Mendadak, hatiku mencelus seperti sedang terluka oleh sesuatu. Entah terluka karena apa? Yang pasti, karena kepergian Haidar yang begitu mendadak.

Apa Haidar sudah menyerah untuk memperjuangkanku? Lantas, kenapa aku merasa tak rela untuk itu?

"Oiya, Kakak tidak perlu merasa khawatir lagi pada kami. Gedung yang Kak Haidar bangun sudah selesai dan kami sudah tinggal di sana."

Ya Allah....
Jangan tanya bagaimana rasa bahagia dan juga rasa sedih yang ikut serta hinggap di hati ini. Pria itu, sukses menipuku setelah sekian lama.

Tak mau membuang waktu, aku pun segera membuka lipatan kertas yang sudah menunggu untuk aku baca itu. Sebuah surat, yang memang khusus dibaca oleh orang buta sepertiku.

Teruntuk Senjaku yang indah...

***

Senja Untuk Rindu (Tamat-Bab Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang