**Pov Haidar**
"Haidar, benarkah kamu di sini sekarang?"
Isakan Rindu yang semakin kuat, tentu saja membuat hati ini seperti diremas dengan kencang. Wanita yang terbiasa tegar dan menghadapi semua beban dalam hidupnya dengan senyuman, kini menangis kencang di depanku dan telihat begitu ... menyedihkan.
Melihat Rindu yang terluka seperti ini, jelas membuat suaraku hilang entah ke mana. Duniaku hanya berpusat pada wanita hebat itu seorang. Wanita yang saat ini bahkan masih berpakaian darah Rahman yang beberapa bagiannya sudah mengering saking lamanya.
Pegangan tangan Rindu yang menguat, akhirnya membuatku pun bersuara. Aku lupa, jika Rindu membutuhkan sebuah jawaban.
"Iya. Aku di sini. Aku datang, Rindu," jawabku.
Jujur saja, aku menyesal sudah datang begitu terlambat sehingga kondisi Rahman harus seperti ini sekarang. Andai saja aku memutuskan untuk kembali ke kota ini kemarin, mungkin aku bisa mencegah semua ini. Dan Rahman tidak harus menerima semua perlakuan keji itu.
Sebelumnya, aku dan temanku--Ibrahim, sedang membahas sebuah rumah yang ingin Ibrahim beli untuk seseorang. Aku tidak tau untuk siapa. Yang jelas, rumah itu akan ditempati. Dan aku menebak jika istri Ibrahim yang bernama Zara lah yang akan menempatinya.
Hingga, panggilan masuk dari kepala desa membuat pertemuanku dan Ibrahim berantakan. Tanpa berpikir panjang, aku pun pamit kepada Ayah dan melakukan penerbangan saat itu juga. Bersyukur, tidak ada kendala apapun sehingga aku bisa sampai di sini dengan cepat.
"Rahman ... dia. Dia sedang sakit, Haidar. Seseorang sudah menuduhnya mencuri sendal dan dia dipukuli sampai-sampai---"
Suara Rindu yang terputus-putus, membuatku berani memberikan pelukan untuk wanita yang sedang terpukul itu. Setidaknya, dengan pelukan berani ini membuat Rindu sedikit tenang. Aku tau apa yang sudah terjadi pada Rahman sudah begitu kejam. Hanya karena sendal yang aku belikan sebelum aku kembali ke Jakarta, Rahman harus mendapatkan semua rasa sakit ini. Mendadak, rasa menyesal juga menggerogoti.
"Kondisi Rahman kritis, Haidar. Pria itu sudah menganiaya Rahman sampai-sampai Rahman mengalami cedera yang parah. Dia tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan dan tidak ada orang yang mau membantunya ketika dia dipukuli. Mereka hanya menonton seolah Rahman itu bukan manusia. Mereka diam saja, seolah Rahman tidak berhak mendapatkan empati dan simpati dari mereka. Tidakkah mereka tau, jika Rahman itu juga makhluk ciptaan Allah yang harus mereka sayangi? Apalagi Rahman itu anak yatim. Seharusnya ... seharusnya Rahman tidak pantas merasakan semua ini. Hiks!"
Pelukanku di tubuh rapuh itu menguat. Lantai dingin rumah sakit beserta tatapan orang tua Rindu yang berada di sana, menjadi saksi jika aku pun merasakan bagaimana penderitaan Rindu sekarang. Rahman adalah anak laki-laki yang baik, penurut dan juga taat. Membayangkan jika Rahman diperlakukan sedemikian rupa, tentu saja hatiku pun tidak rela. Anak seperti Rahman, harusnya dimuliakan.
"Kamu harus membantuku untuk menuntut ketidak adilan ini, Haidar. Pria itu pantas mendapatkan hukuman agar menyesal dan menyadari kesalahannya. Setidaknya, tidak ada Rahman lain di dunia ini--Seorang anak yatim yang dituduh mencuri sendal dan harus membayar fitnahan itu dengan rasa sakit dan juga nyawanya sendiri. Hiks!"
"Ssttss! Jangan menangis, Rindu. Rahman pasti akan berjuang. Dia akan baik-baik saja. Kamu harus meyakini hal itu."
Jujur, aku tak kuasa mengatakannya sekarang, karena aku pun takut menerima kenyataan takdir yang maha kuasa. Apa yang terjadi di dunia, baik hari ini ataupun esok pagi, sudah menjadi bagian dari rahasia ilahi. Kita sebagai manusia, hanya bisa menerima dengan ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Untuk Rindu (Tamat-Bab Masih Lengkap)
RomanceRindu, gadis berwajah manis dengan mata berkabut putih itu tak pernah sekali pun menyalahkan takdir yang membuatnya berbeda dengan gadis lainnya. Dia ikhlas kalaupun harus menjadi cemoohan orang-orang di sekitarnya. Hingga, takdir jodoh yang Tuhan...